13 April 2006

Berkeliling Desa di Borobudur

Kompas - Jumat, 07 April 2006



Berkeliling Desa di Borobudur

Madina Nusrat

Melalui relung-relung jalan desa sekitar Candi Borobudur, angin semilir terasa mengempas wajah. Sinar mentari pun tak langsung menyengat tubuh karena pohon-pohon rambutan yang rindang telah menaunginya.

Kesibukan warga desa dengan pekerjaan pertaniannya sesekali tampak, khususnya saat mereka melalui ruas jalan dengan membawa peralatan pertanian. Aliran Sungai Progo yang memotong sejumlah desa di sekitar Candi Borobudur ini telah memberikan berkah bagi desa-desa di Borobudur untuk menjalankan aktivitas pertanian.

Perjalanan ini seakan menyelinap ke balik kemegahan bangunan Candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 Masehi oleh Dinasti Saylendra. Semakin menelisik jauh ke dalamnya ditemukan sejumlah orang—yang mungkin nenek moyang mereka ikut mendirikan bangunan yang mengagumkan itu.

Hanya saja sekarang orang-orang tersebut lebih sibuk bertani dan memperjuangkan kehidupan mereka sehari-hari di tengah semakin sulitnya menjangkau Candi Borobudur. Sebab, sejak candi itu direstorasi pada tahun 1972, ada serangkaian regulasi yang membuat masyarakat di sekitar Kecamatan Borobudur—yang berada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah—semakin sulit menjangkau candi yang sejak dahulu berdampingan hidup dengan mereka.

Sejumlah desa wisata yang diciptakan oleh sebagian warga Borobudur itu merupakan satu dari upaya mereka memberikan makna Candi Borobudur yang sebenarnya. "Candi Borobudur itu tak berdiri dengan sendirinya. Ada orang-orang yang telah membangunnya, yakni orang Borobudur," ucap Kepala Desa Candirejo Slamet Tugiyanto.

Kelik, Ketua Himpunan Pramuwisata Magelang dan juga aktif sebagai pramuwisata di Candi Borobudur, mengatakan, banyak orang telah luput dari keberadaan Candi Borobudur ini. Padahal, menurut dia, candi yang didirikan pada masa lalu itu menyimpan cerita tentang kehidupan sehari-hari warga sekitar Candi Borobudur dan kekayaan alam sekitarnya. "Cerita itu tertuang pada relief-relief candi," katanya.

Seperti pada umumnya, candi-candi di Pulau Jawa yang menjadi bangunan suci umat Buddha dan Hindu biasanya didirikan di tengah lahan yang subur. Di kawasan Candi Borobudur, yang hampir dikelilingi aliran Sungai Progo dan Sungai Sileng, pun sejumlah desa banyak yang memiliki mata air atau yang biasa disebut tuk.

Kemakmuran alam ini, kata Kelik, diceritakan dalam relief Candi Borobudur. "Karena itu, tak hanya cukup melihat kemegahan Candi Borobudur dengan mengelilingi bangunannya. Sebab, cerita kebesaran Borobudur yang dipahat di relief candi itu ada di desa-desa sekitar Candi Borobudur," ucapnya.

Turun-temurun

Sejumlah desa di sekitar Candi Borobudur ini memang tak semuanya memiliki pola hidup dan kekayaan alam yang sama. Di Desa Karanganyar, misalnya, warganya secara turun-temurun memiliki keahlian membuat peralatan rumah tangga dari tembikar. Lain lagi dengan Desa Wanurejo. Desa ini memiliki kekhasan, yaitu kemampuan warganya membuat seni kriya dari bambu dan kayu.

Uniknya lagi, di Borobudur ini banyak warga yang memiliki keahlian melukis. Walaupun nama-nama pelukis di Borobudur belum ada yang tenar, hasil karyanya sudah banyak yang dibawa ke berbagai negara.

Kehidupan kesenian memang tak jauh dari kehidupan sehari-hari warga Borobudur. Kehidupan mereka sebagai petani ladang telah dicerminkan pada kesenian jatilan atau kuda lumping yang memiliki irama rancak dan gerakan mengentak-entak tanah. Begitu juga pada kesenian kubro siswo dan topeng ireng.

Kesenian itu bisa dijumpai pada paket wisata berkeliling desa yang disajikan di Desa Candirejo. Di atas rancangan panggung terbuka yang sederhana dan ditempatkan di tengah permukiman warga, kesenian tersebut bisa dinikmati sambil mencicipi kue-kue tradisional khas Desa Candirejo, misalnya kue clorot, nogosari, cotot, dan bakwan.

Pertunjukan kesenian itu menempati rangkaian akhir pada perjalanan keliling desa atau paket tour the village yang disediakan di Desa Candirejo. Sebelumnya, perjalanan didahului dengan keliling Desa Candirejo dengan dokar, di mana permukimannya memiliki kekhasan pada pekarangan rumah warganya yang dipenuhi pohon rambutan.

"Jadi beruntung kalau datang ke desa ini ketika musim buah rambutan. Selain keliling desa, juga bisa mencicipi rambutan yang langsung dipetik dari pohon," ujar Slamet Tugiyanto.

Tak hanya lingkungan desa, kue-kue, dan buah yang disajikan. Desa ini juga memiliki kawasan wisata arung jeram di Sungai Progo. "Kami menyediakan rafting bagi wisatawan yang memiliki ketertarikan pada wisata alam. Untuk keselamatan, kami telah menjaminnya dengan peralatan rafting yang berkualitas internasional. Masing-masing peserta pun dilengkapi dengan asuransi," kata Slamet.

Wisata alam lainnya, menurut dia, juga bisa dinikmati di puncak Watu Kendil yang berada di Pegunungan Menoreh, di mana sebagian besar pedesaan di Kecamatan Borobudur berada di pegunungan ini. Dari puncak itu, pemandangan Candi Borobudur memang terlihat lengkap. Seakan candi tersebut ditopang oleh kehijauan alam di sekitarnya.

Memang berwisata keliling desa ini tak cukup dijalankan dalam satu hari. Karena itu, warga Desa Candirejo pun menyediakan home stay bagi wisatawan yang ingin bermalam di sana. Selain tarifnya relatif terjangkau, wisatawan juga bisa belajar secara langsung dengan warga sekitar tentang cara membuat kue ataupun nasi kluban yang menjadi masakan khas Magelang.

"Untuk belajar memasak ini, kami kemas dalam cooking lesson. Biasanya wisatawan asing yang menyukai paket wisata seperti ini," ujar Slamet.

Biaya untuk setiap rangkaian paket wisata semacam ini, menurut dia, juga cukup terjangkau. Namun, semuanya bergantung pada rangkaian paket wisata yang diinginkan.

Paket wisata lainnya juga disediakan para sais dokar dan pramuwisata yang juga bekerja sama dengan pihak yang menyediakan paket wisata keliling desa di Borobudur.

Harganya pun relatif terjangkau. Untuk dua wisatawan, ada paket seharga Rp 40.000 sampai Rp 70.000. "Harga ini bergantung pada desa yang ingin dikunjungi. Dan untuk itu, sudah dilengkapi dengan cerita dari pramuwisata kami," ujar Kelik.

Bagaimana komentar wisatawan yang pernah berkunjung ke Borobudur? "Saat saya berkeliling desa di sini, saya merasa seperti kembali ke alam. Kue-kue yang disajikan juga mengingatkan saya pada pengalaman masa kecil, di mana kue-kue tradisional itu banyak dijajakan di pasar," ujar Ardi (30), karyawan PT Unilever, saat berwisata keliling desa di Desa Candirejo. Jadi..., tak ada salahnya kita juga mencoba paket-paket tersebut.

No comments: