29 April 2005

Restrukturisasi KA Indonesia

Kompas - Jumat, 29 April 2005

Restrukturisasi Perkeretaapian

Imron Bulkin

PERATURAN Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara RI, khususnya Pasal 10, telah menetapkan bahwa tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perkeretaapian dilakukan oleh unit kerja setingkat eselon I, yaitu Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Departemen Perhubungan. Ini berarti terjadi kenaikan peringkat unit kerja dari eselon II menjadi eselon I karena selama ini tugas tersebut hanya dilakukan oleh unit kerja eselon II.

Keputusan menaikkan peringkat unit kerja penanganan kebijakan perkeretaapian tersebut merupakan keputusan cerdas dan tepat, mengingat selama beberapa dekade ini perkembangan perkeretaapian di negara kita sangat lamban bahkan mengalami stagnasi, kalau tidak bisa dikatakan makin memburuk, baik dari sisi pemberian pelayanan, keselamatan penumpang, maupun dari sisi pengembangan jaringan prasarana kereta api.

Salah satu penyebab utama menurunnya kinerja perkeretaapian di negara kita adalah masih digunakannya paradigma lama dalam pengembangan perkeretaapian nasional, yaitu manganggap bahwa semua kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan perkeretaapian bersifat monolithic natural monopoly sehingga tanggung jawab pengembangannya dilakukan secara terpusat oleh pemerintah pusat, serta pengelolaannya, baik prasarana maupun sarana dimonopoli oleh satu badan usaha milik negara saja, yaitu PT KAI, tanpa melibatkan pemerintah daerah maupun partisipasi pihak swasta.

Paradigma semacam ini sejak tahun 1990-an telah banyak ditinggalkan oleh negara-negara maju maupun berkembang. Mereka telah menggeser paradigma lama tersebut dengan paradigma baru (the new public utility paradigm), yaitu menganggap tidak semua kegiatan pengelolaan perkeretaapian bersifat monolithic natural monopoly, tetapi dapat dilakukan pemilahan secara vertikal maupun horizontal (unbundled both vertically and horizontally) terhadap kegiatan perkeretaapian dengan memisahkan kegiatan-kegiatan mana saja yang bersifat monopoli (contoh penyediaan prasarana) yang lebih efisien bila dilakukan oleh pemerintah, dan kegiatan-kegiatan mana yang bisa diswastakan (contoh pengoperasian sarana) agar dapat diciptakan kompetisi antaroperator kereta api sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan menumbuhkan inovasi baru dalam pengembangan perkeretaapian (Jose Carbajo, 1996, Ioannis N Kessides, 1995, dan Antonio Estache, 2002).

Melibatkan peran swasta dalam perkeretaapian tidak berarti harus menjual aset yang dimiliki oleh pemerintah, seperti yang dikhawatirkan oleh Komisi V DPR karena adanya traumatik penjualan aset PT Indosat (Bisnis Indonesia, 9/3), tetapi dapat dilakukan melalui pemberian konsesi melalui franchising, leasing, atau BOT. Selain itu, sejalan dengan pelaksanaan otonomi dan desentralisasi, tanggung jawab pengelolaan perkeretaapian tidak harus semuanya berada di bawah tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi dapat didesentralisasikan kepada pemerintah daerah, terutama untuk pelayanan penumpang regional dan lokal, sebagai contoh pelayanan jaringan kereta api komuter.

Tulisan berikut ini mencoba mengajukan beberapa tesis yang difokuskan pada formulasi beberapa agenda utama yang perlu dilakukan pemerintah dalam rangka restrukturisasi dan reformasi kebijakan perkeretaapian dengan menggunakan paradigma baru, seperti telah didefinisikan di atas.

Prasarana kereta api

Penyediaan prasarana kereta api (rel, stasiun, dan sinyal), pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan penyediaan prasarana jalan raya (jalan aspal, terminal, dan rambu lalu lintas) masih bersifat natural monopoly, karena investasi bersifat sunk cost dan memerlukan economies of scale and scope. Oleh karena itu, pembangunan dan pemeliharaannya memerlukan regulasi dan tanggung jawab dari pemerintah. Setiap operator kereta api yang menggunakan prasarana tersebut harus membayar biaya pemakaian (track access charges), sama seperti pemakai jalan raya harus membayar pajak melalui PKB dan pajak BBM (road user tax and fuel tax).

Namun, untuk meningkatkan efisiensi, pemeliharaan prasarana kereta api dapat dikonsesikan kepada pihak swasta melalui proses tender dengan persyaratan kualitas pelayanan tertentu yang ditentukan oleh pemerintah untuk menjaga kualitas kinerja dan mengoptimalkan biaya pemeliharaan.

Untuk mempercepat pihak swasta ikut mengoperasikan kereta api, badan pengelola prasarana kereta api harus dipisahkan dengan badan pengelola sarana kereta api agar badan pengelola prasarana dapat memberikan hak akses yang sama tanpa diskriminasi kepada semua operator. Selama ini badan pengelola prasarana dan operator sarana kereta api di monopoli oleh PT KAI. Oleh karena itu, agenda pertama yang perlu dilakukan adalah memisahkan antara badan usaha pengelola prasarana dengan badan pengelola sarana agar tidak menjadi hambatan masuknya operator swasta.

Kereta api komuter

Pengalaman di negara-negara lain, tanggung jawab pengelolaan kereta api komuter, termasuk subway dan light rapid transit, dipisahkan dengan pengelolaan kereta api antarkota. Hal ini perlu karena kereta api komuter hanya melayani penumpang lokal dan regional sehingga lebih tepat dikelola oleh pemerintah daerah untuk lebih mendekatkan antara yang melayani dan yang dilayani, serta dapat diintegrasikan dengan jaringan moda transportasi kota lainnya, seperti angkutan umum bus, busway, kapal laut, pesawat udara, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan.

Oleh karena itu, agenda kedua yang perlu dilakukan adalah mendesentralisasikan tanggung jawab pengelolaan kereta api komuter (KRL) Jabotabek, termasuk kereta api ekspres (komersial)-seperti Serpong-Tanah Abang, Bekasi-Kota, Bogor-Tanah Abang-kepada semacam "badan usaha kereta api Jabotabek" kerja sama antara Pemerintah Daerah Jabotabek. Begitu pula pengelolaan kereta api Sidoarjo-Surabaya, Tegal-Semarang, perlu segera didesentralisasikan kepada pemerintah daerah masing-masing.

Untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan, sebaiknya pengelolaan kereta api komuter kelas ekonomi dikonsesikan kepada pihak swasta dengan persyaratan pelayanan dan tarif angkutan yang sudah ditentukan oleh pemerintah daerah melalui proses tender yang transparan. Operator swasta terpilih adalah yang memerlukan dana kompensasi pelayanan publik dari pemerintah (Public Service Obligation/PSO) terendah, sedangkan pengelolaan kereta api kelas komersial, perlu dipilih operator yang dapat menawarkan pemberian dividen tertinggi kepada pemerintah dengan diberikan kebebasan menentukan tarif.

Kereta api antarkota

Sebagai agenda ketiga, untuk meningkatkan akuntabilitas pelayanan kereta api antarkota, perlu dipisahkan badan pengelola kereta api antarkota kelas komersial (bisnis dan eksekutif) dengan badan pengelola kereta api antarkota kelas ekonomi. Pengelolaan kereta api antarkota untuk kelas komersial dapat dikonsesikan kepada pihak swasta, dengan sistem sewa aset (lokomotif dan rolling stocks) dari pemerintah, atau bisa juga dikonsesikan kepada swasta secara penuh dengan aset milik swasta (BOT), dengan diberi kebebasan menentukan tarif. Operator terpilih adalah yang dapat menawarkan deviden tertinggi kepada pemerintah. Bila PT KAI ingin tetap ikut mengelola kereta api antarkota kelas komersial, diharuskan mengikuti proses tender dan berkompetisi dengan operator swasta, tanpa ada diskriminasi.

Sedangkan pengelolaan kereta api antarkota kelas ekonomi dapat dikonsesikan kepada swasta, melalui proses tender, dengan persyaratan kualitas pelayanan dan tarif penumpang yang ditentukan oleh pemerintah. Operator pemenang adalah yang memerlukan dana PSO terendah. Dana PSO sebaiknya diambil dari pajak umum, bukan hasil subsidi silang yang dilakukan oleh operator kereta api. Dengan menggunakan pola yang sama, bisa dilakukan pula skema untuk pengelolaan kereta api pengangkut barang (frieght railway).

Untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan ketiga agenda utama tersebut, diperlukan pembentukan "Badan Regulasi Perkeretaapian Independen" yang anggotanya terdiri dari para profesional, serta mempunyai tugas: (a) merumuskan aturan penentuan dan penyesuaian tarif kelas ekonomi; (b) merumuskan standar kualitas pelayanan dan keselamatan; (c) memonitor kualitas pelayanan operator; (c) memfasilitasi bila terjadi dispute settlement antaroperator swasta dan pemerintah.

Imron Bulkin Alumnus Cornell University, Pengajar Program Pascasarjana, Kajian Pengembangan Perkotaan, Universitas Indonesia, dan Komisaris PT Inka

No comments: