Kompas - Jumat, 20 Mei 2005 |
Kebangkitan dan Strategi China
Oleh Budiman Sudjatmiko ARTIKEL I Wibowo, "Kebangkitan China dan Asia-Afrika" (Kompas, 21/4/2005), secara garis besar memaparkan perubahan dalam orientasi politik luar negeri China sekarang. I Wibowo menunjuk pragmatisme yang menekankan survival dan kepentingan nasional China yang menyebabkannya mulai meninggalkan peran yang di masa lalu selalu menekankan solidaritas antara negeri-negeri berkembang. China telah lama melakukan perubahan revolusioner dalam kebijakan luar negerinya. Setelah dimulai program modernisasi tahun 1978, sebenarnya China telah beralih menjadi negara besar yang dengan sistematis hendak menjadi bagian sistem dunia yang mapan. Memang di masa Mao Zedong pun China sebenarnya sudah menjadi kekuatan besar yang diperhitungkan. Masa itu, Marxisme-Leninisme dan aneka pikiran Mao Zedong menjadi "lem perekat" China modern dan basis kekuatan tawar menawar China di arena politik internasional serta menjadi basis konflik ideologisnya dengan Uni Soviet. Namun, karena kepentingan ekonomi merupakan poros utama politik luar negerinya, sebenarnya China telah mengalihkan sumber ideologis dan orientasinya, yaitu dari komunisme militan menjadi nasionalisme pragmatik. Untuk itu China telah menyusun konsep Comprehensive National Power (CNP) sebagai perumusan nasionalisme pragmatiknya dalam praktik. Konsep power mengacu kekuatan bangsa mencakup seluruh sumber daya aktual maupun potensial yang dimiliki China (comprehensive), baik kultural, ekonomi, militer, geografi, jumlah penduduk, dan sebagainya yang, setelah dikalkulasi, diharapkan bisa mengetahui kekuatan tawar China. Berbeda dengan konsep power di negeri-negeri Barat, CNP coba dirumuskan secara kuantitatif, untuk mengkuantifikasi kekuatan China secara menyeluruh pada periode/kurun waktu menengah (indicative) dan panjang (vision). Dengan begitu, mereka bisa merumuskan standar untuk mengetahui seberapa besar kekuatan China kini dan seberapa besar upaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan CNP setelah membandingkan dengan CNP negara-negara lain, terutama kekuatan-kekuatan besar dunia. Berdasar informasi itulah orientasi politik luar negeri China dirumuskan. Strategi kalkulatif Pemahaman kita akan nasionalisme kontemporer China dalam kerangka CNP inilah yang membuat kita memahami mengapa China, seperti dikatakan I Wibowo, 'tampak akan berjalan sendiri dan meninggalkan negara-negara yang kalah bersaing dalam arus globalisasi' (Kompas, 21/4/2004). Jika dalam reformasi ekonomi, Deng Xiaoping terkenal dengan pernyataannya, 'bukan kucing hitam atau kucing putih yang penting, tetapi kucing yang dapat menangkap tikus', maka dalam soal politik luar negeri, dia pernah mengatakan, "China jangan berobsesi untuk menjadi pemimpin negeri-negeri dunia ke tiga, bahkan kita harus menolaknya jika mereka memintanya". Sungguh pernyataan yang dingin. Bergabungnya China dengan WTO (World Trade Organisation) tidak juga bisa dikatakan, China lebih memihak pada skema yang dibuat negara-negara maju dan mapan. Bergabungnya China dengan WTO dan kerja sama regional seperti APEC (Asia-Pacific Economic Forum), ARF (ASEAN Regional Forum), kemitraan strategisnya dengan India dan semacamnya merupakan wujud pendekatan instrumental yang kalkulatif. Dengan begitu China tidak akan menunjukan antusiasme berlebihan maupun sikap antipati terhadap skema organisasi-organisasi multilateral yang ada. Kemampuan sendiri Strategi kalkulatif ini mengacu pada pragmatisme yang berorientasi ke luar (outward-oriented pragmatism) untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, kemajuan teknologi, dan kemampuan militernya melalui revolusi di bidang kemiliteran (RMA atau Revolution in Military Affairs). Berdasar CNP inilah, tujuan strategis politik luar negeri China bisa diidentifikasi sebagai berikut: pertama, melindungi kemerdekaan, kedaulatan, dan keamanan China; kedua, melindungi dan menopang pembangunan ekonomi dan teknologi; ketiga, menciptakan situasi yang kondusif dan damai di Asia-Pasifik; keempat, memberi respons efektif pada tantangan dan ancaman dari luar; kelima, mencegah konflik internal dan eksternal; keenam, meningkatkan status dan prestise China di mata internasional. Tentunya, tujuan itu bisa menjadi acuan politik luar negeri negara-negara lain. Namun, yang menarik dari kasus China adalah setelah kurang lebih 27 tahun menjalankan proses modernisasi, kecepatan pertumbuhannya begitu mencengangkan (di atas sembilan persen per tahun) dan menjadi mercusuar tersendiri dalam wacana teori-teori ekonomi pembangunan dan kajian-kajian strategi serta teknologi pertahanan. Penting dicatat, kekuatan ekonomi China juga diramalkan akan ditunjang oleh kekuatan pertahanan yang tangguh pada sekitar 2025, mengingat China sedang memodernisasi angkatan bersenjatanya dengan menggabungkan upaya alih teknologi militer, terutama dari Rusia, serta pengembangannya lebih lanjut berdasar kemampuan sendiri. Penggabungan kekuatan ekonomi dan militer yang tangguh di masa depan ini dilihat banyak pengamat tidak pernah bisa diraih Uni Soviet di masa-masa jayanya sekalipun. Pemikiran nasionalisme pragmatis ini diramalkan tetap mewarnai kebijakan baik faksi konservatif maupun faksi reformis pimpinan China di abad ke-21. Kedua faksi itu didorong rasa kebanggaan nasional, keutuhan wilayah, dan kehendak memulihkan kebesaran China. Karena itu, bisa saja nasionalisme pragmatik menjadi militan dan agresif, jika para pemimpin China melihat komunitas internasional menghalanginya untuk bangkit menjadi pemain strategis dunia. Karena itu, sejauh China tidak dihalangi dalam upaya menjadi bagian tatanan dunia, dan sejauh tak ada intervensi militer pihak ketiga dalam persoalan Taiwan, maka nasionalisme China tak akan menjadi ultranasionalisme. Bahwa perdamaian menjadi prinsip politik luar negeri China, telah jelas dinyatakan Deng Xiaoping sendiri, "…politik luar negeri China memegang teguh dua prinsip. Pertama, menentang hegemonisme dan politik adu kekuatan, serta menjaga perdamaian dunia. Kedua, menegakkan tatanan politik dan ekonomi internasional yang baru" (Discovering Chinese Nationalism in China, 1999). Dengan prinsip politik luar negeri yang demikian, sebenarnya nasionalisme pragmatis merupakan prinsip dasar China untuk memasuki komunitas internasional dengan penuh percaya diri, sebagaimana 55 tahun lalu, Marxisme-Leninisme merupakan prinsip dasar China untuk menjadikannya negara independen dan modern. Budiman Sudjatmiko Direktur Eksekutif RES PUBLICA INSTITUTE (For Technology Policy, Strategic and Political-Economic Studies) |
Ma vie Wo de shen huo 我的生活 Mein Leben Hidupku La mia vita ..私の生命 Mijn leven Моя жизнь Η ζωή μου Minha vida 나의 생활 ..recording interests, thinking, dreams, thoughts, gratefullness, failures, regrets, wishes, wannabees, wishfull thinking. .. all of the beauty humanity Clippings made here from various medias, are for my own reading and recording serve no commercial purposes. Shared with friends who visited as a knowledge sharing information.
20 May 2005
Kebangkitan dan Strategi China
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment