12 February 2005

60 tahun merdeka, 60 tahun menjadi bangsa miskin pariah, akankah 60 tahun lagi?

SUARA PEMBARUAN DAILY
WashWatch

Tahun Ayam Kayu 2005

Christianto Wibisono

TAHUN 2005 ini, menurut Zodiak Imlek, adalah Tahun Ayam Kayu yang merupakan siklus 60 tahunan dari tahun 1945 kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kita baru saja menghadapi musibah bencana alam terdahsyat di akhir tahun Monyet 2004.

Menjelang Imlek, pemerintah mengikuti perundingan Helsinki dengan GAM yang diprakarsai oleh Crises Management Initiative (CMI) pimpinan mantan PM Finlandia. CMI menggantikan peranan Henri Dunant Center yang pernah memprakarsai perundingan RI-GAM di Swiss yang menghasilkan jeda kemanusiaan yang gagal untuk dipertahankan.

Menurut majalah Tempo minggu lalu, Wapres Jusuf Kalla menyambut prakarsa CMI dan melakukan kontragerilya dengan "politik devide et impera" terhadap para pemberontak GAM.
Dalam laporan itu diungkap tentang kemungkinan penggunaan suap berupa uang, harta, tanah, property, dan fasilitas bisnis untuk para pemimpin GAM, sebagai imbalan terhadap kesediaan mereka mencabut tuntutan kemerdekaan untuk Aceh.

Money politics rupanya bukan hanya berlaku pada Munas Golkar atau pemilu presiden dan legislatif, melainkan juga bisa valid untuk perundingan antarlawan politik. Memang hal seperti itu tidak jarang terjadi, bahkan pada tataran perundingan internasional di antara dua negara berdaulat.

Misalnya, waktu Jerman Barat ingin mempersatukan Jerman Timur, Gorbachev merelakan persatuan itu dengan membiarkan tentara Uni Soviet "diam saja" tidak bergerak menindas aksi demokrasi di Jerman Timur dan Berlin Timur. Untuk kerelaan itu, Kanselir Jerman Barat waktu itu, Helmut Kohl, harus rela merogoh kocek bantuan untuk relokasi tentara Soviet dari wilayah Jerman.

Ketika Anwar Sadat rela datang ke Knesset (Parlemen Israel) untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel, AS selalu menjadi sinterklas memberi hadiah, berupa grant, pinjaman dan juga bantuan militer kepada Mesir. Jumlah yang diberikan setara dengan arus bantuan AS ke Israel. Hal yang sama berlaku dengan Korea Utara dan sekarang dengan Iran.

Memang kadang-kadang bisa timbul kesan pemerasan oleh kelompok yang berontak atau menantang. Kim Jong Il misalnya, bertingkah laku pemeras yang menyandera AS dengan todongan nuklir, dan menuntut arus bantuan dana untuk kebutuhan rakyatnya yang kelaparan. Rezim ayatollah Iran juga memakai inventaris nuklir untuk memeras fasilitas dari Barat (AS dan Uni Eropa).

Jadi, ada semacam "give and take", atau bisa juga disebut uang tebusan, atau uang ganti rugi atau uang tebus dosa yang harus dikeluarkan untuk mengubah posisi atau sikap yang diambil oleh suatu negara terhadap negara lain.

Apa boleh buat, memang dunia ini bukan terdiri atas orang terhormat yang mencari makan secara halal, produktif dan konstruktif. Melainkan juga terdiri dari pemeras, pencoleng, teroris yang tega melakukan apa saja untuk memeras lawan politik secara keji dan diluar batas kemanusiaan.

*

DALAM menghadapi situasi seperti itu, kadang-kadang negara memang dalam keadaan terdesak, bisa melakukan kompromi berupa kesediaan mengampuni atau malah memberi semacam ganti rugi kepada para pemberontak dan teroris. Kanselir Willi Brandt dari Jerman termasuk yang rela berkompromi dengan gerilyawan Palestina untuk membebaskan teroris yang membunuh atlet Israel dalam Olympiade Munich.

Tuntutan teroris memang menjadi buah simalakama bagi korban dan pemerintahan yang dijadikan sasaran teroris. Karena pemerintah suatu negara tentu harus mempertanggungjawabkan langkahnya kepada rakyat dan DPR.

Sedang teroris tidak pernah bertanggung jawab kepada rakyat. Mereka dengan "leluasa" bisa mendikte penguasa formal dan menikmati uang pemerasan secara tidak adil, bila dilihat dari pengorbanan mereka yang sudah sempat mati "konyol" dalam perang yang dikobarkan oleh para elite politik dari kedua pihak yang bersengketa.

Rakyat Aceh dan prajurit TNI serta polisi Indonesia sudah banyak yang mati dalam konflik berkepanjangan. Sekarang para pentolan GAM yang kebanyakan tinggal dalam kenikmatan subsidi sosial oleh negara tempat mereka "indekos" di Swedia, malah akan memperoleh "uang tebusan dan harta ganti rugi" untuk kenikmatan mereka pribadi.

Bagaimana nasib rakyat Aceh yang dijadikan bola permainan politik oleh dua kubu elite (GAM dan Pemerintah NKRI)?

Dunia mengenal dua macam tokoh. Politisi sejati yang berkembang menjadi negarawan bijak adalah orang memimpin kelompok orang (partai, bangsa dan negara), dan mengabdikan diri untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara optimal dengan kepandaian, kepemimpinan dan kebijaksanaan pemimpin yang efektif.

Sedang koruptor dan petualang politik serta pemimpin teroris, hanya mengatasnamakan "rakyat" yang abstrak untuk memperkaya diri sendiri, menikmati harta atas nama kelompok "rakyat" yang "diperjuangkan".

Padahal belum tentu kegiatan dan kepemimpinan dari para elite "jahat" itu benar-benar diabdikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebab seluruh Dunia Ketiga mengalami stagnasi, bahkan kemerosotan dan keterpurukan kondisi sosial ekonomi, justru ketika elite pemerintahan dikuasai bangsa sendiri yang mengambil alih dari penjajah kolonial abad XIX.

Para pemimpin Dunia Ketiga seperti Presiden Venezuela Hugo Chavez, berteriak tentang imperialisme AS yang akan menyerbu Amerika Latin, dalam World Social Forum di Brazil yang bertujuan menandingi World Economic Forum di Davos, Swiss.

Tapi Dunia Ketiga yang sudah merdeka lebih dari setengah abad, tidak pernah mawas diri untuk berani mengoreksi kepemimpinan "pribumi" pascakolonial. Mereka selalu menuding mantan kolonialis sebagai biang keladi dan kambing hitam kesulitan hidup negara pascakolonial.

Padahal sumber utama keterpurukan bangsa Dunia Ketiga adalah mental korup dan munafik, yang mencengkeram elitenya seperti virus penyakit mental yang sulit disembuhkan.

Transaksi politik bisnis ekonomi antara elite politik yang saling memberikan "konsesi" untuk memperoleh dukungan dan mempertahankan kekuasaan, tanpa melibatkan atau berdampak langsung bagi rakyat jelata, tidak akan menyelesaikan persoalan.

Bila sistem politik Dunia Ketiga hanya slogannya saja populis, mengatasnamakan rakyat, tapi isinya hanya kongkalikong, konspirasi antara elite secara munafik, rakyat tidak akan tertarik dan terangsang untuk membangun secara optimal. Bangsa dan negara Dunia Ketiga akan mengalami siklus dari generasi ke generasi, dari tahun ke tahun, bahkan dari abad ke abad tetap saja dalam kondisi melarat dan miskin.

Karena, sistem hukum tidak menghargai dan melindungi warga yang berprestasi, melainkan hanya mengamankan klik penguasa elitis yang cenderung bermental parasit dan predator terhadap bangsa sendiri.

*

TAHUN Ayam Kayu 2005 yang diawali dengan tekad untuk mencegah Aceh merdeka, kalau perlu dengan "menyogok GAM", barangkali tidak akan se-"indah" mimpi tentang siklus keemasan bagi Republik Indonesia.

Sebab di balik basa-basi "diplomasi" Helsinki, masih banyak sikap mental warisan masa lalu, mental KKN, moral korup, watak primordial, karakter SARA yang selalu lebih mudah mengambinghitamkan orang lain ketimbang melakukan introspeksi yang objektif terhadap kesalahan dan kelemahan serta kekurangan diri sendiri.

Pembangunan kembali Aceh pascatsunami, bila tidak dikelola dengan mentalitas politisi dan negarawan sejati yang benar-benar akan mengabdi dan menyejahterakan rakyat, pasti hanya akan memperbesar volume dan skala KKN dalam tubuh bangsa Indonesia.

Jika pembangunan Indonesia tetap dilanjutkan dengan iklim KKN dan kemunafikan, sulit diharapkan RI akan mentas dari penyakit selama 60 tahun usianya. Gelombang tsunami sebetulnya diharapkan akan mempertobatkan elite RI agar mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semangat dedikasi dan stewardship (mengelola titipan Tuhan) yang luhur dan murni.

Jika mentalitas pre-tsunami masih tetap bercokol dalam diri elite Indonesia berupa KKN tradisional permanen, kemunafikan dan mental Ken Arok yang turun-temurun, tanpa integritas moral yang kesatria, Indonesia pasti tidak akan mentas dari peringkat keterpurukan yang tetap menjeratnya selama ini.

Tahun Ayam Kayu bagi dunia diawali dengan pemilu Irak yang merupakan ujian apakah demokrasi bisa berlangsung di Timur Tengah di tengah ideologi kebencian SARA primitif yang paling alot. Tapi Tahun Ayam Kayu juga masih mencatat bahwa, bahkan di benua Amerika Latin, kebencian anti-AS masih sama virulent-nya dengan kondisi 50 tahun yang lalu.

Dulu, Caracas juga menjadi sorotan dunia karena demo anti-Wapres Nixon yang berkunjung ke Venezuela. Sekarang Hugo Chavez tetap menyuarakan kebencian anti-AS dari tempatnya bercokol di singgasana kepresidenan negara penghasil minyak terbesar di belahan Amerika Latin.

Tahun Ayam Kayu juga ditandai dengan penerbangan langsung antara Tiongkok Daratan dan Taiwan yang bisa memperbesar harapan penyelesaian damai antara Beijing dan Taipeh. Muamar Khadafi menganjurkan Iran dan Korea Utara menghentikan program nuklir untuk memperoleh konsesi dari AS dan Barat.

Singapura sedang mengkaji kebijakan pembukaan kasino, karena menurut Menteri Mentor Lee Kuan Yew, situasi dunia sudah berubah. Sekarang banyak jutawan dan elite yang melanglang buana menikmati kasino di mana saja, Las Vegas Macao dan sekarang juga di beberapa lokasi di luar Macao di Asia.

Kalau Singapura tidak mengubah kebijakan, sebagian elite Singapura yang punya potensi global gambler akan pergi ke luar Singapura untuk menikmati hobi yang mahal itu. Karena itu, Singapura harus memutuskan apakah akan ikut menikmati "bisnis kasino global" itu atau puritan tapi tidak memperoleh manfaat.

Kepemimpinan memerlukan keberanian untuk berubah sesuai tantangan zaman. Ia dicecar pertanyaan para mahasiswa tentang perannya yang mirip despot di Singapura. Dengan tenang pendiri Singapura itu menyatakan bahwa ia dulu adalah seorang sosialis tapi setelah itu adalah penganut free market, tapi dengan disiplin antikorupsi.

Kalau sampai Singapura jatuh ke tangan rezim KKN, akan sulit memperbaikinya, mungkin diperlukan puluhan tahun. Jadi jangan "take if for granted" bahwa Singapura bisa menjadi seperti sekarang ini jika generasi mudanya bermental hanya ingin melihat check and balance tapi tidak meneliti lebih dulu kualitas dari elite yang berpidato muluk tentang oposisi dan kritik terhadap establishment.

Lee Kuan Yew bisa berbicara demikian karena track record-nya memang bersih dari korupsi. Walaupun memang sulit mengharapkan lahirnya "despot yang benevolent" secara "massal" di seluruh dunia. Biasanya memang hanya random yang langka, lahirnya pemimpin kelas negarawan yang benar-benar hanya mengabdi dan ingin menorehkan namanya sebagai pembangun suatu bangsa yang dikenal sejarah.

*

TAHUN Ayam Kayu 2005 tidak berbeda dari tahun yang mana saja. Jumlah harinya juga sama, jadi kalau dilewatkan juga akan mengakibatkan kemandekan yang menjemukan. Kalau manusia biasa dan elite Indonesia tidak melakukan perubahan apa-apa, dan tetap ingin menjalankan pemerintahan, kehidupan sosial politik dengan gaya 60 tahun pertama, ya siapa yang mampu mengubahnya?

Kalau manusia dan elite Indonesia lebih senang ber KKN ria, lebih cenderung munafik dan lebih tertarik untuk iri dan benci pada orang yang berprestasi, tanpa keberanian mawas diri, mengubah diri menjadi yang lebih baik, tidak ada orang yang akan "menyogok" kita.

Hanya orang dan elite Indonesia sendiri yang bisa mengubah, memperbaiki, dan meningkatkan kepribadian untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Tidak ada Sinterklas yang akan memberi keajaiban dan kado untuk orang yang tidak berprestasi tapi hanya ingin mencatut nama orang lain, melecehkan orang lain dan ingin membajak orang lain untuk kenikmatan diri sendiri.

Sebagian elite barangkali bisa menikmati KKN secara berlebihan bahkan untuk tujuh turunan. Tapi karena perilaku elite seperti itu, jutaan penduduk biasa hanya tetap mengais dengan penghasilan yang minim di bawah US$ 1 sehari.

Celakanya, seperti juga bagian dunia lain, rakyat yang kurang mengerti akan tingkah polah elite gampang dibujuk dan dihasut untuk mengobarkan kebencian kepada orang lain, bangsa lain dan negara lain. Padahal problem utama yang dihadapi bangsa Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, adalah problem keteladanan dan kenegarawanan elite, yang hampir seluruhnya terjangkit penyakit KKN dan kemunafikan.

Masa 60 tahun pertama RI sudah akan kita lewati, memasuki 60 tahun kedua. Harus ada terobosan mental untuk menjadi bangsa yang dewasa, matang, dan bijaksana serta berani mengoreksi kelemahan diri sendiri. Tanpa itu, tidak akan ada orang yang bisa mengubah atau mengentaskan.

Hanya orang dan elite Indonesia sendiri bisa menciptakan Indonesia yang lebih sejahtera, lebih mandiri, dan lebih bermartabat. Jelas itu hanya mungkin jika mental KKN dan kemunafikan ditinggalkan dan diganti dengan perjuangan yang idealistis dan dedikasi yang beyond sekadar duties.

Kalau mental elitenya hanya "komersial" menyalahgunakan jabatan untuk menikmati harta karun tujuh turunan, bangsa ini tidak akan makmur walaupun melewati 70 turunan karena selalu akan tersabot oleh dinasti KKN tujuh turunan.

Walhasil, Tahun Ayam Kayu boleh jadi maskot dan simbol untuk tekad perubahan agar 60 tahun lagi kita sudah boleh hidup sesuai martabat dan kuantitas penduduk. Kalau tidak berhasil, ya apa boleh buat. Bukankah Al Quran sendiri yang sering dikutip Bung Karno mengatakan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu sendiri tidak berkeinginan mengubahnya.

Kalau semua asyik ber-KKN ria, ya jangan salahkan Tuhan atau tsunami atau teroris atau "setan imperialis", melainkan salahkan dirimu sendiri. Enam puluh tahun lalu, sekarang, 60 tahun lagi, dan barangkali untuk selamanya. *

RALAT:
Dalam artikel opini "Catatan Jakarta" hari Sabtu (5/2) di halaman 9, terdapat kesalahan yang mengganggu. Kolom 1 alinea 3 tertulis "...nilai-nilai sosial politik yang mereka dambakan terus merugi," seharusnya meragi. Kolom 3 alinea ke-2 dari bawah tertulis, "...kemudian boleh menetap di Belanda." Seharusnya Pulau Banda; Kolom 3 alinea terakhir tertulis, "...Jepang menyerang Nusantara pada tahun 1442." Seharusnya 1942.
Mohon maaf, kesalahan diperbaiki.
Redaksi
Last modified: 8/2/05

No comments: