24 January 2005

Wayan Loceng, Master Gender Wayang


Kompas Posted by Hello

Senin, 24 Januari 2005

Wayan Loceng, Master Gender Wayang

MEMASUKI rumah Wayan Loceng di Babakan, Sukowati, Gianyar, Bali, siang yang panas pun terasa teduh. Lelaki berusia 78 tahun itu sedang duduk bersila memainkan gender di teras rumah yang rimbun oleh pohon rambutan. Dengan mata yang kadang seperti terpejam, kedua tangannya lincah memainkan pemukul pada bilah-bilah gender.

Di depannya adalah seorang pemusik dari Tokyo, Jepang. Dia datang ke Bali untuk berguru gender wayang kepada Wayan Loceng yang telah lebih dari 60 tahun mengabdikan hidupnya untuk gender wayang. Ini adalah instrumen yang dalam karawitan Bali termasuk barungan alit. Gamelan Pewayangan yang digunakan untuk mengiringi wayang kulit ini terdiri dari empat gender berlaras slendro. Masing-masing gender berbilah sepuluh dan memuat dua oktaf.

Selain sebagai instrumen pengiring pergelaran wayang, gender wayang juga digunakan dalam berbagai upacara, seperti manusa yadnya atau upacara potong gigi dan upacara pitra yadnya atau ngaben. Instrumen ini dianggap sebagai salah satu dari instrumen yang sulit dimainkan.

Murid-murid Loceng datang dari berbagai negara, selain juga dari Bali. Dalam sebuah buku, Loceng dengan rapi mencatat nama dan alamat murid-murid yang pernah berguru kepadanya. Ada sekitar 130 murid yang terdiri dari pemusik, etnomusikolog, mahasiswa jurusan karawitan, sampai para pehobi. Di antara mereka terdapat etnomusikolog Minagawa dari Jepang serta komposer musik kontemporer Christine Southworth dari California, Amerika Serikat.

Kalangan etnomusikolog, termasuk Rizaldi Siagian, menganggap Wayan Loceng sebagai master gender wayang yang saat ini bisa dikatakan sangat langka. Michael Tenzer seorang komposer, performer, dan pakar musik lulusan Berkeley itu dalam bukunya Balinese Music (1991) mencatat nama Wayan Loceng sebagai seniman gender wayang terpenting.

Umur 12 tahun Loceng mulai memainkan gender dan tiga tahun kemudian dia sudah mengikuti pergelaran wayang keliling. Ia pernah menjadi pengiring empat dalang terkenal di Bali. Di antaranya, selama sekitar seperempat abad dia menjadi pemain gender untuk Nyoman Granyam, salah seorang dalang kondang di Bali. Ia juga membimbing sejumlah dalang muda, seperti Ketut Mudra, yang kemudian populer juga sebagai dalang.

"Saya tak pernah secara langsung belajar gender wayang. Saya hanya seneng nonton wayang. Saya itu senang melihat dan mendengar orang bermain. Kesenangan dan banyak mendengar itu lebih dari sekadar belajar formal," kata Wayan Loceng sambil mengunyah tembakau.

Ketika Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar berdiri pada tahun 1967, kemampuan Wayan Loceng pun diperlukan. Merta Suteja, Rektor ASTI saat itu, menawarinya sebagai pengajar perguruan tinggi seni itu.

"Sampai dua bulan saya tidak mau memenuhi tawaran itu. Saya malu karena saya cuma lulusan sekolah dasar, tetapi disuruh mengajar di sekolah tinggi," kenang Loceng.

Loceng kemudian diyakinkan bahwa mereka yang berpredikat mahasiswa itu memang membutuhkan seorang guru dalam urusan gender wayang. Bahkan, saat itu dosennya pun belum terlalu menguasai gender wayang setidaknya jika dibandingkan dengan kemampuan Loceng. Maka, ia kemudian mengajar gender di ASTI yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Di sana ia juga mengajar bahasa pewayangan dan vokal wayang.

Pada awal tahun 1980-an, Loceng harus mengikuti liku-liku urusan administratif untuk menjadi pegawai negeri. Ia harus mengikuti semacam tes dan harus mengisi lembaran formulir yang memusingkan kepalanya.

"Saya tidak bisa menjawab pertanyaan. Rasanya saya seperti mau terkencing-kencing. Lebih baik saya mati daripada harus menjawab pertanyaan yang membingungkan itu. Akhirnya saya keluar dari ruang ujian," kenang Loceng.

Oleh pimpinan ASTI, Loceng kemudian diminta mengikuti semacam tes berupa wawancara khusus. Dengan polos, apa adanya, Loceng menjawab pertanyaan dari tim penanya, mulai dari motivasi bekerja-yang dijawabnya karena diminta-sampai soal teknis dan pengalaman yang berkaitan dengan bidang yang diajarkan Loceng.

"Saya ditanya macam-macam. Supaya tidak banyak tanya, saya tunjukkan saja buku saya. Pemeriksa itu lalu bilang, ’Kalau pengetahuan Bapak seperti itu, Bapak sudah seperti guru besar saja’," tutur Loceng.

Loceng mengaku sangat kaget dan merasa dipermainkan ketika mengetahui status kepegawaiannya berada setingkat dengan pesuruh. Itu jika mengacu pada tingkat pendidikan formalnya yang sampai pada tingkat sekolah dasar. Loceng tidak sakit hati. Dia yakin benar laku hidup sebagai seniman tidak memerlukan birokrasi dan tidak perlu pula ijazah formal.

"Gender itu sudah menjadi jiwa saya. Dari kecil sampai umur 78 saya tidak pernah bosan memainkannya. Mati hidup saya ada di situ," katanya.

Loceng mengisahkan, suatu kali ia pernah sakit dan oleh keluarganya dianjurkan untuk istirahat total, termasuk tidak bermain gender. Dia mengaku tidak tahan dan justru semakin tersiksa.

"Waktu saya sakit itu saya coba bermain gender. Saya bermain sampai di Klungkung dan saya langsung sehat. Bukannya saya maksa, tetapi kalau saya main saya merasa segar," kata seniman yang pernah mengikuti berbagai festival musik internasional, seperti Tokyo Musik Festival 1995 dan festival musik di Austria, Kanada, Jerman, dan Australia.

Keindahan gender wayang boleh jadi tidak terdengar telinga mereka yang mengaku berbudaya di tengah gemuruh urusan tetek bengek di negeri ini. Wayan Loceng terus setia menjaganya. (XAR)


No comments: