10 February 2010

Karakter kita


Kompas Rabu, 20 April 2005

Saatnya untuk Bercermin, Melihat Kelemahan



LIMA puluh tahun sejak berlangsungnya Konferensi Asia- Afrika tahun 1955 di Bandung harus diakui bahwa apa yang yang dicita-citakan pada lima dekade lalu itu masih jauh dari kenyataan. Setidaknya negara-negara di benua Asia-Afrika, yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 73 persen dari populasi dunia, masih belum memiliki posisi tawar-menawar yang setara dalam percaturan internasional.


Sampai saat ini masih ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup di bawah penghasilan 1 dollar AS per hari, juga masih lebih dari 700 juta orang yang setiap harinya menderita kelaparan di mana sebagian besar dari jumlah ini berada di Asia Selatan dan Afrika subsahara. Tingkat kematian anak-anak balita masih 100 berbanding 1.000 anak di 35 negara, yang sebagian besar, lagi-lagi, berada di Afrika.


Berbagai pendekatan politik dan ekonomi telah diterapkan untuk menganalisis sekaligus untuk menarik negara-negara Afrika dari pusaran kejatuhan yang makin dalam. Di antaranya melalui paket reformasi politik yang antara lain diimplementasikan melalui pemilihan umum yang transparan, partisipasi multipartai, termasuk mewujudkan kepemimpinan sipil. Ada yang berhasil, seperti Afrika Selatan dan Bostwana yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan politik yang baik, di mana keduanya memiliki pendapatan per kapita di atas "zona transisi demokrasi" (3.000-6.000 dollar AS). Namun, lebih banyak negara-negara yang sampai kini terkungkung kemiskinan.


Di Asia situasinya lebih beragam. Ada kelompok yang sudah masuk dalam kelompok negara maju, dengan salah satu indikatornya tingkat pendapatan per kapita yang tinggi, seperti Jepang (34.510 dollar AS) dan Singapura (21.230 dollar AS), yang ditempel ketat oleh Korea Selatan (12.020 dollar AS). Sementara itu, negara berkembang, seperti Malaysia (3.780 dollar AS) dan Thailand (2.190 dollar AS), sudah berhasil memperpendek jarak dengan negara-negara maju. Dua negara besar, China dan India, bahkan kini sudah diperhitungkan akan menjadi raksasa ekonomi di kawasan. Tapi, ada juga negara-negara yang dianggap masih "berjalan di tempat", di antaranya Indonesia yang terus disibukkan dengan krisis domestik.


Sangat mudah untuk "melemparkan kesalahan" atas kegagalan pembangunan ini kepada era kolonialisme yang terjadi di Asia dan Afrika pada masa lalu. Namun, setelah kemerdekaan dan kedaulatan diperoleh selama beberapa dekade masih pantaskah bila masa lalu dijadikan alasan kegagalan saat ini?


Daniel Etounga-Manguelle (warga Kamerun mantan penasihat urusan Afrika di Dewan Bank Dunia) dalam artikelnya: Does Africa Need a Cultural Adjustment Program? menuliskan, langkah pertama untuk memperbaiki diri adalah dengan mengumpulkan keberanian untuk berkaca dan mengenali seluruh keburukan diri sendiri. Manguelle merasa yakin, sejumlah karakteristik dalam kultur masyarakat Afrika ikut memberikan kontribusi dalam lingkaran kegagalan yang kini melanda mayoritas negara-negara di Afrika. (Culture Matters, How Values Shape Human Progress; Lawrence E Harrison, Samuel P Huntington, ed, 2000).


Tesis pertama yang diajukan Manguelle adalah pandangan bahwa di negara-negara yang memiliki hierarchical distances (jenjang hierarkis) yang kuat, masyarakatnya cenderung statis dan secara politis tersentralisasi. Kekayaan nasional umumnya terkonsentrasi di tangan sekelompok elite. 


Sementara sebuah generasi berlalu tanpa adanya perubahan signifikan dalam pola pikirnya. Sebaliknya, di negara-negara dengan jenjang hierarkis yang pendek umumnya terjadi transformasi teknologi dibarengi dengan sistem politik yang terdesentralisasi yang didasarkan pada sistem representasi. Kekayaan nasional terdistribusi dengan merata, sementara anak-anak memperoleh pendidikan dengan materi yang lebih baik dibandingkan dengan generasi sebelumnya.


Dengan kata lain, dalam sebuah kultur yang horizontal, semua warga memiliki hak yang sama, termasuk ketika berhadapan dengan kekuatan hukum. Dalam kultur seperti ini diyakini bahwa cara terbaik untuk mengubah sistem sosial adalah dengan mendistribusikan kekuasaan.
Afrika, kata Manguelle, memiliki kultur yang vertikal di mana mereka yang memiliki jabatan merasa berkuasa, bahkan hukum pun tunduk pada kekuasaan. Konsekuensinya, tumbuh keyakinan bahwa cara terbaik untuk mengubah sistem sosial adalah dengan menggulingkan kekuasaan.


Masyarakat Afrika juga dinilai tak mampu mengontrol ketidakpastian. Bagi mereka, yang penting adalah hari ini. Karena tak adanya persepsi yang dinamis tentang masa depan, masyarakat Afrika tak terbiasa merencanakan masa depan, seakan hari berlalu karena sudah diatur "dari sananya". "Nature is his master and sets his destiny," tulis Manguelle.


Masyarakat Afrika juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau mistik dan supranatural. Bila seorang presiden atau raja terhindar dari kecelakaan, seluruh masyarakat percaya bahwa ia memiliki kekuatan magis. Dan ini juga berlaku bagi warga biasa yang kemudian punya kedudukan. "Begitu seorang warga Afrika diberi sedikit kekuasaan, ia cenderung menjadi arogan dan tidak toleran". Rasa iri akan kesuksesan orang lain juga dominan dalam hubungan kerja sehingga muncul anekdot bahwa untuk menjatuhkan seseorang dari jabatannya cukup dengan mengungkapkan kepintaran yang bersangkutan.


Karakteristik lain yang menonjol adalah subordinasi individu di dalam masyarakat sehingga tak tertanam konsep bahwa seorang individu memiliki otonomi sekaligus patut bertanggung jawab. Dengan kata lain, sangat biasa bahwa di sebuah kementerian, misalnya, problem apa pun dianggap hanya bisa diselesaikan oleh sang menteri. Para pejabat lainnya, termasuk supervisi dan manajer, hanya pendamping dan tidak merasa perlu bertanggung jawab. Sang menteri pun tak mengeluh karena bila ia mendelegasikan otoritasnya, maka itu berpeluang bagi munculnya seorang bintang baru yang akan menjadi kompetitornya.


Masyarakat Afrika juga gemar melakukan kenduri, mulai dari pesta kelahiran, perkawinan, naik pangkat, kelulusan, kematian-terlepas apakah gajinya cukup atau tidak. Setiap pesta harus "wah" dan mengundang sebanyak mungkin orang. Hubungan interpersonal sangat penting bagi masyarakat Afrika dan ini terbawa pada proses bisnis yang lebih mementingkan perkawanan.


TULISAN Daniel Etounga-Manguelle didasarkan pada pengamatannya sebagai warga Afrika dan mungkin tidak bisa digeneralisasi dengan simplistis. 


Namun, bukankah apa yang dijabarkan Manguelle tersebut cukup akrab di telinga masyarakat Indonesia?


Indonesia bukan saja semakin tertinggal oleh para tetangganya, tetapi juga di cap sebagai salah satu negara terkorup di dunia dengan beban utang luar negeri yang sangat besar. Fondasi ekonomi yang lemah membuat negara ini "luluh lantak" ketika diterjang krisis ekonomi tahun 1997. Hanya dalam setahun pendapatan per kapita Indonesia jatuh dari 3.038 dollar AS menjadi hanya 600 dollar AS (kini sekitar 810 dollar AS, menurut data Bank Dunia tahun 2003).


Bila sejumlah negara tetangga yang ikut diterjang krisis ekonomi bisa bangkit dengan cepat, Indonesia tetap "tak bergerak" meskipun telah melampaui periode reformasi selama tujuh tahun. Kita mungkin tergoda untuk berkata, "ya, tapi bukankah penduduk mereka tak sebanyak Indonesia, negaranya juga tak sebesar negara kita, terdiri dari ribuan pulau lagi!". Namun, tengoklah China dan India yang populasinya masing-masing lebih dari 1 miliar jiwa. Bahkan Jepang-ini contoh klise-membangun ekonominya dari reruntuhan setelah kalah perang pada Perang Dunia II.


Sudah banyak analisis yang dilontarkan para ahli mengenai keterpurukan Indonesia. Namun, pandangan bahwa jangan-jangan karakteristik dalam kultur setempat ikut berkontribusi terhadap mandeknya pembangunan cukup mengusik. Seperti dinyatakan Ronald Ingehart, yang mengoordinasi the World Values Survey, memang terdapat hubungan yang sangat kuat antara nilai-nilai kultural dengan kinerja politik dan ekonomi sebuah bangsa.

Tak banyak peneliti Indonesia yang mencoba mengaitkan kedua hal itu. Namun, mendiang Mochtar Lubis di tahun 1977 menulis sebuah buku yang kemudian menjadi perdebatan hangat di masyarakat, Manusia Indonesia, (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Florence Lamoureux menjadi The Indonesia Dilemma) yang isinya menelanjangi watak negatif masyarakat Indonesia.
Silang pendapat mengenai isi buku ini telah berhasil membawa permasalahan tentang "manusia Indonesia" ke ruang publik. Keberatan umumnya ditujukan pada pendekatan Lubis yang dianggap "kurang ilmiah" karena hanya berdasarkan pengamatan subyektif, namun Lubis pun bereaksi bahwa mereka yang menentang pandangannya juga tak didasari argumentasi "ilmiah".


Cukup banyak karakteristik manusia Indonesia yang disodorkan Lubis, di antaranya adalah kecenderungan orang Indonesia yang gemar takhayul dan hal-hal berbau supranatural. Alasannya beragam, mulai dari keinginan untuk mengetahui masa depan sampai cara untuk meraih kekuasaan ataupun kekayaan.


Ciri lainnya, orang Indonesia itu hipokrit alias munafik, lain di muka lain di belakang. Contohnya saja, para pejabat yang ditangkap karena terlibat kasus penyuapan dan korupsi adalah mereka yang sehari-harinya gemar berpetuah soal pemberantasan korupsi. Watak hipokrit ini juga berakar pada karakteristik berikutnya, yaitu keinginan untuk ABS (asal bapak senang), yang tumbuh dari mental feodal.


Manusia Indonesia juga punya kecenderungan untuk melempar tanggung jawab alias tidak mau disalahkan, sulit membuat keputusan (indecisive), mudah melepas prinsip, boros dan suka bersenang-senang, instan (kalau perlu membeli ijazah), iri pada orang yang memiliki kelebihan, dan mengagungkan status.


Misalnya menjadi PNS bukan niat untuk mengabdi kepada masyarakat, tapi lebih karena status. Orang Indonesia juga dinilai mudah mabuk kekuasaan bila diberi kewenangan atau jabatan.


Dalam diskusi kebudayaan Kompas bulan Maret 2004, sejumlah panelis yang hadir juga mengungkapkan sejumlah karakteristik lainnya. Di antaranya, masyarakat Indonesia itu mudah lupa. Memori yang pendek membuat bangsa ini sulit belajar dari kesalahan masa lalu. Padahal, pengelolaan suatu bangsa membutuhkan sebuah horizon yang merentang ke belakang maupun ke depan.


Selain itu, sistem kognitif kita dalam memandang dunia cenderung inward looking sehingga ideologi sempit nasionalisme telah membangun semacam konsep kepribadian nasional yang membuat kita merasa lebih istimewa dari bangsa lain, yang pada akhirnya membuat kita mudah mencari kesalahan pada pihak lain daripada berkaca pada diri sendiri. Selain itu, persepsi kita mengenai sejarah masih terbelenggu dalam soal "menang dan kalah" sehingga rekonsiliasi bangsa sulit diwujudkan.


APA kaitannya semua ini dengan Konferensi Asia-Afrika? Mungkin inilah momentum untuk mawas diri dan bertanya, mengapa kurun waktu 50 tahun masih tak cukup bagi sejumlah negara di Afrika dan Asia, khususnya Indonesia, untuk mengejar ketertinggalan.


Bila ditelusuri, ada sejumlah kesamaan antara apa yang diungkapkan Manguelle dan Lubis mengenai "nilai-nilai" yang berlaku di masyarakat masing-masing, yang bisa berujung pada tak efektifnya birokrasi pemerintahan, misalnya kecenderungan untuk melakukan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), lebih percaya pada supranatural daripada etos kerja, lebih suka pada hal-hal yang instan dari pada hasil perencanaan yang didukung kerja keras dan disiplin.


Karakteristik seperti ini akan menjadi faktor penghambat kemajuan, khususnya bila terdapat pada mereka yang memegang tampuk kepemimpinan, entah itu ketua lembaga swadaya masyarakat atau lurah, pimpinan partai politik sampai anggota DPR, menteri ataupun presiden.
Bila resep-resep ekonomi dan politik belum juga mampu membawa negeri ini dari pusaran kesulitan, barangkali persoalannya bukan hanya di bidang itu, tetapi juga ada dalam kultur kita yang telah mengakar lebih dari satu generasi. Kita harus berani bercermin, dan menunjuk nilai-nilai mana yang perlu dirombak dan kemudian dikampanyekan dalam kebijakan-kebijakan strategis. (Myrna Ratna)

No comments: