09 January 2005

Babakan Kasus Preman Jakarta - Penembakan di Fluid Bar Hilton

Nah, keliatankan, semakin berbelit belit. Itulah sebuah Ken Arokisme, sebuah negeri tanpa kepastian hukum.

Ini kutipan dari Koran Kompas Minggu hari ini.

Minggu, 09 Januari 2005

Kasus Penembakan di Hotel Hilton
Perlawanan terhadap Kesewenang-wenangan

PADA Jumat (7/1) sekitar pukul 16.30, lelaki berinisial Wwn tanpa dinyana-nyana mendatangi Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya dengan didampingi pengacaranya, Sukardiman Rais. Ia datang untuk menyerahkan senjata api jenis Revolver kaliber 22 bersama tiga butir peluru.

Setelah dilakukan uji balistik, dipastikan Revolver itu yang diduga digunakan Adiguna Sutowo untuk membunuh Yohanes Brachman Haerudy Natong (28) alias Rudy.

Menurut pejabat sementara Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah (Polda) Metropolitan Jaya Ajun Komisaris Besar Edy Tambunan, Sabtu kemarin, Wwn pada Sabtu dini hari itu berada pada jarak sekitar satu meter dari Adiguna. Dia melihat Adiguna menembak Rudy.

Setelah menembak, Adiguna meraih tangan Wwn dan melekatkan senjata ke tangan pemuda itu. Selanjutnya, Adiguna meninggalkan Bar Fluid Club dan pergi ke kamar 1564 Hotel Hilton. Wwn yang memegang senjata tersebut ketakutan dan menghilang.

Selama "menghilang", Wwn terus mengikuti perkembangan kasus penembakan Rudy di media massa yang mengarah pada hilangnya senjata api. Terdorong rasa takut dan keinginannya membantu penyidikan, Wwn menyerahkan senjata tersebut kepada polisi.

Kepala Bidang Humas Polda Metropolitan Jaya Komisaris Besar Tjiptono menyatakan, setelah diperiksa ulang, Adiguna yang pada saat pemeriksaan didampingi lima pengacaranya tetap menolak sangkaan melakukan pembunuhan. Polisi tetap melakukan pemberkasan dan memiliki bukti kuat, termasuk ada tambahan keterangan ahli mengenai uji balistik. Pekan depan, berkas perkara bisa diselesaikan.

Menurut Budi Prakoso, project officer and desainer security system, uji balistik dilakukan untuk mencari kesamaan tapak (rifling twist print) yang membekas pada proyektil yang ditemukan dengan proyektil pembanding yang ditembakkan dari senjata yang sama.

Meski senjata memiliki tipe, jenis, merek, dan kaliber yang sama, tiap-tiap laras akan memiliki tapak yang berbeda. Uji balistik yang sesungguhnya akan menentukan besaran trajectory, velocity, impact factor, berat mesiu yang terkandung, dan berat proyektil amunisi dalam hitungan grins.

Menanggapi didapatinya senjata tersebut, Tjiptono menyatakan, diperolehnya senjata itu menunjukkan kepada masyarakat bahwa polisi bekerja sungguh-sungguh dan diharapkan masyarakat percaya. Pertanyaannya, apakah sampai saat ini masyarakat sudah memercayai penyidikan yang dilakukan polisi dalam kasus Adiguna?

Pertanyaan itu didasarkan atas pandangan masyarakat bahwa sebelumnya polisi terkesan menutup-tutupi (cover up). Selain itu, ada kekhawatiran akan muncul kekuatan besar dengan perencanaan besar, entah itu orang yang memiliki kekuasaan atau orang yang memiliki modal dan akses menuju kekuasaan yang ingin membelokkan arah penyidikan. Sederet kasus yang ditangani polisi bisa disebutkan di sini!

UNTUK menjawab pertanyaan itu, tak ada salahnya kalau kita menilik kembali kasus penembakan tersebut.

Pada hari Sabtu awal tahun 2005 lalu, terjadi penembakan terhadap Rudy di Bar Fluid Club, di Lantai 2 Hotel Hilton. Pemuda tersebut adalah pegawai bar yang baru bekerja di sana sekitar sebulan sambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, semester akhir.

Selain untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan biaya kuliah, tulang punggung keluarga di Flores (Nusa Tenggara Timur) ini juga menanggung biaya hidup keluarga. Bisa dibayangkan, betapa besar tanggung jawab dan harapan yang dibebankan pada pundak Rudy.

Ketika pemuda tersebut ditembak hingga tewas, perhatian publik pun tercurah padanya. Rudy bukan orang besar, tetapi semangat orang kecil yang ingin mengubah nasib membuat ia mendapatkan tempat di hati masyarakat.

Apalagi ketika polisi menduga tersangka tunggal pelaku pembunuhan tersebut adalah Adiguna, seorang putra mantan Direktur Utama Pertamina (almarhum) Ibnu Sutowo yang memiliki beragam bisnis besar. Ia juga adik kandung Ponco Sutowo, pemilik hak pengelolaan Hotel Hilton, tempat di mana Bar Fluid Club menambatkan perahu bisnisnya.

Fakta tersebut membuat pandangan masyarakat terhadap kasus ini berbeda dengan kasus penembakan biasa. Kasus tertembaknya Rudy hingga tewas, dengan pelaku yang diduga Adiguna, menunjukkan sebuah pertentangan kelas di mana pemilik modal dan kekuasaan berhadapan dengan rakyat jelata selaku pekerja.

Karena itu, kekhawatiran masyarakat bahwa kasus ini diduga akan berkelok-kelok mengikuti kehendak sang pemilik modal tentu bukan tanpa pertimbangan rasional. Apalagi, beberapa saat setelah kasus bergulir, muncul desas-desus bahwa Kepala Polda Metropolitan Jaya Inspektur Jenderal M Firman Gani diisukan mengadakan pertemuan dengan Ponco Sutowo.

Belum lagi adanya fakta lain yang terungkap bahwa bercak darah yang ada pada baju lengan panjang, handuk, dan tisu adalah darah Adiguna dengan golongan AB. Di tengah harapan masyarakat yang begitu besar kepada polisi, hasil uji laboratorium tersebut dirasakan sebagai kenyataan yang di luar harapan publik.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Petrus Salestinus melukiskan pernyataan itu sebagai tindakan melukai perasaan masyarakat dan keluarga korban. Pernyataan tersebut juga dinilai tergesa-gesa dan kebablasan serta mengondisikan masuknya pihak- pihak tertentu untuk memengaruhi jalannya penyidikan.

Kekhawatiran juga muncul ketika penanganan kasus pembunuhan itu juga di-back up Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri). Apalagi ketika banyak pernyataan yang datang bukan dari pejabat polda, tetapi justru datang dari pejabat di Mabes Polri. Lalu, ada apa dengan kasus Adiguna ini sehingga Mabes Polri harus turun tangan?

Namun, kekhawatiran masyarakat terhadap penanganan kasus pembunuhan dengan tersangka Adiguna itu semakin memuncak tatkala banyak pernyataan pejabat polisi yang berbeda satu sama lain.

Sebut saja, misalnya, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyitno landung yang mengungkapkan bahwa Adiguna tidak terdaftar dalam Badan Intelijen Kepolisian sebagai pemilik senjata api. Di lain sisi, Kepala Polda mengatakan senjata yang digunakan itu legal.

Suyitno mengungkapkan jumlah saksi yang diperiksa 19 orang, sedangkan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metropolitan Jaya Komisaris Besar Matheus Salempang menyatakan saksi berjumlah 18 orang.

Dalam beberapa kesempatan, Suyitno juga membuat pernyataan yang mudah dipersepsi. Misalnya saja ketika dia mengatakan kalau Adiguna main-main dengan mengacungkan senjata ke arah Rudy dan menarik picu. Tarikan pertama dan kedua gagal, baru pada tarikan ketiga menyalak.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan, kegagalan pengungkapan kasus pembunuhan biasanya terjadi akibat kurangnya alat bukti.

Dalam kasus Adiguna, katanya, polisi memiliki alat bukti yang cukup. Sudah ada keterangan saksi, korban, serta senjata yang digunakan pelaku. (HERMAS EFENDI PRABOWO)

No comments: