enin, 25 April 2005 |
Kurs Rupiah dan Arah Ekonomi
Fauzi Ichsan MASIH terngiang pernyataan seorang pejabat senior pemerintah yang dikutip media bahwa melemahnya kurs rupiah dari Rp 9.000 per dollar AS (selanjutnya ditulis dollar saja) pada akhir tahun 2004 ke Rp 9.550 berdampak positif bagi ekonomi Indonesia. Pelemahan rupiah, katanya, akan memicu ekspor karena harga barang Indonesia menjadi lebih murah jika dihargai dalam dollar dan lebih kompetitif dalam perdagangan dunia. Peningkatan ekspor kemudian akan memicu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Secara teori, analisis ini logis. Masalahnya, kita tidak hidup di dunia teoretis. Realitasnya, melemahnya rupiah, apalagi kalau tembus Rp 10.000 per dollar, justru dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia dan memangkas pendapatan masyarakat secara riil. Teori versus fakta. Melemahnya rupiah belum tentu meningkatkan ekspor. Dari tahun 2000 ke 2001, misalnya, kurs rata-rata rupiah melemah dari Rp 8.500 ke Rp 10.300 per dollar, tetapi ekspor turun dari 65,4 miliar dollar menjadi 57,4 miliar dollar. Sebaliknya, dari tahun 2001 ke 2003 kurs rata-rata rupiah menguat dari Rp 10.300 ke Rp 8.550, tetapi ekspor naik dari 57,4 miliar dollar ke 63,3 miliar dollar. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor tidak semata-mata ditentukan oleh kurs rupiah, tetapi juga pertumbuhan ekonomi dunia, keadaan politik dalam negeri, dan jenis ekspor Indonesia. Kalaupun melemahnya rupiah dapat memicu ekspor, dampaknya terhadap ekonomi Indonesia kecil. Di tahun 2004 ekspor neto (ekspor barang dan jasa dikurangi impor) hanya menggerakkan 7,4 persen ekonomi Indonesia. Kegiatan konsumsi (oleh masyarakat dan pemerintah) dan investasi justru besar perannya, masing-masing menggerakkan 67,9 persen dan 24,1 persen ekonomi Indonesia. Melemahnya rupiah berdampak buruk terhadap kegiatan konsumsi dan investasi karena dua hal. Pertama, memicu kenaikan harga barang impor dan inflasi, apalagi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga memukul daya beli dan konsumsi masyarakat. Kedua, kenaikan inflasi secara tajam akan memaksa Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga secara tajam. Selain itu juga akan memukul konsumsi masyarakat dan kegiatan investasi. Melemahnya kegiatan konsumsi dan investasi menghambat pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. PADA awal tahun 2005 investor dalam dan luar negeri begitu optimistis terhadap Indonesia walaupun negeri ini baru saja mengalami tragedi tsunami di Aceh. Pada saat itu kurs rupiah, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan harga surat utang Indonesia menguat. Kini mereka bertanya, mengapa dalam waktu hanya tiga bulan semuanya bisa berubah. Ada empat jawaban mengapa rupiah melemah dan cenderung labil pada semester I 2005. Pertama, naiknya harga minyak internasional. Kondisi itu memaksa Pertamina membeli dollar lebih banyak di pasar valuta asing (valas). Setiap bulannya Pertamina membeli hampir 1 miliar dollar hanya untuk mengimpor BBM. Pembelian dollar dalam jumlah besar tentu menekan rupiah. Kedua, mengecilnya perbedaan suku bunga dollar dan rupiah. Dalam satu tahun terakhir kenaikan suku bunga dollar lebih pesat daripada kenaikan suku bunga rupiah. Akibatnya, perbedaan suku bunga dollar dan rupiah (untuk tempo satu bulan) menipis, dari 7,2 persen akhir tahun 2003 menjadi 4,6 persen di akhir Maret 2005. Dampaknya, spekulator valas, yang biasanya meminjam dollar untuk membeli rupiah jika selisih bunganya tinggi, merasa suku bunga rupiah terlalu rendah. Mereka lalu menjual rupiahnya dan kembali membeli dollar yang mengakibatkan melemahnya rupiah. Di mata spekulator pada umumnya, selisih suku bunga dollar dan rupiah harus naik sedikitnya ke 7 persen (dengan risiko rupiah bisa melemah terhadap dollar sebesar 3-4 persen dalam setahun). Secara implisit spekulator mengharapkan BI menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka satu bulan ke sekitar 10 persen (7,7 persen sekarang). Masalahnya, kalau selisih bunga dollar dan rupiah terlalu kecil dan rupiah dianggap bisa melemah terus, spekulator bisa berbalik menyerang rupiah dengan cara meminjam rupiah untuk dibelikan dollar atau membeli dollar/menjual rupiah melalui pasar non-delivery forward di Singapura. Spekulasi seperti ini bukan semata-mata kegiatan institusi besar, juga elite Indonesia yang dapat berinvestasi dalam dollar jika merasa rupiah tidak menarik. Ketiga, pesatnya pertumbuhan impor dari kegiatan investasi. Impor barang modal (13,2 persen dari total impor) dan bahan baku (78,6 persen) ikut naik pesat. Antara tahun 2003 dan 2004 impor naik 39,5 persen, tetapi ekspor hanya naik 11,5 persen. Jika pertumbuhan investasi dan impor dibiayai investor asing (melalui foreign direct investment atau FDI), pembelian dollar dengan rupiah terbatas. Namun karena FDI masih rendah (karena iklim investasi di sektor riil yang masih lemah bagi investor asing), maka pertumbuhan investasi umumnya dibiayai investor dalam negeri dengan rupiah, yang membutuhkan pembelian dollar untuk impor. Transaksi ini ikut memperlemah rupiah. Keempat, melambatnya program privatisasi pemerintah. Penjualan aset membantu memicu penguatan rupiah dari Rp 10.500 per dollar di akhir tahun 2001 ke Rp 9.000 di akhir tahun 2004. Pada dasarnya kebutuhan dollar (baik untuk impor atau bayar utang) adalah kebutuhan dari dalam negeri, tetapi pengadaan dollar (dari investor dan donor asing) dari luar negeri. Dalam setahun terakhir kebutuhan dollar meningkat, tetapi pengadaan dollar menurun. Harga dollar pun naik dan nilai rupiah merosot. DALAM Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2005, pemerintah mematok kurs rupiah rata-rata sebesar Rp 8.900 per dollar. Untuk mencapai target ini, rupiah harus menguat pesat mendekati Rp 8.500 di semester kedua 2005. Mengingat realitas yang ada, peluang penguatan rupiah ke Rp 8.500 per dollar kecil, tetapi kalau ke Rp 9.000 per dollar peluangnya lebih besar walaupun membutuhkan kebijakan kondusif pemerintah dan BI. Kebutuhan dollar di dalam negeri sulit dibatasi. Indonesia harus mengimpor minyak, kegiatan investasi butuh impor bahan baku, dan perusahaan besar wajib bayar utang valas. Pengadaan dollar di dalam negeri dapat diperbesar dengan tiga cara. Pertama, program rekonstruksi pascatsunami di Aceh dapat dipercepat. CGI siap mencairkan 1,7 miliar dollar, sementara lembaga non-CGI telah menggalang dana lebih dari 2,4 miliar dollar. Kedua, mempercepat investasi asing. Masalahnya, masih banyak investor asing yang prihatin atas iklim investasi di Indonesia, terutama yang menyangkut ketidakpastian hukum, otonomi daerah, dan perburuhan. Ketiga masalah ini sifatnya struktural dan tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Ketiga, mempercepat kenaikan suku bunga dan intervensi valas. Namun, BI tidak bisa mempertahankan rupiah sendirian. Karena rupiah melemah akibat faktor riil, seperti besarnya kebutuhan impor, efek positif intervensi valas BI hanya sesaat. Dalam jangka panjang intervensi malah menguras devisa tanpa memperkuat rupiah. Untuk membuat suku bunga rupiah menarik bagi investor asing, suku bunga SBI harus naik ke tingkat yang tinggi. Namun, hal itu bisa memukul kegiatan ekonomi di sektor riil. Intinya, kebijakan BI yang efektif harus didukung aliran modal asing ke sektor riil dan kebijakan pemerintah yang kondusif. Penguatan rupiah adalah tanggung jawab bersama, yakni pemerintah, BI, dan elite Indonesia (yang diduga masih menyimpan puluhan miliar dollar di luar negeri). Tanpa kebijakan bersama dan rasa kebersamaan menghadapi dilema rupiah, maka rupiah bisa terus melemah dan taruhannya adalah kesejahteraan rakyat. Fauzi Ichsan Vice President Global Markets Economist Standard Chartered Bank * Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, bukan pandangan resmi institusi tempat penulis bekerja. |
Ma vie Wo de shen huo 我的生活 Mein Leben Hidupku La mia vita ..私の生命 Mijn leven Моя жизнь Η ζωή μου Minha vida 나의 생활 ..recording interests, thinking, dreams, thoughts, gratefullness, failures, regrets, wishes, wannabees, wishfull thinking. .. all of the beauty humanity Clippings made here from various medias, are for my own reading and recording serve no commercial purposes. Shared with friends who visited as a knowledge sharing information.
25 April 2005
Kompas - Kurs Rupiah dan Arah Ekonomi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment