WashWatch
Agenda "Imajiner" Bush-Yudhoyono
Christianto Wibisono
ETELAH mencocokkan jadwal maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan bertemu Presiden George W Bush di Gedung Putih, 25 Mei 2005. Setelah itu Presiden Yudhoyono akan terbang ke Brussels (markas Uni Eropa ) dan Jepang. Sedang Presiden Bush akan berlibur panjang di Crawford Texas hingga Memorial Day, 30 Mei. Seandainya saya bisa menjadi protokol yang mengatur pertemuan Bush-Yudhoyono maka saya membayangkan suatu "utopia" sebagai berikut:
Berkat pendekatan intensif dari kedua pihak, terjadi suatu chemistry yang akrab antara Gedung Putih dan Istana Merdeka. Karena itu, kedua pihak sepakat dan memanfaatkan pertemuan ini untuk terobosan historis yang berdampak global, sekaligus mengemas persahabatan baru antara dua pemimpin.
Salah satu ukuran kualitas strategis persahabatan suatu negara dengan AS adalah tempat pertemuan. Bila Anda diterima di Gedung Putih maka itu adalah suatu state to state relation, hubungan kenegaraan resmi.
Bila Anda diterima di Crawford Texas di pesanggrahan pribadi Bush maka itu berarti Anda dianggap rekan strategis, sahabat setia dan mitra yang sejajar.
Tidak banyak pemimpin yang sudah diundang ke Crawford. Bahkan Presiden Prancis Jacques Chirac belum pernah ke Crawford karena telanjur memveto penghukuman AS ke Irak, dan baru akan dijanjikan diundang ke sana waktu kunjungan Bush ke Prancis setelah terpilih lagi tahun 2005.
Kunjungan terakhir Pangeran Abdullah ke Crawford menimbulkan joke, bahwa hubungan Bush-Abdullah terlalu akrab dan nyaris berbau "gay" karena keduanya selain bergandengan tangan juga berciuman gaya Arab. Untung foto ciuman tidak diedarkan secara luas karena foto gandengan tangan sudah diberi komentar, mirip pasangan sejenis kelamin yang mau "menikah".
Tapi Abdullah termasuk segelintir tamu negara yang diperlakukan sebagai mitra strategis oleh George W Bush, walaupun resminya AS sedang melancarkan perang global melawan teroris jihadis ekstremis.
Sebenarnya di manakah posisi RI dalam percaturan global? Joseph Widyaatmaja melihat NAASP hanya bagaikan dokumen slogan muluk yang akan bernasib sama seperti resolusi KTT NAM, nafsu besar, tenaga kurang. Retorika ingin menggapai sesuatu yang spektakuler tapi realitas politik sama sekali tidak mendukung. Jadilah dokumen NAASP suatu pajangan dan akan menjadi arsip bulukan saja.
Sebenarnya dalam perang opini publik tentang terorisme dan masalah Timur Tengah, RI bisa menjalankan peranan positif bila berani tampil sebagai pemimpin kaliber global yang mampu mengakomodasi kepentingan pelbagai pihak, sambil tetap memelihara citra dan sejarah sebagai pelopor konferensi AA.
MASALAH Israel Palestina sudah memasuki tahap di mana perdamaian dan ko-eksistensi damai merupakan kebutuhan yang tidak bisa terhindarkan lagi. Jadi, kalau Indonesia bisa melakukan move sebagai the largest Moslem country untuk membuat finishing touch bagi kemerdekaan Palestina, seperti digembar-gemborkan dalam NAASP, maka RI bisa memanfaatkan summit Bush-Yudhoyono untuk ikut menyumbangkan peranan berarti dalam proses tersebut.
Kenapa RI tidak menyediakan diri menjadi tuan rumah konferensi perdamaian Israel-Palestina di Jakarta atau Bandung. RI bisa juga menyediakan pasukan pemelihara perdamaian sekaligus mengubah citra TNI, dari pelanggar HAM yang kebal hukum (impunity pelanggar zaman Orde Baru harus dikoreksi dan dibenahi), menjadi pemelihara HAM internasional.
Kalau RI maju sebagai mediator dan ikut memprakarsai konferensi perdamaian Israel-Palestina, barulah klaim sebagai the largest Moslem country yang dihormati oleh pemeluk Islam Timur Tengah mempunyai makna strategis dalam politik nyata. Tapi kalau sekadar dininabobokkan secara retorik oleh negara-negara Arab, tanpa rasa hormat, respek maupun support bahkan untuk menjadi Dewan Keamanan PBB pun, negara-negara Timur Tengah tidak ada yang secara resmi mencalonkan atau mendukung RI.
KALAU RI mau menjadi kampiun dan jago, serta dipercaya dan didudukkan sebagai "godfather". Atau "honest broker" yang berwenang jadi "sheriff" di Timur Tengah dalam mengawasi perdamaian Israel- Palestina. Barulah itu "worth" setimpal, sembabat (sesuai) dengan tingkah laku politik luar negeri kita selama ini. Tit for tat. Dukungan memperoleh respek dan wibawa. Kita dukung dan perjuangkan Palestina, dan kita dihargai dan didukung untuk menjadi "sesepuh" atau "real medium power" dalam geopolitik dunia, khususnya Dewan Keamanan PBB
Ini semua tentu memerlukan kelincahan agar kita juga bisa menembus kebekuan diplomasi dengan AS yang selama ini terikat oleh opini publik sangat bias anti-AS, anti-Barat dan anti-Bush. Bagaimana mau berperanan dalam mandala global di mana AS, Barat dan Bush mempunyai posisi dominan di pelbagai bidang, kalau kita sudah menempatkan diri kita sebagai "lawan, oposisi dan musuh politik".
Semua ini memang mudah diucapkan secara retorik dengan gaya bombastis dan spektakuler, tapi akhirnya Indonesia sendiri tidak memperoleh manfaat apa-apa, dari teriakan histeris membabi buta.
Jika Yudhoyono bisa meyakinkan dunia Arab dan AS sekaligus, dan dipercaya sebagai polisi perdamaian di Gaza dan Tepi Barat, kinerja itu pasti akan memperoleh penghargaan setimpal dari kedua pihak tentunya. Misalnya, RI akan didukung jadi anggota Dewan Keamanan bila memang DK PBB akan direformasi. Sebab pro dan kontra perombakan DK PBB juga tidak bisa diatasi hanya dengan slogan Asia Afrika yang tidak berperan dalam konflik internal Jepang-Tiongkok, India-Pakistan dan bahkan RI-Malaysia.
UNTUK melakukan peranan global sebagai juru damai, tentu Indonesia harus berdamai lebih dulu dengan dirinya sendiri, dengan sesama bangsa yang telah dikoyak-koyak sejak 1945 oleh pelbagai konflik dan pertumpahan darah. Mulai dari DI/TII, komunisme sampai ethnic cleansing model tragedi Mei 1998 oleh rezim fasis Orde Baru.
Dalam semangat rekonsiliasi yang diawali dengan pertobatan, peradilan, penghakiman dan penghukuman, yang kemudian bisa ditutup dengan pengampunan dan pemaafan itulah, Presiden Yudhoyono dan elite Indonesia harus melakukan terobosan komprehensif mengentaskan Indonesia dari kondisi keterpurukan dalam moral, karakter dan wawasan kemanusiaan.
Sudah terlalu lama manusia Indonesia dikorbankan untuk negara, untuk partai, untuk agama, untuk slogan muluk, rezim fasis totaliter yang mengabaikan HAM. Kalau rakyat Indonesia belum mempunyai HAM dan kedamaian dengan sesama bangsa, dengan pemerintah dan dengan aparatur keamanan, bagaimana Indonesia bisa berdiri tegak ditengah pergaulan antar bangsa.
Kalau Indonesia sudah berdamai dengan dirinya sendiri, melakukan pertobatan dari KKN dan pelanggaran HAM, rekonsiliasi dengan penyesalan dan sikap reformasi tuntas ke masa depan, barulah Indonesia bisa berperan aktif positif di percaturan global.
Keduanya bisa berjalan paralel bila elite Indonesia pro-aktif untuk memprakarsai pertobatan dan rekonsiliasi nasional secara serius. Setelah itu, sebagai bekal dan modal untuk membuktikan bahwa rekonsiliasi itu tulus, RI juga menyediakan diri sebagai mediator perdamaian global di Timur Tengah maupun dalam perang global melawan terror.
Semua uraian ini tentu menjadi sangat utopis bila kondisi Tanah Air yang ditinggalkan Presiden Yudhoyono masih tetap kronis dengan konflik internal, bahkan perpecahan elite parpol yang saling mengudeta wadah parpol, tanpa mempedulikan aturan legal yang mereka buat sendiri dalam AD ART parpol.
Semua ini membuktikan bahwa memang elite politik Indonesia belum dewasa untuk memerintah diri sendiri, untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, serta prosedur demokratis yang murni dan ditaati secara konsisten. Semua hanya ingin menang sendiri, mengudeta partai dan juga negara diperlakukan seperti inventaris pribadi, keluarga dan kroni.
Karena itu, barangkali memang impian saya tentang pertemuan Bush-Yudhoyono di Crawford memang sekadar suatu utopia yang sulit terwujud. Bukan karena faktor Yudhoyono pribadi, tapi lebih karena elite Indonesia belum siap untuk jadi negarawan pada tingkat nasional, apalagi global. Masih terlalu emosional, primordial, primitif dan tribal. Jadi belum bisa menjangkau wawasan negarawan yang melintasi batas negara, tahun, dan dekade.
Padahal dunia memerlukan negarawan yang punya wawasan strategis dan menjangkau abad serta melintasi benua, etnis, ras dan agama. AS dan Bush sendiri juga mempunyai andil dalam "arogansi" untuk tidak memberi peluang kepada Yudhoyono untuk jadi mitra strategis seperti Pangeran Abdullah.
AS masih memandang enteng Indonesia yang memang belum punya bobot untuk bisa berperan seperti Saudi Arabia. Kalau AS percaya kepada Islam moderat, mestinya bisa menghargai posisi Indonesia yang moderat dalam masalah Timur Tengah. Tapi semua ini tentu tergantung dari realitas politik di lapangan.
Kalau Indonesia sendiri ternyata memang tidak mempunyai arah kebijakan politik luar negeri yang berbobot untuk bisa menjadi "pemimpin" yang disegani oleh dunia Arab dan Timur Tengah. Bahkan cenderung hanya mengekor kaum ekstremis Timur Tengah, tentu tidak mungkin AS menjadikan RI mitra strategis.
Jadilah impian saya tentang Bush-Yudhoyono di Crawford suatu imajinasi yang sulit terwujud.*
Last modified: 10/5/05
No comments:
Post a Comment