18 June 2006

Tionghoa Desa Jamblang

Kompas, Sabtu, 28 Januari 2006



Bikin Dodol Pun Tak Mampu...

Ingatan Oey Lin Nio (50) menerawang ke masa empat puluh tahun lalu. Saat itu, ia masih seorang bocah kecil yang senang bermain. Bila Imlek datang, itu berarti pula datangnya kegembiraan. Sebab, selain sembahyang bersama keluarga di kuil, datangnya Imlek berarti ada berbagai pesta kue dan makanan gulai ayam campur rebung.

Itu kenangan Imlek yang menyenangkan bagi Oey. Namun, sejak 16 tahun terakhir, Imlek hanya menjadi hari yang hambar bagi janda dengan seorang putri ini. Tidak berbeda dengan hari biasa, pikirannya lebih banyak tersita untuk memikirkan cara bertahan hidup. "Bisa makan saja sudah sangat beruntung," katanya.

Rambutnya yang memutih dan raut muka yang sudah mulai berkerut itu seolah hendak bercerita tentang kepahitan hidup yang dijalani warga keturunan Tionghoa di Desa Jamblang ini selama puluhan tahun.

"Kalau memikirkan kesulitan hidup, mungkin saya tidak akan berhenti menangis," lanjutnya sambil mengusap mata yang berkaca-kaca.

Bila berkunjung ke rumahnya, mata kita mungkin tidak percaya. Gambaran tentang sejahteranya kehidupan warga keturunan Tionghoa niscaya buyar berkeping-keping.

Oey Lin Nio hidup bersama putrinya, Yenni (22), dalam sebuah rumah lembab berukuran 1,5 x 1,5 meter. Tempat itu merupakan bekas kandang babi yang kemudian dibangun beramai-ramai oleh warga sekitar sebagai tempat bernaung Oey dan anaknya.

Satu-satunya perabotan yang ada di dalam ruang sempit itu hanya sebuah kasur busa yang sudah jebol. Hanya sepertiga bagian kasur itu yang masih bisa dipakai, sebab sisanya jebol dan lembab terkena air hujan. Maklum, genteng rumah itu banyak bocornya.

Di kasur yang lebarnya tidak lebih dari satu meter itulah Oey dan anaknya berbagi tempat untuk tidur. Listrik pun tidak ada. Mereka hanya ditemani penerangan lampu minyak yang ditempel di dinding rumah.

Di samping rumah Oey ada tungku untuk memasak. Beberapa peralatan masak ada di tempat itu. Sebagian terlihat lembab dan basah.

"Kalau sedang musim hujan saya memang sulit memasak, sebab tempat ini tidak terlindung dari hujan," ujar perempuan yang memiliki nama Indonesia Linawati ini.

Dulu, sebelum tahun 1990, Linawati hidup sebagai penjaga kandang babi. Di tempat ini peternakan babi memang sempat berjaya sampai tahun 1990. Namun, sejak peternakan babi bangkrut, Lina dan warga sekitarnya terpaksa mencari pekerjaan lain.

Suaminya, Seng Tjiang, bekerja menjajakan kue jamblang. Tidak lama kemudian suaminya meninggal. Lina pun menggantikan profesi suaminya sebagai penjaja kue keliling dengan dipikul. Sejak enam bulan lalu, kaki Lina sakit dan sulit berjalan jauh.

Saat ini anaknya, Yenni, yang menggantikan menjajakan kue basah dan kering berkeliling daerah Jamblang dan sekitarnya.

Rabu (25/1) sekitar pukul 15.00, Yenni pulang dengan membawa uang Rp 8.000. "Hari ini dapat uang lebih sedikit. Biasanya bisa dapat Rp 10.000," ujar Lina.

Dengan penghasilan yang seadanya itu pula Lina dan anaknya bertahan hidup. Dari uang itu ia membeli beras dan lauk untuk makan. "Kadang saya dapat beras miskin, tapi tidak semuanya bisa saya beli karena uang juga terbatas," ujarnya.

Untuk Imlek kali ini, Lina tidak mempersiapkan apa-apa. Ia hanya berniat sembahyang tahun baru bersama Yenni di rumahnya.

"Tidak mungkin saya membuat gulai ayam dan rebung. Apalagi memberikan angpau kapada anak-anak kecil. Paling-paling saya membeli dodol china. Dengan uang Rp 5.000 saya bisa dapat 10 buah. Itu sudah cukup untuk merayakan Imlek tahun ini," ujarnya.

Linawati adalah salah satu potret kemiskinan warga keturunan Tionghoa di Desa Jamblang, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon. Menurut Ketua RT 15, RW 06, Desa Jamblang, Kin How (40), sekitar 80 persen warganya merupakan keluarga tidak mampu. "Bahkan separuh dari 60 kepala keluarga di sini adalah penerima bantuan langsung tunai," ujar Kin How.(d14)

No comments: