Copyright © 2005 Media Indonesia Online. All rights reserved.
Selasa, 08 Februari 2005 00:00 WIB |
BERITA UTAMA Imlek di Tengah Bayangan Prasangka |
GONG xi fa chai! Ucapan salam yang berarti selamat tahun baru ini makin akrab di telinga kita. Itulah salam untuk warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang merayakan Tahun Baru Imlek. Dalam lima tahun terakhir, warga negara Indonesia keturunan Tionghoa telah mendapat kebebasan untuk merayakan hari besarnya secara terbuka setelah selama berpuluh-puluh tahun dilarang. Kebebasan merayakan Imlek ini dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001 atau sejak Imlek 2552. Warga negara Indonesia keturunan Tionghoa diperbolehkan merayakan Tahun Baru Imlek dan hari itu ditetapkan sebagai hari libur fakultatif. Artinya, hari libur bagi yang merayakannya. Setelah Presiden Wahid, pada tahun 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari besar nasional. Artinya, Imlek mulai memperoleh tempat yang sama dengan hari-hari besar lain. Selanjutnya, hingga Imlek 2556 tahun ini, warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dapat terus merayakannya dengan bebas. Secara de jure dan de facto, kebebasan merayakan Imlek di Indonesia dan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur nasional merupakan bentuk pengakuan terhadap hak warga negara dari etnis Tionghoa, sama dengan warga negara dari etnis dan agama lain. Ini merupakan prestasi yang patut disyukuri oleh negara ini. Sebagai kelompok minoritas, warga negara keturunan Tionghoa telah dihormati haknya oleh kelompok mayoritas. Dalam lima tahun terakhir, embrio kehidupan yang demokratis telah tumbuh di dalam rahim Ibu Pertiwi. Meski demikian, dalam konteks mikro atau individu, ternyata masyarakat kita masih belum sepenuhnya menerima kebebasan orang Tionghoa dalam merayakan Tahun Baru Imlek. Hasil survei nasional Litbang Media Group-Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Januari 2005 mengungkapkan hal itu. Ketika ditanya setuju atau tidak dengan pernyataan bahwa orang-orang China (Tionghoa) terlalu menuntut persamaan hak dalam merayakan hari besar mereka, terdapat jumlah yang cukup seimbang antara yang setuju dengan yang tidak setuju, yaitu masing-masing 32,13% dan 36,09%. Sementara yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab menunjukkan angka yang juga cukup signifikan, yaitu 22,22%. Sisanya, 9,56% menjawab ragu-ragu. Sebagai kelompok minoritas, warga negara keturunan Tionghoa telah berpuluh-puluh tahun mendapat cap atau stereotip negatif, prasangka negatif, dan tindakan diskriminatif. Akibatnya, terjadi pola hubungan yang diwarnai dengan ketegangan antara orang Tionghoa dan keturunannya dengan penduduk asli Indonesia. Hasil penelitian dari para ahli seperti Mely G Tan (1976), Suwarsih Warnaen (1978), Oei Liang Lee (1985), dan Judo Husodo (1985) membuktikan terjadinya fenomena tersebut. Alasan irasional Akibat dari stereotip negatif tersebut, berkembanglah prasangka terhadap orang Tionghoa. Prasangka adalah suatu bentuk permusuhan di dalam hubungan interpersonal yang diarahkan kepada suatu kelompok, atau individu yang menjadi anggota suatu kelompok karena alasan yang irasional (Allport, 1954). Alasan irasional itu dapat berupa informasi yang tidak lengkap mengenai karakteristik suatu kelompok sehingga seluruh anggota kelompok tersebut dianggap memiliki sifat yang sama dengan kelompok tersebut. Dalam kaitannya dengan orang Tionghoa, stereotipe negatif yang dikenakan kepada kelompok orang Tionghoa digeneralisasi menjadi sifat setiap orang Tionghoa walaupun kenyataannya belum tentu demikian. Menurut Allport, ada beberapa bentuk implementasi prasangka dalam kehidupan masyarakat. Pertama, antilocution yaitu bentuk permusuhan yang diekspresikan dalam bentuk ucapan. Salah satu bentuk antilocution adalah penyebutan China terhadap orang Tionghoa. Penyebutan China dianggap memiliki konotasi negatif, yakni merendahkan atau menghina. Bentuk prasangka yang kedua adalah penghindaran (avoidance). Inilah yang terjadi ketika masyarakat terkotak-kotak menjadi kelompok-kelompok tertentu karena ada kecenderungan untuk menghindari kelompok yang tidak disukai, antara lain kelompok Tionghoa. Hasil survei nasional yang sama juga membuktikan bahwa hampir separuh responden menyatakan setuju orang-orang Tionghoa seharusnya tidak berusaha masuk ke lingkungan yang tidak menginginkan mereka. Ada 42,1 persen yang setuju dengan pernyataan itu, sedangkan 30,2 persen tidak setuju. Sementara yang ragu-ragu dan tidak tahu/tidak menjawab masing-masing 11 persen dan 16,8 persen. Ini menandakan bahwa penghindaran atau pembatasan dalam pergaulan masih terjadi. Warisan kolonial Fenomena ini memperoleh penjelasan dengan menengok jauh ke belakang sejarah Indonesia. Pada masa pemerintah kolonial Hindia-Belanda, penduduk dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan ras, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) seperti Tionghoa, Arab, dan India, dan golongan pribumi (inlander). Adanya pengelompokan tersebut berimbas pada sistem kehidupan masyarakat karena setiap kelompok memiliki peran dan status sosial-ekonomi yang berbeda. Golongan Eropa memegang hak paling istimewa dibandingkan kelompok lain atau menjadi kelompok yang paling diuntungkan. Sebaliknya, golongan pribumi adalah mereka yang paling dirugikan karena statusnya sebagai golongan yang terjajah. Sedangkan orang Timur Asing terutama Tionghoa adalah pedagang yang perlu merangkul penguasa Eropa untuk memuluskan usahanya. Sistem juga menyebabkan orang-orang dari Timur Asing ini kurang berbaur dengan golongan pribumi karena adanya sistem pemukiman dan kartu pas jalan. Di sinilah tumbuh bibit-bibit permusuhan dan ketegangan antara golongan pribumi dengan orang Tionghoa hingga sekarang. Pengelompokan dan perbedaan strata itulah yang kemudian memunculkan stereotipe dan prasangka negatif terhadap orang Tionghoa. Dalam survei yang sama terungkap bahwa golongan pribumi belum sepenuhnya dapat menghilangkan diskriminasi terhadap orang Tionghoa. Dalam bidang politik, ketika ditanya setuju atau tidak dengan pernyataan bahwa dalam beberapa tahun terakhir orang-orang China (Tionghoa) telah menerima kebebasan berpolitik yang terlalu besar. Yang menjawab tidak setuju dengan pernyataan itu memang paling besar persentasenya, yaitu 38,5 persen. Namun, persentase tersebut masih belum mencapai separuh dari keseluruhan jumlah responden. Sedangkan yang menjawab setuju dengan pernyataan tersebut juga cukup signifikan, yaitu 26,6 persen. Sementara yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab pun jumlahnya cukup besar, yaitu 24,9 persen. Sisanya, 9,9 persen menjawab ragu-ragu. Artinya, masyarakat kita belum sepenuhnya menerima keterlibatan orang Tionghoa dalam politik. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan melihat kenyataan yang ada selama ini. Orang Tionghoa dituduh sebagai agen komunis dengan keterlibatan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dengan PKI sehingga sejak tahun 1965 mereka dikucilkan dari dunia politik. Sejak saat itu pula tidak ada seorang pun dari etnik Tionghoa yang diangkat menjadi menteri sampai pada pemerintahan Soeharto yang terakhir, yaitu diangkatnya Bob Hasan alias The Kian Seng sebagai Menteri Kehutanan. Akan tetapi, walaupun tidak berkecimpung di bidang politik, warga Negara keturunan Tionghoa justru maju pesat di bidang ekonomi sejak Orde Baru. Pemerintah pun dinilai inkonsisten dalam masalah ini. Di satu sisi, pemerintah mengucilkan warga keturunan Tionghoa dalam bidang sosial-politik. Namun, di sisi lain, warga keturunan Tionghoa tampak akrab dengan penguasa dalam bidang ekonomi. Warga negara keturunan Tionghoa dikenal sebagai konglomerat yang menguasai perekonomian Indonesia dan dekat dengan para pejabat pemerintahan. Bahkan, ada anggapan bahwa orang Tionghoa yang hanya berjumlah 2 persen dari total populasi Indonesia menguasai 70 persen perekonomian. Faktor ekonomi-politik Ketidakseimbangan distribusi sumber daya ekonomi yang dipersepsi masyarakat tersebut akhirnya berbuah prasangka. Deprivasi relatif berupa ketimpangan status sosial-ekonomi yang dialami masyarakat kemudian memunculkan kebencian dan kecemburuan sosial dengan golongan minoritas sebagai kambing hitamnya. Puncaknya adalah kerusuhan sosial pada 13-14 Mei 1998. Pertokoan milik warga negara keturunan Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran oleh massa, dan kaum perempuan dari etnis ini juga dikabarkan mengalami perkosaan. Inilah bentuk prasangka yang paling ekstrem, yakni serangan fisik dan eksterminasi. Ironisnya, hingga kini dalang dan pelakunya belum dapat dimintai pertanggungjawaban di muka pengadilan. Berbagai bentuk prasangka dan implementasinya tersebut terus berlangsung di tengah masyarakat. Pada masa Orde Baru berbagai bentuk diskriminasi disahkan oleh pemerintah dalam peraturan perundangan, seperti Keputusan Presidium No 127/U/Kep/12/1966 mengenai Peraturan Ganti Nama bagi WNI Memakai Nama China. Selain di bidang sosial dan politik, peraturan diskriminatif juga pernah diterbitkan oleh pemerintah Indonesia terhadap warga keturunan Tionghoa. Beberapa di antaranya adalah Sistem Benteng tahun 1950. Sistem Benteng memberikan perlindungan kepada importir nasional (pribumi) berupa kredit, izin, dan keistimewaan mengimpor barang tertentu. Sistem ini kemudian mengalami kegagalan karena dalam praktiknya, para importir pribumi tetap menggunakan warga keturunan Tionghoa sebagai pelaksana kegiatannya. Akhirnya pada tahun 1954 pemerintah menghentikannya. Peraturan Pemerintah No 10/1959 juga termasuk kebijakan diskriminatif di bidang ekonomi. Peraturan ini melarang orang Tionghoa (WNA) melakukan perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah. Saat itu masih banyak orang Tionghoa memiliki dua kewarganegaraan, walaupun lahir dan besar di Indonesia. Namun dalam praktiknya, larangan tersebut diterapkan kepada siapa saja yang dianggap Tionghoa sehingga akhirnya sekitar 130 ribu orang Tionghoa meninggalkan Indonesia dan sistem perekonomian menjadi tidak menentu. Akhirnya peraturan itu pun dicabut. Berbagai produk hukum tersebut dapat dikategorikan sebagai diskriminasi rasial oleh negara terhadap warga negaranya sendiri (state sponsored racial discrimination). Peraturan-peraturan tersebut terbukti menekan kehidupan masyarakat dan merupakan bentuk pengucilan orang Tionghoa di Indonesia. Hal ini berdampak pada persepsi masyarakat terhadap warga negara keturunan Tionghoa. Warga keturunan Tionghoa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelompok etnis ini dinilai buruk sehingga harus dihindari dan dieliminasi. Di era reformasi, peraturan-peraturan tersebut akhirnya dihapuskan. Pemerintahan Presiden BJ Habibie memutuskan untuk menghapuskan berbagai peraturan yang diskriminatif melalui Inpres No 26/1998. Walaupun begitu, ada peraturan diskriminatif yang masih sulit untuk dihapuskan sepenuhnya, yakni masalah Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang dilahirkan dari Peraturan Menteri Kehakiman No JB 3/4/12 tahun 1978. Berulang kali peraturan yang menghapus SBKRI ini dikeluarkan, namun praktiknya tetap ada di masyarakat. Tahun 1996, melalui Keppres No 56/1996 SBKRI dinyatakan tidak berlaku lagi dan sebagai gantinya diberlakukan Kartu Tanda Penduduk. Penghapusan SBKRI kemudian diperkuat Inpres No 4/1999 yang isinya tentang pemberian instruksi kepada seluruh jajaran di instansi pemerintah untuk melaksanakan Keppres tahun 1996 tersebut. Untuk masalah SBKRI ini, sikap masyarakat pun terbelah dan banyak pula yang menunjukkan ketidaktahuan/ketidakpedulian. Hal ini terungkap dalam hasil survei nasional yang sama Januari lalu. Ketika ditanya apakah setuju atau tidak dengan pernyataan bahwa orang China (Tionghoa) memiliki pengaruh yang terlalu besar dalam penghapusan SBKRI, responden yang menjawab setuju dan tidak setuju cukup seimbang, masing-masing 23,5 persen dan 29,7 persen. Jumlah yang tidak tahu/tidak menjawab bahkan lebih banyak lagi, yaitu 33,9 persen. Sisanya menjawab ragu-ragu, yaitu sebanyak 12,9 persen. Fenomena ini cerminan dari masih adanya berbagai bentuk diskriminasi, yang telah ditanam selama berpuluh-puluh tahun dan bahkan dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai peraturan di atas. Masyarakat kemudian terbiasa dengan hal itu dan mempersepsikannya sebagai hal yang wajar. Selain itu, stigma bahwa warga keturunan Tionghoa adalah orang asing - yang dengan demikian masih harus menunjukkan SBKRI dalam pengurusan surat-surat - masih melekat di benak masyarakat. Masyarakat tampaknya juga masih terbelah dan belum sepenuhnya peduli dengan masalah diskriminasi ini. Survei tersebut juga mengungkap hal itu. Ketika ditanya apakah setuju atau tidak dengan pernyataan bahwa tindakan diskriminasi terhadap orang China (Tionghoa) tidak perlu dipermasalahkan di Indonesia, yang menjawab setuju cukup signifikan, yaitu 32 persen, walaupun yang menjawab tidak setuju lebih banyak, yaitu 40,2 persen. Namun, jumlah yang tidak setuju tidak lebih dari separuh. Ini menandakan bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya peduli dengan masalah diskriminasi yang terjadi di negara ini. Frustrasi dan agresi Kenyataan tersebut tentu tidak menguntungkan bagi kehidupan demokrasi di Indonesia karena dampak dari prasangka bersifat negatif. Dampak 'paling ringan' adalah frustrasi yang dialami terutama oleh warga keturunan Tionghoa sebagai pihak yang paling dirugikan. Akibat dari frustrasi ini adalah agresi dan kebencian. Agresi yang dilakukan mungkin tidak berbentuk serangan fisik, mengingat mereka adalah golongan minoritas. Namun, agresi dan kebencian dapat terwujud dalam bentuk prasangka dan diskriminasi terhadap golongan mayoritas yang pada akhirnya juga merugikan golongan mayoritas. Dampak lain yang juga dapat dialami warga keturunan Tionghoa adalah kekhawatiran dan ketakutan dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini tampak nyata pascakerusuhan Mei 1998. Banyak dari warga etnik Tionghoa melakukan eksodus ke luar negeri, termasuk mengungsikan modalnya. Data World Investment Report (WIR) 2003 menunjukkan, pada tahun 1999 pelarian modal ke luar Indonesia tercatat sebanyak US$2,7 juta. Jumlah ini meningkat menjadi US$4,4 juta pada tahun 2000. Namun, seiring dengan makin stabilnya kondisi politik di Indonesia, jumlah tersebut menurun menjadi US$3,2 juta pada tahun 2001 dan turun lagi menjadi US$1,5 juta pada tahun 2002. Dampak dari prasangka ternyata amat merugikan bagi kehidupan masyarakat sendiri. Jika tak segera dituntaskan, maka masalah prasangka antaretnis dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun di bidang-bidang lain. Perayaan Imlek tahun ini dapat dijadikan landasan untuk melakukan akselerasi peningkatan toleransi dan memperkecil prasangka terhadap warga negara keturunan Tionghoa, dan untuk membuat landasan sosial bagi kehidupan berbangsa kita semakin kukuh. Rizka Halida/Litbang Media Group |
Ma vie Wo de shen huo 我的生活 Mein Leben Hidupku La mia vita ..私の生命 Mijn leven Моя жизнь Η ζωή μου Minha vida 나의 생활 ..recording interests, thinking, dreams, thoughts, gratefullness, failures, regrets, wishes, wannabees, wishfull thinking. .. all of the beauty humanity Clippings made here from various medias, are for my own reading and recording serve no commercial purposes. Shared with friends who visited as a knowledge sharing information.
09 February 2005
Imlek di Tengah Bayangan Prasangka
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment