19 February 2010

Jual Tanah di Muarasari, Tajur, Kodya Bogor

Luas tanah 767m2, lokasi di Muara Sindang Sari, Raya Tajur.
Masih termasuk Kodya Bogor

View cantik Gunung Salak, jauh dari kebisingan jalan raya.
Dengan jalan masuk sendiri.

Bentuk kotak, tanah matang siap bangun.

Status Sertifikat Hak Milik.

Infrastruktur: Air PAM, Listrik, Telpon, dan akan masuk Gas Alam.

Cocok untuk rumah istirahat atau investasi (rumah kontrakan dll), akses ke jalan Raya Tajur

Sudah banyak rumah rumah besar disekitar lokasi, dan 3 real estate (1 pengembang berbatas dng lokasi kavling ini).

Hubungi via email: tedhalim@hotmail.com


Location (k.l.)


View Larger Map

View :

12 February 2010

Minyak kelapa perawan



Ada teman di Selandia Baru membutuhkan virgin coconut oil approx 20-50kg a month utk produksi makanan disana. 


Ada yg tahu dimana bisa mendapatkan supplier yg reliable?

10 February 2010

Karakter kita


Kompas Rabu, 20 April 2005

Saatnya untuk Bercermin, Melihat Kelemahan



LIMA puluh tahun sejak berlangsungnya Konferensi Asia- Afrika tahun 1955 di Bandung harus diakui bahwa apa yang yang dicita-citakan pada lima dekade lalu itu masih jauh dari kenyataan. Setidaknya negara-negara di benua Asia-Afrika, yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 73 persen dari populasi dunia, masih belum memiliki posisi tawar-menawar yang setara dalam percaturan internasional.


Sampai saat ini masih ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup di bawah penghasilan 1 dollar AS per hari, juga masih lebih dari 700 juta orang yang setiap harinya menderita kelaparan di mana sebagian besar dari jumlah ini berada di Asia Selatan dan Afrika subsahara. Tingkat kematian anak-anak balita masih 100 berbanding 1.000 anak di 35 negara, yang sebagian besar, lagi-lagi, berada di Afrika.


Berbagai pendekatan politik dan ekonomi telah diterapkan untuk menganalisis sekaligus untuk menarik negara-negara Afrika dari pusaran kejatuhan yang makin dalam. Di antaranya melalui paket reformasi politik yang antara lain diimplementasikan melalui pemilihan umum yang transparan, partisipasi multipartai, termasuk mewujudkan kepemimpinan sipil. Ada yang berhasil, seperti Afrika Selatan dan Bostwana yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan politik yang baik, di mana keduanya memiliki pendapatan per kapita di atas "zona transisi demokrasi" (3.000-6.000 dollar AS). Namun, lebih banyak negara-negara yang sampai kini terkungkung kemiskinan.


Di Asia situasinya lebih beragam. Ada kelompok yang sudah masuk dalam kelompok negara maju, dengan salah satu indikatornya tingkat pendapatan per kapita yang tinggi, seperti Jepang (34.510 dollar AS) dan Singapura (21.230 dollar AS), yang ditempel ketat oleh Korea Selatan (12.020 dollar AS). Sementara itu, negara berkembang, seperti Malaysia (3.780 dollar AS) dan Thailand (2.190 dollar AS), sudah berhasil memperpendek jarak dengan negara-negara maju. Dua negara besar, China dan India, bahkan kini sudah diperhitungkan akan menjadi raksasa ekonomi di kawasan. Tapi, ada juga negara-negara yang dianggap masih "berjalan di tempat", di antaranya Indonesia yang terus disibukkan dengan krisis domestik.


Sangat mudah untuk "melemparkan kesalahan" atas kegagalan pembangunan ini kepada era kolonialisme yang terjadi di Asia dan Afrika pada masa lalu. Namun, setelah kemerdekaan dan kedaulatan diperoleh selama beberapa dekade masih pantaskah bila masa lalu dijadikan alasan kegagalan saat ini?


Daniel Etounga-Manguelle (warga Kamerun mantan penasihat urusan Afrika di Dewan Bank Dunia) dalam artikelnya: Does Africa Need a Cultural Adjustment Program? menuliskan, langkah pertama untuk memperbaiki diri adalah dengan mengumpulkan keberanian untuk berkaca dan mengenali seluruh keburukan diri sendiri. Manguelle merasa yakin, sejumlah karakteristik dalam kultur masyarakat Afrika ikut memberikan kontribusi dalam lingkaran kegagalan yang kini melanda mayoritas negara-negara di Afrika. (Culture Matters, How Values Shape Human Progress; Lawrence E Harrison, Samuel P Huntington, ed, 2000).


Tesis pertama yang diajukan Manguelle adalah pandangan bahwa di negara-negara yang memiliki hierarchical distances (jenjang hierarkis) yang kuat, masyarakatnya cenderung statis dan secara politis tersentralisasi. Kekayaan nasional umumnya terkonsentrasi di tangan sekelompok elite. 


Sementara sebuah generasi berlalu tanpa adanya perubahan signifikan dalam pola pikirnya. Sebaliknya, di negara-negara dengan jenjang hierarkis yang pendek umumnya terjadi transformasi teknologi dibarengi dengan sistem politik yang terdesentralisasi yang didasarkan pada sistem representasi. Kekayaan nasional terdistribusi dengan merata, sementara anak-anak memperoleh pendidikan dengan materi yang lebih baik dibandingkan dengan generasi sebelumnya.


Dengan kata lain, dalam sebuah kultur yang horizontal, semua warga memiliki hak yang sama, termasuk ketika berhadapan dengan kekuatan hukum. Dalam kultur seperti ini diyakini bahwa cara terbaik untuk mengubah sistem sosial adalah dengan mendistribusikan kekuasaan.
Afrika, kata Manguelle, memiliki kultur yang vertikal di mana mereka yang memiliki jabatan merasa berkuasa, bahkan hukum pun tunduk pada kekuasaan. Konsekuensinya, tumbuh keyakinan bahwa cara terbaik untuk mengubah sistem sosial adalah dengan menggulingkan kekuasaan.


Masyarakat Afrika juga dinilai tak mampu mengontrol ketidakpastian. Bagi mereka, yang penting adalah hari ini. Karena tak adanya persepsi yang dinamis tentang masa depan, masyarakat Afrika tak terbiasa merencanakan masa depan, seakan hari berlalu karena sudah diatur "dari sananya". "Nature is his master and sets his destiny," tulis Manguelle.


Masyarakat Afrika juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau mistik dan supranatural. Bila seorang presiden atau raja terhindar dari kecelakaan, seluruh masyarakat percaya bahwa ia memiliki kekuatan magis. Dan ini juga berlaku bagi warga biasa yang kemudian punya kedudukan. "Begitu seorang warga Afrika diberi sedikit kekuasaan, ia cenderung menjadi arogan dan tidak toleran". Rasa iri akan kesuksesan orang lain juga dominan dalam hubungan kerja sehingga muncul anekdot bahwa untuk menjatuhkan seseorang dari jabatannya cukup dengan mengungkapkan kepintaran yang bersangkutan.


Karakteristik lain yang menonjol adalah subordinasi individu di dalam masyarakat sehingga tak tertanam konsep bahwa seorang individu memiliki otonomi sekaligus patut bertanggung jawab. Dengan kata lain, sangat biasa bahwa di sebuah kementerian, misalnya, problem apa pun dianggap hanya bisa diselesaikan oleh sang menteri. Para pejabat lainnya, termasuk supervisi dan manajer, hanya pendamping dan tidak merasa perlu bertanggung jawab. Sang menteri pun tak mengeluh karena bila ia mendelegasikan otoritasnya, maka itu berpeluang bagi munculnya seorang bintang baru yang akan menjadi kompetitornya.


Masyarakat Afrika juga gemar melakukan kenduri, mulai dari pesta kelahiran, perkawinan, naik pangkat, kelulusan, kematian-terlepas apakah gajinya cukup atau tidak. Setiap pesta harus "wah" dan mengundang sebanyak mungkin orang. Hubungan interpersonal sangat penting bagi masyarakat Afrika dan ini terbawa pada proses bisnis yang lebih mementingkan perkawanan.


TULISAN Daniel Etounga-Manguelle didasarkan pada pengamatannya sebagai warga Afrika dan mungkin tidak bisa digeneralisasi dengan simplistis. 


Namun, bukankah apa yang dijabarkan Manguelle tersebut cukup akrab di telinga masyarakat Indonesia?


Indonesia bukan saja semakin tertinggal oleh para tetangganya, tetapi juga di cap sebagai salah satu negara terkorup di dunia dengan beban utang luar negeri yang sangat besar. Fondasi ekonomi yang lemah membuat negara ini "luluh lantak" ketika diterjang krisis ekonomi tahun 1997. Hanya dalam setahun pendapatan per kapita Indonesia jatuh dari 3.038 dollar AS menjadi hanya 600 dollar AS (kini sekitar 810 dollar AS, menurut data Bank Dunia tahun 2003).


Bila sejumlah negara tetangga yang ikut diterjang krisis ekonomi bisa bangkit dengan cepat, Indonesia tetap "tak bergerak" meskipun telah melampaui periode reformasi selama tujuh tahun. Kita mungkin tergoda untuk berkata, "ya, tapi bukankah penduduk mereka tak sebanyak Indonesia, negaranya juga tak sebesar negara kita, terdiri dari ribuan pulau lagi!". Namun, tengoklah China dan India yang populasinya masing-masing lebih dari 1 miliar jiwa. Bahkan Jepang-ini contoh klise-membangun ekonominya dari reruntuhan setelah kalah perang pada Perang Dunia II.


Sudah banyak analisis yang dilontarkan para ahli mengenai keterpurukan Indonesia. Namun, pandangan bahwa jangan-jangan karakteristik dalam kultur setempat ikut berkontribusi terhadap mandeknya pembangunan cukup mengusik. Seperti dinyatakan Ronald Ingehart, yang mengoordinasi the World Values Survey, memang terdapat hubungan yang sangat kuat antara nilai-nilai kultural dengan kinerja politik dan ekonomi sebuah bangsa.

Tak banyak peneliti Indonesia yang mencoba mengaitkan kedua hal itu. Namun, mendiang Mochtar Lubis di tahun 1977 menulis sebuah buku yang kemudian menjadi perdebatan hangat di masyarakat, Manusia Indonesia, (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Florence Lamoureux menjadi The Indonesia Dilemma) yang isinya menelanjangi watak negatif masyarakat Indonesia.
Silang pendapat mengenai isi buku ini telah berhasil membawa permasalahan tentang "manusia Indonesia" ke ruang publik. Keberatan umumnya ditujukan pada pendekatan Lubis yang dianggap "kurang ilmiah" karena hanya berdasarkan pengamatan subyektif, namun Lubis pun bereaksi bahwa mereka yang menentang pandangannya juga tak didasari argumentasi "ilmiah".


Cukup banyak karakteristik manusia Indonesia yang disodorkan Lubis, di antaranya adalah kecenderungan orang Indonesia yang gemar takhayul dan hal-hal berbau supranatural. Alasannya beragam, mulai dari keinginan untuk mengetahui masa depan sampai cara untuk meraih kekuasaan ataupun kekayaan.


Ciri lainnya, orang Indonesia itu hipokrit alias munafik, lain di muka lain di belakang. Contohnya saja, para pejabat yang ditangkap karena terlibat kasus penyuapan dan korupsi adalah mereka yang sehari-harinya gemar berpetuah soal pemberantasan korupsi. Watak hipokrit ini juga berakar pada karakteristik berikutnya, yaitu keinginan untuk ABS (asal bapak senang), yang tumbuh dari mental feodal.


Manusia Indonesia juga punya kecenderungan untuk melempar tanggung jawab alias tidak mau disalahkan, sulit membuat keputusan (indecisive), mudah melepas prinsip, boros dan suka bersenang-senang, instan (kalau perlu membeli ijazah), iri pada orang yang memiliki kelebihan, dan mengagungkan status.


Misalnya menjadi PNS bukan niat untuk mengabdi kepada masyarakat, tapi lebih karena status. Orang Indonesia juga dinilai mudah mabuk kekuasaan bila diberi kewenangan atau jabatan.


Dalam diskusi kebudayaan Kompas bulan Maret 2004, sejumlah panelis yang hadir juga mengungkapkan sejumlah karakteristik lainnya. Di antaranya, masyarakat Indonesia itu mudah lupa. Memori yang pendek membuat bangsa ini sulit belajar dari kesalahan masa lalu. Padahal, pengelolaan suatu bangsa membutuhkan sebuah horizon yang merentang ke belakang maupun ke depan.


Selain itu, sistem kognitif kita dalam memandang dunia cenderung inward looking sehingga ideologi sempit nasionalisme telah membangun semacam konsep kepribadian nasional yang membuat kita merasa lebih istimewa dari bangsa lain, yang pada akhirnya membuat kita mudah mencari kesalahan pada pihak lain daripada berkaca pada diri sendiri. Selain itu, persepsi kita mengenai sejarah masih terbelenggu dalam soal "menang dan kalah" sehingga rekonsiliasi bangsa sulit diwujudkan.


APA kaitannya semua ini dengan Konferensi Asia-Afrika? Mungkin inilah momentum untuk mawas diri dan bertanya, mengapa kurun waktu 50 tahun masih tak cukup bagi sejumlah negara di Afrika dan Asia, khususnya Indonesia, untuk mengejar ketertinggalan.


Bila ditelusuri, ada sejumlah kesamaan antara apa yang diungkapkan Manguelle dan Lubis mengenai "nilai-nilai" yang berlaku di masyarakat masing-masing, yang bisa berujung pada tak efektifnya birokrasi pemerintahan, misalnya kecenderungan untuk melakukan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), lebih percaya pada supranatural daripada etos kerja, lebih suka pada hal-hal yang instan dari pada hasil perencanaan yang didukung kerja keras dan disiplin.


Karakteristik seperti ini akan menjadi faktor penghambat kemajuan, khususnya bila terdapat pada mereka yang memegang tampuk kepemimpinan, entah itu ketua lembaga swadaya masyarakat atau lurah, pimpinan partai politik sampai anggota DPR, menteri ataupun presiden.
Bila resep-resep ekonomi dan politik belum juga mampu membawa negeri ini dari pusaran kesulitan, barangkali persoalannya bukan hanya di bidang itu, tetapi juga ada dalam kultur kita yang telah mengakar lebih dari satu generasi. Kita harus berani bercermin, dan menunjuk nilai-nilai mana yang perlu dirombak dan kemudian dikampanyekan dalam kebijakan-kebijakan strategis. (Myrna Ratna)

08 February 2010

Coconut virgin oil.. for export


Ada teman di Selandia Baru membutuhkan rutin, grade : virgin coconut oil approx 30-50kg a month bahan tambahan utk produksi makanan disana. 


Ada yg tahu dimana bisa mendapatkan supplier yg reliable?

 

Tlg email saya atau put a comment down here.


Terima kasih banyak..

07 February 2010

Kereta Api Baru di Tiongkok - Zhengzhou - Xi'an (505 km)

 
KA high speed pertama sudah operasional, jarak 505 km ditempuh 1:48.

First class tickets will cost 390 RMB (Rp.550.000) and second-class tickets will cost 240 RMB (Rp.335.000.) using today's exchange rate.

Zhengzhou-Xi'an high-speed train starts operation

(chinadaily.com.cn)
Updated: 2010-02-06 15:02
Large Medium Small
The high-speed railway linking Zhengzhou in Henan province and Xi'an in Shaanxi starts operation Saturday, with its first train leaving from Zhengzhou at 11:25am, Zhengzhou Evening News reported.
Zhengzhou-Xi'an high-speed train starts operation
The Zhengzhou-Xi'an high-speed train starts operation on Feb. 6, 2010. [Photo/Xinhua] 
This is the first high-speed passenger railway in western China, Xinhua reported.
The train, with a speed of up to 352 km/h, finishes the 505km distance in one hour and 48 minutes instead of six hours, according to China Railway First Survey and Design Institute.
The line, part of a major east-west railway artery between Xuzhou in Jiangsu province and Lanzhou in Gansu, cost about 35.3 billion yuan ($5.2 billion).
Zhengzhou-Xi'an high-speed train starts operation
The Zhengzhou-Xi'an high-speed train runs on Feb. 6, 2010. [Photo/Xinhua] 
Zhengzhou-Xi'an high-speed train starts operation
Passengers wave on high speed train traveling between Xi'an and Zhengzhou Feb. 6, 2010. [Photo/Xinhua]
Zhengzhou-Xi'an high-speed train starts operation
The Zhengzhou-Xi'an high-speed train runs on Feb. 6, 2010. [Photo/Xinhua]

Peta Google Zhengzhou (propinsi Henan) ke Xian  (propinsi Shaanxi) jaraknya pakai mobil 477 km :

03 February 2010

Menafsirkan politik di Indonesia

Beberapa buku dari salah satu pakar terbaik tentang politik dan budaya di Indonesia, Anderson bersama Kahin, menerbitkan ulang sebuah buku Desember lalu yg menambah jajaran buku buku tentang Indonesia yg ditulisnya.

Saya sedang memesan buku ini Interpreting Indonesian Politics.

Beberapa yang lain ditulis bersama peneliti lain juga.


Product Details
Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate by Benedict R. O'G. Anderson and Audrey Kahin (Paperback - Dec. 29, 2009)
Buy new$29.95
6 new from $29.95
In Stock
Eligible for FREE Super Saver Shipping.

2.
Product Details
A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia by Benedict R. OG. Anderson and Ruth T. McVey (Kindle Edition - Dec. 1, 2009) - Kindle Book
Buy$9.99
Auto-delivered wirelessly
Other Editions: Paperback

3.
Product Details
Report from Banaran: Experiences During the People's War by T.B. Simatupang and Benedict R.O'G. Anderson (Paperback - Nov. 11, 2009)
Buy new$29.95
8 new from $29.95
2 used from $47.31
Get it by Thursday, Feb. 4 if you order in the next 22 hours and choose one-day shipping.
Eligible for FREE Super Saver Shipping.
Other Editions: Paperback
4.
Product Details
The Constitutions And The Ethics by James Anderson, Benedict de Spinoza, and Michael R. Poll (Kindle Edition - Aug. 21, 2009) - Kindle Book
Buy$6.99
Auto-delivered wirelessly
Other Editions: Paperback

5.
Product Details
Some Aspects of Indonesian Politics Under the Japanese Occupation: 1944-1945 by Benedict R. O'G. Anderson (Paperback - Aug. 3, 2009)
Buy new$29.95
9 new from $27.45
1 used from $69.46
In Stock
Eligible for FREE Super Saver Shipping.
Other Editions: Unknown Binding

6.
Product Details
Buy new$24.00
7 new from $22.44
2 used from $48.00
Get it by Thursday, Feb. 4 if you order in the next 21 hours and choose one-day shipping.
Eligible for FREE Super Saver Shipping.

7.
Product Details
Buy new$29.95
9 new from $27.19
1 used from $69.52
In Stock
Eligible for FREE Super Saver Shipping.
Other Editions: PaperbackUnknown Binding

8.
Product Details
Bajo tres banderas/ Under Three Flags (Spanish Edition) by Benedict Anderson (Paperback - June 18, 2008)
Buy new$79.95 $58.36
2 new from $58.36
1 used from $70.02
Not in stock; order now and we'll deliver when available
Eligible for FREE Super Saver Shipping.

9.
Product Details
Buy new$18.95 $12.89
19 new from $10.82
13 used from $10.56
In stock on February 5, 2010
Eligible for FREE Super Saver Shipping.
Other Editions: Hardcover

10.
Product Details
Culture and Politics in Indonesia by Claire Holt, Benedict, R. O'G. Anderson, and James Siegel (Paperback - Mar. 21, 2007)
Buy new$29.95
14 new from $29.46
6 used from $22.45
In Stock
Eligible for FREE Super Saver Shipping.
Other Editions: Paperback

11.
Product Details
Buy new$9.95
10 new from $9.47
5 used from $12.00
Get it by Thursday, Feb. 4 if you order in the next 23 hours and choose one-day shipping.
Eligible for FREE Super Saver Shipping.

12.
Product Details
Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism [IMAGINED COMMUNITIES REV/E] by Benedict Richard O'Gorman(Author) Anderson (Paperback - Nov. 30, 2006)
1 new from $26.95
1 used from $26.95
5.0 out of 5 stars   (1)

31 January 2010

Bakrie & Brothers sidewaying...

BNBR sudara tuanya BUMI juga oversold conditionnya sudah dekat.. apakah pake turun dulu beneran ke historical rebound line? Liat dah ntar next week...

Garis pendek pendek diujung kanan adalah pivot point nya.. (Support dan Resistance)


BUMI per Jumat 29 Jan 10 - Akankah dia rebound Senin?

Ngeliat di posisi % William R nya historis kemungkinan reboundnya cukup ada... tapi ya siapa yang tahu?

Gelembung di pasar properti Tiongkok?

null

23 January 2010

Buku buku yg sebaiknya di fahami para pemasar

Dari Businessweek, saya mendapatkan hints tentang buku buku yg harus dibaca oleh para pemasar.

Kalau ga sempat ikut MBA ini buku buku yg direkomendasikan, beberapa sudah di terjemahkan ke bahasa Indonesia, tapi ada baiknya baca dalam bahasa aslinya sekalian.

  • Basic Economics: A Common Sense Guide to the Economy, by Thomas Sowell 
    • The front flap of Basic Economics says it brings its topic to light in a way that is "easy to absorb and hard to forget." That's certainly true. Sowell presents practical concepts about how incentives, trade-offs, and other dimensions of the economy really work. More interesting (and more relevant) than the economics course you may have suffered through in college, this book is for people who get paid for results rather than for effort, pontification, or simply showing up. (For extra credit, read Sowell's follow up, Applied Economics: Thinking Beyond Stage One.)
  • The Marketing Imagination, by Theodore Levitt  
    • Levitt, who died in 2006, was a professor at the Harvard Business School and former editor of the Harvard Business Review. The Marketing Imagination was one of the first books I read that made the concepts of marketing and "why people buy" come alive for me. Since the book was first published in 1983, some of the examples in it are dated, but reading them with the benefit of hindsight offers a unique Monday-morning-quarterback dimension that imparts another layer of education. 
  • Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors, by Michael E. Porter 
    • This is the heftiest tome of the group, and I'm far from the first to recommend the current guru of the Harvard Business School. You don't so much read Competitive Strategy as gnaw on it, and it takes a long time to digest. But there's no better presentation of the multivariate dimensions (how's that for an academic term?) of competition, and the book's principles can be applied to any and every industry. I've found myself referring back to it time and time again as I work with clients on their own competitive strategies. (Extra credit: Kellogg on Marketing, a collection of thought-provoking essays from the faculty of the business school at Northwestern University.) 
  • Concentration 
    • Positioning: The Battle for your Mind, by Jack Trout and Al Ries 
      • When Positioning was first released in 1981, it revolutionized how marketers conceived of the branding proposition. Or so I've been told (I was still in high school). What is inarguable is the simplicity with which Trout and Ries explain how branding isn't about products and services, it's about how people think about products and services. The best compliment I could give the authors is that they made the complex topic of branding simple. If only they could now make it easy, we could all go home.
  • Profit from the Core: Growth Strategy in an Era of Turbulence, by Chris Zook and James Allen
    This one won't make most marketers' top books lists, and that's a shame. Zook and Allen base their thesis on a 10-year study of 2,000 companies, expounding on the reasons why all companies seek sustained, profitable growth but only a fraction of them actually achieve it. I've always been fascinated by the principle of entropy, the tendency of all things in the universe towards disarray. This book demonstrates that the way to overcome entropy in business is by biting off no more than you can chew. Companies grow big by focusing narrowly. 


    •  The 22 Immutable Laws of Marketing, by Jack Trout and Al Ries

    Trout and Ries get two spots on the list, for good reason. Building on the concepts they presented in Positioning, the 22 Laws is an easy, breezy read that proffers simple branding facts you don't need a Ph.D. to appreciate. In fact, people who have too much education sometimes characterize Trout's and Ries' simplicity as simplistic, but if you're facing a real-world competitive environment, their advice is well-taken. You don't have to buy their opinions hook, line, and sinker to appreciate them or profit from their application. (Extra credit: Marketing Warfare from—you guessed it—Trout and Ries.)

    • Application 
      • Hitting the Sweet Spot: How Consumer Insights Can Inspire Better Marketing and Advertising, by Lisa Fortini-Campbell
    If you're not in the advertising industry, you've probably never heard of this book, but it's the single best resource I've found that explains the mystical process our industry calls "account planning." Fortini-Campbell presents practical, straightforward advice about how to understand your customers and prospects and translate what you learn into actionable marketing and message strategies. Along the way she shows how you can put your own consumer experiences, insights, and hunches to work. Following the disciplines in this book can lead to truly groundbreaking marketing and advertising efforts. 


    • A Technique for Producing Ideas, by James Webb Young
    Just because you can read a book in 10 minutes doesn't mean it's not worthwhile. In fact, this little booklet is an invaluable aid to generating ideas of any kind. Originally developed in the 1930s for students at the University of Chicago, the advice in A Technique for Producing Ideas is as helpful as it is quaint. The booklet presents in plain terms how the process of creativity works and provides practical steps for developing innovative products, services, and ideas. Mr. Young—who died in 1973—likely never appreciated the impact his contribution has made. 


    • Feeding the Media Beast, by Mark Mathis
    I've always worked on the advertising side of the business, and in the early part of my career the realm of public relations completely intimidated me. The thought of taking a call from a reporter, let alone pitching a story or (gasp) appearing on network television was simply terrifying. Until I read Feeding the Media Beast. A former journalist, Mark Mathis explains how the news business works, the pressures journalists face, and the predicaments in which they often find themselves. He demonstrates how, by following 12 "Media Rules," your relationship with the press can go from fearful to friendly. I can personally attest that this stuff works. 


    • The Elements of Style, by William Strunk Jr. and E.B. White
    I can hear you now: "Really? A stylebook? I left that stuff behind in English class." Yep, and that's the problem. We may live in an increasingly video-dominated world, but the written word still drives business. No matter how brilliant your ideas may be, if you don't craft them properly they can actually set you back. I keep this handbook handy and refer to it often to maintain a mannerly manner of writing. If recommending Strunk & White does nothing more than keep you from using exclamation points in your advertising (Chapter III, page 34 of my well-worn copy), I'll be content.
     
  • Ini buku buku yg ditulis dalam artikel di Businessweek, beberapa sudah saya baca dan ada yg belum juga. 

28 November 2009

6 dasar teori Dow (Charles Dow)

Dow Theory has 6 basic tenets:


  1. Markets have 3 trends.

    1. Uptrends are characterized by higher highs and higher lows.



    2. Downtrends are defined by lower lows and lower highs.



    3. Prices moving sharply in one direction, retracing, and then continuing in their original direction.

  1. Trends have three phases: an accumulation phase, a public participation phase, and a distribution phase.

    1. The accumulation phase is the smart money is buying (selling) stock against the general opinion of the market. During this phase, the stock price does not change much because these investors are in the minority absorbing (releasing) stock that the market at large is supplying (demanding).



    2. Eventually, the crowd follows (phase) This is when trend followers and other technically oriented investors participate.



    3. This phase continues until rampant speculation occurs. At this point, the astute investors begin to distribute their holdings to the market (phase 3).



  2. The market discounts everything. The market takes all fundamentals into account and this is reflected in price in real time. Dow Theory is consistent with efficient market hypothesis.

  1. Stock market averages must confirm each other. To Dow, a bull market in industrials could not occur unless the railway average rallied as well, usually first. The two averages should be moving in the same direction. When the performance of the averages diverge, it is a warning that change is imminent.



  2. Trends are confirmed by volume. While Dow considered volume a secondary indicator, he believed that volume confirmed price trends. Volume should increase in the direction of a major trend. When prices move on low volume, there could be many different explanations why. An overly aggressive seller could be present for example. But when price movements are accompanied by high volume, Dow believed this represented the “true” market view. If many participants are active in a particular security, and the price moves significantly in one direction, Dow maintained that this was the direction in which the market anticipated continued movement. To him, it was a signal that a trend is developing.


  1. Trends exist until definitive signals prove that they have ended. Dow believed that trends existed despite “market noise”.
    Markets might temporarily move in the direction opposite the trend, but they will soon resume the prior move. 
    The trend should be given the benefit of the doubt during these reversals. As with the physical law of motion, stating that an object in motion continues in the same direction until an external force causes it to change direction.
Sumber: http://www.traderslog.com/dow-theory-2/