Kamis, 24 Februari 2005
Bangsa Ini Perlu Lakukan Rekonstruksi Peradaban
Jakarta, Kompas - Bangsa Indonesia harus melakukan rekonstruksi peradaban untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman yang sangat diwarnai nuansa demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, dan globalisasi, termasuk pasar bebas. Hal itu sangat diperlukan mengingat moral dan nalar bangsa ini sudah berada dalam kondisi krisis yang amat gawat. Pendidikan merupakan salah satu kunci menciptakan keseimbangan moral dan nalar.
Demikian antara lain hal yang mengemuka dalam diskusi "Menembus Batas Nalar" yang terselenggara atas kerja sama Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Darma Mahardika Institute, dan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) di Jakarta, Rabu (23/2). Diskusi dengan host Jakob Oetama dan Jansen H Sinamo ini menghadirkan pembicara kunci Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman.
Diskusi yang membahas buku Batas Nalar karya Donald B Calne ini menghadirkan panelis dari berbagai kalangan, di antaranya Prof Sudjoko, Prof Bambang Kaswanti Purwo, Peter F Gontha, Sudhamek AWS, Bambang Budjono, Nirwan Arsuka, MT Zen, Tjia May On, Ulil Abshar-Abdalla, Haidar Bagir, Ignas Kleden, B Herry-Priyono, Lies Marcoes, Sutradara Gintings, Nono Anwar Makarim, Hartojo Wignjowijoto, dan Kurtubi.
Saat ini bangsa Indonesia sedang menjauh dari moral dan nalar. Semua orang mencurigai sesamanya dan ini merupakan benih dari perpecahan. Jika tak hati-hati, hal itu akan membahayakan Indonesia sendiri.
Contoh lain akibat runtuhnya moral yang melanda bangsa ini adalah merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi terjadi mulai dari birokrasi paling tinggi hingga tingkat RT/RW sehingga republik ini tergolong dalam negara paling korup di dunia. Bahkan, sikap moral yang buruk sempat "dipertontonkan" bangsa ini di depan mata dunia ketika membatasi keberadaan pasukan asing (hingga 26 Maret 2005) yang melakukan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam.
"Ketika itu tidak ada kata terima kasih terhadap bantuan asing, yang secara sukarela membantu mengevakuasi mayat hingga membangun kembali sekolah yang rusak. Belum apa-apa kita sudah curiga. Sarat prasangka, melarat fakta," kata Prof Sudjoko.
Sutradara Gintings menambahkan, hingga kini reformasi dan demokrasi belum menyentuh moral dan nalar kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, diperlukan strategi budaya untuk menyinergikan moral dan nalar, baik dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara.
Namun, Gintings yang membahas dari sisi politik kontekstual Indonesia mengakui, reformasi baru menyentuh bidang politik. "Kita merasa sudah puas dengan reformasi politik ini, padahal tidak menghasilkan apa-apa karena reformasi tak menyentuh birokrasi," katanya. Ia memberi catatan, banyak kemauan baik untuk mengembangkan hal-hal positif guna disumbangkan bagi kehidupan berbangsa yang lebih baik, tetapi ternyata perubahan administrasi negara hampir tidak ada.
"Di dalam politik ternyata itikad baik dan kemauan baik itu sebagian besar hanya dikhotbahkan saja. Diperlukan kemampuan nalar untuk merealisasikan maksud-maksud tersebut," kata Gintings lagi.
Saat ini, lanjutnya, implementasi kemauan baik itu tak bisa direalisasikan karena sistem yang tidak mendukung. Reformasi politik jauh lebih maju dibandingkan dengan reformasi birokrasi. "Begitu banyak keputusan politik yang dibuat, tetapi sedikit yang bisa dilaksanakan," kata Gintings menambahkan.
Contohnya adalah kasus pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi kelompok etnis Tionghoa. "Semua presiden dan semua menteri sudah mengatakan aturan itu harus dicabut, tapi birokrasi di bawah tidak melaksanakannya. Apakah seperti itu bisa disebut birokrasi bermoral?" ucap Gintings.
Langka konsensus nasional
Nono Anwar Makarim menyatakan, masalah pokok nalar politik yang dihadapi Indonesia adalah kelangkaan konsensus nasional di dalam suatu konteks geografis teritorial yang tercerai-berai serta situasi serba kekurangan dana dan sumber daya manusia. Masalah pokok ini tidak diakui dalam pemikiran politik bangsa ini, dianggap tidak ada. Atau lebih parah lagi, dianggap akan terselesaikan asal saja dengan sikap mental yang tepat, yaitu dalam semangat 1945.
Nalar politik pada zaman Soeharto berkisar pada pemikiran bahwa era politisasi zaman Soekarno telah menyengsarakan rakyat. Agar rakyat dapat diangkat dari kesengsaraannya, politik harus dihentikan. Kegiatan politik yang terkendali harus berhenti pada tingkat kabupaten. Di bawah kabupaten, massa penduduk harus bersifat terapung, floating mass, dan harus bebas dari pengaruh politik.
Pemerintah RI di bawah Presiden BJ Habibie adalah pemerintah yang berpikir Barat dan beroperasi sebagai kelanjutan rezim Soeharto. Habibie seperti dikejar waktu mengegolkan sejumlah besar undang-undang yang berhasrat liberal. Ia berhasil dalam legislasi karena mayoritas di parlemen tetap berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Soeharto. Akan tetapi, ia kandas karena sabotase pasif birokrasi dan aparatur pemerintah.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid juga berideologi liberal, tetapi tak berhasil mengatasi beban yang kenyal menghinggapi kepemimpinannya.
Sementara pemerintahan Megawati Soekarnoputri jelas terlalu cenderung dibebani simbol dan nalar politik masa lampau yang digambarkan Soemarsaid Moertono dalam karya klasiknya, State and Statecraft in Old Java.
Saat ini pemikiran politik Indonesia masih terlalu preskriptif dan normatif. Hasilnya, bangsa ini, walaupun memiliki banyak keputusan politik yang dihasilkan, tidak mampu secara terperinci menggariskan jalan masa depan secara detail.
"Kita masih berhenti pada the what yang terlalu bersifat umum, the why yang masih terus menyalahkan pihak penjajah, serta the who yang tersangkut pada kualitas yang bersifat pribadi," papar Nono.
Masalah kompleks lain yang menghadang, the how tak berhasil muncul dari permukaan teknokrasi dan gagal memberi semangat kepada masyarakat luas. Nation building juga macet pada simbolik masa lalu dan tidak ada kemauan serta disiplin politik untuk menopangnya.
Ganjalan lain yang masih dipertahankan elite politik Indonesia adalah mitos persatuan dan kesatuan yang harus dipertahankan dari pusat. "Dalam konteks peta bumi kepulauan yang tercerai berai dan kekurangan dana, pengetahuan dan keahlian mitos ini merupakan sumber disorientasi politik," kata Nono.
Hingga kini nalar juga belum sepenuhnya digunakan untuk mengelola situasi politik. Setiap kali merasa terancam, rezim menempuh jalan murah dan mujarab, yaitu membangun naluri anti-asing yang diberi nama nasionalisme.
Transformasi pendidikan
Dari perspektif agama, Haidar Bagir mengatakan, bangsa Indonesia harus memiliki strategi berbeda dalam menggapai nalar dan moral. "Buku Batas Nalar ini menunjukkan bahwa kemauan bernalar dan sumber dorongan untuk berbuat secara moral merupakan dua hal yang berbeda," katanya.
Oleh karena itu, menurut Bagir, diperlukan strategi yang tidak sama untuk menggarap ranah nalar dan ranah moral. Dalam hal ini strategi kebudayaan yang tepat bisa menjadi acuan untuk menyinergikan kedua jalan itu.
MT Zen menekankan, untuk menghindari keruntuhan moral dan nalar perlu dua pendekatan. Pendekatan jangka pendek yang perlu segera diambil negara adalah low enforcement dan pemberantasan KKN sampai ke akar-akarnya.
Untuk jangka panjang, pendidikan merupakan hal utama yang akan menjadi pembentuk karakter bangsa.
Memang diperlukan waktu panjang untuk melihat keberhasilan pendidikan itu, sekitar 25 tahun atau seumur satu generasi. "Kita harus segera melakukan apa yang kita sebut sebagai transformasi pendidikan," kata Zen.
Tujuan pendidikan ini tidak lain adalah untuk membebaskan bangsa ini dari ketakutan, kebodohan, dan prasangka. Pendidikan yang membebaskan bukan yang mengungkung, itulah yang diharapkan bisa menyelamatkan bangsa ini dari keruntuhan moral dan nalar.
Kusmayanto Kadiman mengatakan, pertanyaan tentang batas nalar ini tampaknya bermuara dari misteri kesadaran manusia. Namun, batas nalar ini pada esensinya merupakan sejenis ilmu pengetahuan juga, yaitu pengetahuan presentasional.
Untuk bisa menyentuh atau bahkan menembus batas nalar itu, atau untuk menyatukan moral dan nalar yang benar dan baik, upaya-upaya pencarian intelektual perlu dikerahkan dan dikembangkan guna menyingkap misteri kesadaran," paparnya. (AMR/DMU)
No comments:
Post a Comment