Sejak Dulu Rupiah Sudah Bikin Resah
http://www.indomedia.com/intisari/1999/januari/rupiah.htm
Nilai uang kita turun dari waktu ke waktu. Pecahan sen diganti rupiahan tunggal, lantas puluhan, kini ratusan pun hanya sesekali digunakan. Transaksi lebih banyak memakai ribuan, jutaan, bahkan miliar rupiah. Di satu sisi ini mencerminkan kemakmuran, namun di sisi lain juga menunjukkan kebijakan ekonomi yang tak pernah tuntas. Telah sembilan kali kejutan keuangan kita alami sejak kemerdekaan, namun nilai tukarnya terhadap mata uang asing tak pernah membaik. Bahkan dihitung dari tahun 1950-an, depresiasi rupiah terhadap dolar AS mencapai sepersejuta alias 100 juta persen!
Sejarah pengelolaan moneter dan perubahan nilai tukar uang kita sama menariknya dengan sejarah pergerakan bangsa. Majalah ini pun paling tidak telah dua kali menyorotinya, yakni pada edisi Januari 1981 dan Mei 1983. Kalau keduanya bisa dijadikan pengalaman, kita tentu tak gampang terkejut oleh gejolak nilai uang. Bahkan sampai pengalaman yang paling dekat pun, krisis keuangan yang bermula pada Agustus 1997, mestinya tidak membuat kita terlalu panik. Tapi, apa bisa?
Bersaing menerbitkan uang
Barangkali sebuah keniscayaan, pengelolaan perekonomian negara harus melalui pelbagai kejutan. Yang pertama dilakukan oleh Letjen. Sir Montague Stopford, Panglima AFNEI (Allied Forces in Netherlands India), yang memberlakukan uang baru, uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda yang membonceng tentara Sekutu) mulai 6 Maret 1946. Uang lama, baik uang Jepang, uang Belanda sebelum perang, atau uang De Javasche Bank, harus segera ditukarkan dengan uang baru dalam nilai 3%. Artinya, 1 rupiah uang lama = 33 sen uang baru.
Tidak semua orang mau menukarkan. Selain soal hambatan fungsi, tak ada batas waktu sampai kapan uang lama boleh beredar. Di daerah pedalaman perdagangan masih menggunakan uang lama. Uang baru lebih banyak dipakai di kawasan perkotaan. Jika seorang pedagang membeli barang impor dengan uang baru, ketika menjual ke pedalaman ia memperoleh uang lama. Dengan uang itu pula ia belanja, membeli hasil bumi dan komoditas dagang dari pedalaman.
Rupanya nilai tukar tidak seragam. Karena uang baru tidak populer, nilainya lama-lama merosot sampai 20 sen uang Jepang. Untuk menahannya Belanda melakukan blokade laut terhadap RI. Pasokan barang impor ditutup agar barang yang masih tersisa di pasar RI naik harganya. Demikian pula uangnya.
Perdana Menteri Sutan Sjahrir protes karena penerbitan uang baru menyalahi kesepakatan. Tapi karena protes itu tak efektif, berdasarkan Undang-undang No. 17/1946 Pemerintah RI mengeluarkan uang baru pada 1 Oktober 1946. Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) namanya, dengan kurs yang ditetapkan ialah 1 : 50 (Rp 1,- ORI = 50 sen uang Jepang) untuk wilayah Jawa - Madura, dan 1 : 100 untuk luar kawasan itu. Uniknya, pencetakan ORI tidak dipusatkan karena blokade Belanda. Sumatera, misalnya, mencetak sendiri. Karesidenan seperti Aceh, Jambi, dan Tapanuli mencetak uang sendiri sebagai tanda pembayaran sementara.
Benar-benar digunting jadi dua
Bulan-bulan pertama setelah pemulihan kedaulatan dan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) muncul tanda-tanda ekonomi tidak sehat. Pada 9 Maret 1950, Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan keputusan No. PU-1 tentang sanering dan PU-2 tentang simpanan wajib. Tindakan ini dikenal sebagai "gunting Sjafruddin" karena secara fisik uang kertas benar-benar digunting menjadi dua bagian. Semua uang kertas Javasche Bank dan uang federal alias uang baru NICA pecahan Rp 5,- ke atas digunting. Bagian kiri masih berlaku sebagai alat pembayaran sah sampai 9 April 1950 pukul 18.00 dengan nilai 50% dari nilai semula. Bagian kanan (disebut "uang kanan"), bersamaan dengan uang masyarakat yang tersimpan di bank, juga dinilai separonya dan dapat ditukarkan dengan obligasi negara dengan bunga tahunan 3%, dan akan dibayar dalam jangka 40 tahun.
Gunting Sjafruddin menyebabkan banyak orang menjerit. Lagi pula ternyata tak mampu mengatasi masalah dalam jangka panjang. Sembilan tahun kemudian, 25 Agustus 1959, uang harus "dikebiri" lagi. Uang kertas Rp 1.000,- (yang disebut si Gajah) dan Rp 500,- (si Macan) dinyatakan susut nilainya hingga tinggal 10%. Simpanan di bank yang nilainya melebihi Rp 25.000,- dibekukan. Maka cerita pilu pun bermunculan.
Ternyata perekonomian Indonesia tak juga lepas dari keterpurukan. Di tahun 1961 - 1962 harga-harga melonjak 400%. Pemerintah giat mencetak uang, sehingga terjadi hiperinflasi. Di saat luka belum pulih akibat berbagai gejolak politik, termasuk G-30-S/PKI 1965, pemerintah memberlakukan uang baru. Mulai pukul 20.00 tanggal 13 Desember 1965, Rp 1.000,- uang lama harus ditukarkan dengan uang baru senilai Rp 1,-. Keparahan ekonomi ini terlihat dari nilai AS $ 1 yang mencapai Rp 10.000,- uang lama (sama dengan kurs di awal 1998) atau Rp 10,- uang baru.
|
Harga sebutir telur naik 2.000% sejak 1977. |
Dalam teori, kejutan keempat ini tak terlalu berpengaruh karena semua nilai transaksi tinggal dibagi seribu. Tapi praktiknya, harga-harga tak cuma dikonversikan, melainkan naik. Pada Januari 1966 harga BBM naik. Tiket bus kota Jakarta naik dari Rp 200,- uang lama menjadi Rp 1,- uang baru yang berarti naik 5 kali lipat. Tiket kereta api malam kelas ekonomi Jakarta - Surabaya naik dari Rp 14.200,- menjadi Rp 113.600,- uang lama atau Rp 113,60 uang baru alias naik 8 kali lipat!
Pendapatan rata-rata terasa makin kecil karena daya beli menurun drastis akibat inflasi tinggi. Maka idiom G-30-S muncul lagi dalam versi baru bernada jeritan, B-30-S, menunjuk beras yang harganya memang Rp 30,- sekilo.
"Kenop 15" tak menolong
Orde Baru perlahan-lahan mulai membangun perekonomian, pun dengan langkah devaluasi. Nilai rupiah dipotong 10% menjadi Rp 415,-/AS $ 1 pada 23 Agustus 1971. Itulah kejutan kelima.
Minyak bumi dijadikan senjata ampuh untuk mendongkrak perekonomian. Namun, kesalahan pengelolaan dan hantu-hantu korupsi mulai bergentayangan. Walhasil, nilai mata uang hanya bisa bertahan sesaat. Pada Oktober 1978 AS $ 1 = Rp 418,-. Bahkan sebulan kemudian muncul kejutan keenam, Kebijakan Limabelas November yang acap diakronimkan "Kenop 15", mematok AS $ 1 pada Rp 625,-. Orang miskin makin menjerit karena harga barang langsung melonjak. Logam mulia naik dari Rp 2.950,- menjadi Rp 4.500,- segram. Harga bahan bangunan naik 30%, obat-obatan impor naik 25%, harga makanan naik 40%. Daging sapi dari Rp 1.350,- menjadi Rp 1.650,- per kg. Telur ayam negeri berubah dari Rp 524,- menjadi Rp 700,- per kg.
Karena tak sanggup menyangga rupiah, apa mau dikata, pemerintah harus memangkas lagi rupiah pada 29 Maret 1983. Dari Rp 700,- menjadi Rp 970,- per AS $ 1. Itulah mimpi buruk ketujuh.
Nilai Rupiah yang dibuat mengambang terkendali, seperti halnya kebijakan pasca-Kenop 15, dalam jangka panjang tetap tak bisa dikendalikan. Dolar AS menyodok ke angka Rp 1.000,--an, terus naik dan tidak turun lagi. Karena impor kita berkisar 30 - 40%, kenaikan harga pun dalam kisaran persentase itu.
"Pakto 88", kependekan dari Paket Oktober 1988, berupa deregulasi perbankan dan upaya peningkatan kegairahan berinvestasi, dalam jangka pendek berhasil mendongkrak pertumbuhan. Namun, rakyat kebanyakan hanya bisa menyimpulkan, deregulasi tak lebih dari pengukuhan kejutan keuangan dua tahun sebelumnya, saat dolar AS melonjak ke angka Rp 1.600,--an.
Sejalan dengan kebijakan mengambangkan rupiah secara terkendali (managed floating), pemerintah menetapkan depresiasi tahunan sebagai pengganti devaluasi yang makin terasa sebagai "hantu". Angkanya berkisar 5% - 7% per tahun. Dunia usaha memperoleh angka pasti, pengekspor memperoleh insentif, tapi orang awam tetap melihat dolar AS makin lama makin mahal.
Rupiah terjun bebas
Kendali mati-matian atas rupiah, ternyata tak dibarengi pembangunan fondasi perekonomian yang memadai. Ambang intervensi dari waktu ke waktu naik, bank sentral bagaikan menggarami laut karena intervensi ke pasar uang tak membuahkan hasil yang diinginkan. Pada saat yang sama, tekanan ekonomi internasional juga muncul atas nama globalisasi. Ketika permainan spekulasi pasar uang berdampak di Thailand dan Korea Selatan, tak ada jalan lain bagi duet Menkeu Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI Sudradjat Djiwandono untuk membuka ambang intervensi agar negara tak kehabisan cadangan devisa. Sejak Oktober 1997, rupiah dibiarkan mengambang bebas (free floating) sesuai pasar. Benar saja, dolar AS naik dari Rp 2.300,- ke Rp 3.100,-, ke Rp 4.000,-, melompat ke Rp 5.500,-, dan seterusnya. Pengamat pasar uang Theo Francisco Toemion mengistilahkan "rupiah terjun bebas" karena depresiasi puluhan persen tak lagi dalam kurun tahunan atau bulanan, melainkan harian.
Puncaknya adalah ketika AS $ 1 bernilai Rp 17.200,- pada April 1998, berarti rupiah terdevaluasi 750% dalam setahun. Terbayang akibat kejutan kesembilan ini, orang makan ayam goreng beserta kentang impor dan sayurannya harus membayar Rp 100.000,-, walau jika didolarkan tak lebih dari AS $ 6.
Jangankan kurs setinggi itu. Dengan nilai Rp 11.000,- saja tergambar carut-marutnya kebijakan keuangan kita, menyebabkan depresiasi 1.000 kali sejak 1952. Kalau sanering "seribu- seperak" 13 Desember 1965 dihitung, penurunannya terhadap dolar AS menjadi sangat absurd: sejuta kali alias 100.000.000%!
Kurs yang relatif stabil pada kisaran Rp 7.500,- per AS $ 1 sejak November 1998 memang memberi kepastian, walau kenaikan harga barang sampai tiga kali lipat tetap memilukan.
Kebijakan reaktif
Bagaimana memahami perubahan nilai tukar dalam hubungannya dengan inflasi dan kenaikan harga?
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Anggito Abimanyu (36), mula-mula mengingatkan, kurs stabil di sekitar pergantian tahun bersifat semu. Bukan cermin fondasi perekonomian, bukan pula memang sebegitu nilai pasarnya. "Yang jelas, volume perdagangan rupiah memang kecil karena orang lebih banyak menyimpannya di bank untuk memperoleh bunga tinggi. Selain itu, Amerika menurunkan suku bunga dolar AS untuk menjaga agar negara-negara yang terkena krisis tidak makin ambruk."
Upaya pencegahan oleh AS memang terlihat. Bank sentral AS (Federal Reserve Bank - The Feds) dalam dua bulan terakhir tahun 1998 telah empat kali menurunkan suku bunga. Maka pemilik dolar AS menarik dan menginvestasikannya di luar perbankan. Belum lagi upaya Jepang dalam mempersempit surplus perdagangannya dengan AS, membawa pula efek penguatan mata uang regional.
Kejutan gelombang terakhir yang sudah tujuh bulan terjadi, menurut Anggito, adalah akibat dari membingungkannya kebijakan ekonomi kita. "Sifatnya selalu reaktif dan tidak antisipatif, sehingga selalu terlambat. Coba kita tengok deregulasi tahun 1988, misalnya, dilakukan ketika harga minyak sudah anjlok. Di saat pergerakan barang dan uang mengglobal, kita tak mengimbanginya dengan perbankan dan pasar modal yang benar."
Memang, dengan turunnya nilai rupiah, para pengekspor seolah-olah memperoleh windfall. "Tapi itu hanya jangka pendek dan bukan cermin dari kekuatan sebenarnya," kata pengajar FE-UGM dan MM-UGM serta ayah tiga anak ini menambahkan.
Ekspor adalah salah satu sektor ideal kalau kita ingin memperbaiki ekonomi. Yang tak kalah penting adalah perbankan dan pembenahan sektor riil. "Tapi sektor riil sekarang mati karena kebijakan suku bunga tinggi," tambah doktor ekonomi industri dan lingkungan lulusan University of Pennsylvania (1993) ini. "Maka langkah rekapitalisasi perbankan menjadi pertaruhan, apakah kita mampu mewujudkan perbankan yang baik, sehat, dan prudent atau tidak."
Anggito menunjuk contoh Filipina yang punya tradisi kemandirian bank sentral, sehingga dampak krisisnya tak separah Indonesia. "Di Malaysia, Australia, dan banyak negara lain bank sentral punya otoritas tinggi dalam mengawasi perbankan, serta menjaga stabilitas suku bunga dan mengontrol laju inflasi."
Menurut Anggito, segala langkah harus dilakukan secara serempak, namun harus sabar karena hasilnya tak bisa seketika.
Ini menyiratkan perbaikan ke arah dalam, memperkuat kondisi dalam negeri. Agar nantinya, menurut staf pada Pusat Antar-Universitas dan Studi Ekonomi UGM ini, tak ada lagi distorsi baik pengelolaan maupun harga. Sebab, pada dasarnya kurs hanyalah resultan dari penataan fondasi ekonomi, dan harga adalah sesuatu yang tak bisa diatur. "Dalam pengelolaan ekonomi yang benar, nggak ada itu bangsanya intervensi, subsidi, atau segala gebrakan-gebrakan."
Lagi pula, kita telah melihat bukti, langkah reaktif tak pernah membawa hasil dalam jangka panjang. Salah-salah justru kebijakan ekonomi berdampak langsung pada pergantian kepemimpinan politik. Soal ini memang telah dua kali terjadi. Semoga tak berulang kembali. (Lily Wibisono/Mayong S. Laksono)
BOX: KETIKA RUPIAH MASIH "ENAK"
Saya masih di kelas 3 MLS (Middelbare Landbouw School) Bogor di Negara Pasundan, Repoeblik Indonesia Serikat, ketika pada 1950 negara itu bersama Repoeblik Indonesia dari Yogya berfusi menjadi Repoeblik Indonesia. Dengan begitu, uang merah Belanda di negara Pasundan beredar bersama-sama dengan uang putih ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).
Ketika Menteri Keuangan Meester Sjafruddin Prawiranegara memerintahkan agar semua uang merah Rp 5,- ke atas digunting menjadi dua bagian, banyak orang pingsan, setengah mati, atau getem-getem, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.
Saya sendiri tidak apa-apa karena jarang mempunyai uang besar. Uang saku dari orangtua hanya Rp 4,- sebulan. Selalu receh-receh seperti pecahan 5 sen, ketip (10 sen), atau setalen (25 sen) dari logam yang bentuknya bulat, sesuku (50 sen), atau kadang-kadang Rp 1,-. Kedua recehan terakhir itu berupa uang kertas persegi panjang.
Pada 1951 saya lulus sekolah dan bekerja di Laboratorium Perikanan Darat, Bogor, di bawah Kementerian Pertanian, dengan gaji Rp 250,- sebulan. Dipotong Rp 50,- untuk bayar kos di rumah keluarga menengah, sisa gaji saya masih banyak. Dipakai bersenang-senang tiap akhir pekan, beli pakaian setiap bulan, dan jajan sehari-hari, tetap tersisa banyak.
Tiap Sabtu malam yang disebut "Malem Minggu", saya berkunjung ke dan menginap di rumah paman di Jakarta, dengan naik oplet Bogor - Jakarta lewat Cibinong. Tarifnya Rp 1,5,-. Di "Malem Minggu" itu saya selalu menonton bioskop di Metropole bersama teman istimewa. Karcisnya Rp 1,- (untuk kelas 3, baris depan), Rp 2,- (untuk kelas 2, tengah), Rp 3,- (kelas 1, belakang), dan Rp 3,5 (untuk balkon di atas kepala penonton kelas 1).
Dibandingkan dengan harga beras yang 16 sen seliter, karcis bioskop itu mahal. Tetapi dibandingkan dengan gaji pegawai negeri menengah (bukan sarjana) yang ratusan rupiah, karcis itu murah sekali.
Hari Minggu saya isi dengan pesiar bersama teman istimewa itu ke Pantai Zandvoort di bilangan Priok, atau ke Cilincing di sebelah timurnya. Anggaran bersenang-senang tiap akhir pekan itu cuma Rp 20,-, termasuk makan bersama ami intime itu di restoran elite Capitol, di Pintu Air. Kalau dikalikan empat hanya Rp 80,- sebulan. Gaji masih tersisa banyak!
Semula saya tidak mengerti mengapa uang rupiah hasil guntingan Sjafruddin begitu "enak rasanya". Baru setahun kemudian saya paham. Pertama, jumlah uang yang dicetak hanya sedikit. Penduduk yang mengedarkan (memakai) uang itu pun masih sedikit. Penduduk Jakarta hanya 1,5 juta orang waktu itu.
Kedua, kebutuhan hidup masih sedikit. Pesawat TV, tape recorder, dan radio kaset tidak ada, sehingga tidak mendorong orang untuk membelinya secara kreditan. Hiburan saya sehari-hari hanya radio roti yang harganya cuma Rp 75,-. Radio ini radio juga, kecil, bentuknya seperti roti tawar yang besar.
Ketiga, distribusi barang lancar. Sampai ke desa-desa di luar batas ibukota kabupaten pun ada toko pedagang P & D (provisien en dranken) yang kemudian menjadi M & M (makanan dan minuman). Sekarang orang menyebutnya Waserba (warung serba ada) meski isinya banyak yang tiba-tiba tidak ada.
Pengusaha toko P & D itu kebanyakan orang Cina, atau orang Indonesia keturunan. Cara mereka berdagang jujur sekali, dengan harga eceran yang kompetitif. Tidak ada yang menaikkan harga EZ yang ditetapkan pemerintah untuk melindungi rakyat konsumen. EZ kependekan dari Departement van Economische Zaken warisan Belanda. Walau kementeriannya sudah berubah menjadi Kemakmuran, harga itu masih disebut harga EZ.
Tetapi menjelang Pemilu I tahun 1955, inflasi mulai karena gejolak politik berkepanjangan sampai memacetkan produksi dan distribusi barang. Perdagangan kacau, sehingga gaji rupiah saya sebagai pegawai negeri tidak enak lagi. (Slamet Soeseno)
No comments:
Post a Comment