Pariwisata, Digarap Saat Diingat
Oleh: Pepih Nugraha
Seorang peserta Diskusi "Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030" yang diselenggarakan harian Kompas 8-9 Mei lalu amat bersemangat menawarkan gagasannya, yakni betapa pentingnya sektor pariwisata digarap.
Menurut dia, Indonesia yang kaya akan potensi wisata, baik berupa kekayaan wisata alam maupun bahari, tidak pernah secara serius digarap oleh Pemerintah Indonesia, setidak-tidaknya oleh mereka yang berkecimpung di bidang wisata.
"Tolong ya, Kompas harus mencatat ini. Ini penting karena selama ini pariwisata yang bisa memasukkan devisa itu tidak pernah disentuh, tidak pernah digarap serius," kata peserta diskusi itu berkali-kali.
Peserta itu "gerah" menanggapi para pembicara yang menurut dia lebih banyak berkutat pada bagaimana mendatangkan devisa di bidang tertentu, menekan atau menghilangkan utang luar negeri yang menumpuk, tetapi tidak pernah menyinggung sektor kepariwisataan.
"Padahal, ini salah satu untuk mengisi visi atau merealisasikan visi Indonesia sampai 2030 nanti," kata penanya itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai aktivis partai politik.
Core bisnis yang harus dikembangkan menurut dia adalah pariwisata karena bisnis ini dia sebut sebagai ready to use. Selain itu, pasarnya pun jelas karena telah sejak lama pariwisata adalah sumber devisa.
Lantas, peserta diskusi itu memaparkan data yang ia kutip dari Organisasi Pariwisata Dunia tentang adanya 1,3 miliar manusia yang lalu lalang di dunia ini setiap tahun, tetapi hanya empat juta orang yang mampir ke Indonesia. Turis asing yang datang ke Malaysia dalam rentang waktu yang sama berjumlah 14,7 juta orang.
Yang datang ke Thailand lebih banyak lagi, yakni lebih dari 15 juta orang. "Dengan datangnya secara masif turis asing ke Malaysia dan Thailand, keluarlah kedua negeri itu dari krisis ekonomi," ungkapnya.
Menurut dia, dengan mengembangkan pariwisata, Indonesia tidak lagi mengandalkan minyak bumi dan tambang emas yang semuanya akan habis. Juga tidak harus dipusingkan oleh pencurian jutaan ton ikan setiap harinya atau lenyapnya kayu-kayu gelondongan karena dibalak orang.
"Daripada Bapak-bapak (pembicara) mengeluh mengenai pendekatan mikrolah, pendekatan makrolah, capek kita ini. Tolong catat baik-baik bahwa pariwisata harus menjadi prioritas utama. Harus menjadi sumber devisa yang menyerap tenaga kerja dan kesempatan berusaha," paparnya.
Sayangnya, para pembicara kurang begitu intens menanggapi lontaran pendapatnya itu karena memang sesi yang sedang dibicarakan tidak spesifik membahas pariwisata. Meskipun demikian, pernyataan penanya itu patut direnungkan.
Negara tetangga Malaysia, misalnya, demikian agresif memajukan sektor pariwisata sebagai penghasil devisa. Masih terbayang dalam ingatan kita lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, dua pulau mungil di perbatasan Malaysia-Indonesia dekat Kalimantan.
Jauh-jauh hari sebelum kedua pulau itu menjadi sah milik Malaysia, setelah pengadilan internasional di Belanda memenangkannya, Malaysia sudah menjual poster dan brosur-brosur memikat kepada turis asing.
Tidak saja kepada turis yang datang ke Malaysia, tetapi lewat kedutaan-kedutaan besar Malaysia di berbagai negara, mereka agresif memperkenalkan Sipadan dan Ligitan. Kala itu internet belum mewabah sehingga pencetakan poster, pamflet, dan brosur menjadi alat propaganda yang ampuh.
Yang paling menyakitkan, pertimbangan pengadilan di Belanda untuk memenangkan Malaysia bukanlah soal kesejarahan Sipadan dan Ligitan, melainkan karena Malaysia jauh lebih peduli, lebih mengurus dan mengonservasi kedua pulau itu sebagai kekayaan alam. Sedangkan Indonesia dinilai menelantarkan kedua pulau itu, dan baru terenyak saat klaim Malaysia datang.
Kini, kedua pulau itu sudah menjadi tambang emas devisa wisata baru Malaysia. Kepada setiap turis yang datang, Malaysia mengoceh tentang keindahan Sipadan dan Ligitan. Bukan itu saja, lewat situs internet yang mereka bangun, Sipadan yang oleh Malaysia kini diperkenalkan dengan nama Kapalai, menjadi etalase pariwisata Malaysia dengan wisata baharinya. Di perairan Sipadan-Ligitan dikembangkan wisata menyelam. Kini, di kedua pulau itu juga sudah berdiri cottage-cottage yang menawan.
Bandingkan, misalnya, dengan Bunaken di perairan Sulawesi Utara yang dijual karena keindahan bawah lautnya. Padahal, terumbu karang yang berada di dasar lautnya sesungguhnya sudah rusak berat akibat salah urus, juga karena pengeboman nelayan yang kurang memahami arti kelestarian terumbu karang.
Wisata bahari
Dapat dipahami "keresahan" peserta diskusi tadi mengapa pariwisata harus dikembangkan di Bumi Pertiwi yang memang sangat kaya akan wisata alamnya itu.
Sekadar menyebut contoh, selain wisata bahari seperti Bunaken, atau Wisata Bahari Lamongan di Tanjung Kodok, Jawa Timur, ekowisata seperti arung jeram, menjelajah hutan perawan, atau menelusuri wisata goa-goa memang bisa menjadi sumber devisa apabila hal itu digarap secara profesional.
Juga ada wisata religi semacam Masjid Sunan Ampel di Jawa Timur yang juga bisa dijual. Padahal, di Indonesia jumlah tempat yang dianggap keramat dan suci itu cukup banyak dan akan menjadi potensi kalau dikembangkan.
Yang paling mutakhir adalah kawasan lereng Gunung Merapi yang bisa dikembangkan menjadi salah satu obyek wisata. Saat ini Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, memanfaatkan lokasi lereng Gunung Merapi sebagai pendapatan asli daerah. Setiap tahun rata-rata pengunjung hampir mencapai satu juta orang, potensi pemasukan yang layak diperhitungkan.
Jumlah wisatawan yang cukup besar itu sebagian besar wisatawan lokal. Akan menjadi lebih menjual lagi apabila dinas pariwisata setempat bekerja sama dengan kementerian pariwisata "menjual" wisata Merapi itu ke luar negeri, agar turis asing mendatangkan devisa tidak hanya untuk Kabupaten Sleman, tetapi juga sebagai devisa nasional.
Tentu tidak harus terlena dan terpesona atas gemuruh Merapi yang beberapa waktu lalu memuntahkan awan panas dan lelehan lavanya yang berwarna merah membara. Mestinya disadari, kalau orang-orang pariwisata cukup jeli, sebenarnya "keindahan" Merapi di saat murka itu bisa dijual sebagai daerah tujuan wisata.
Obyek wisata kawasan lereng Merapi ini tersebar di Kecamatan Turi, Pakem, dan Cangkringan. Tahun 2005 pengunjung di sekitar wilayah itu tercatat 992.659 orang, atau 41 persen dari total 2,4 juta wisatawan di Sleman. Jumlah itu lebih besar daripada jumlah pengunjung obyek wisata di Sleman lainnya yang rata-rata hanya 27.000 orang per tahun.
Kiranya harus menjadi kajian mereka yang berkecimpung di bidang pariwisata untuk merumuskan kembali kebijakan kepariwisataannya. Jangan reaktif seperti yang terjadi saat lepasnya Sipadan-Ligitan. Tetapi, jangan pula terlena oleh kekayaan alam Indonesia yang tersedia sehingga muncul anggapan, tanpa digarap pun Indonesia sudah indah dengan sendirinya.
Salah-salah malah harus kehilangan potensi wisata lain seperti Sipadan-Ligitan itu.
No comments:
Post a Comment