Enen Wardana:
Kerajinan Tangan sebagai Kail Kehidupan
JANGAN pernah menyepelekan pendidikan luar sekolah. Kalimat itu berkali-kali diucapkan Enen Wardana (53), pembuat berbagai kerajinan tangan. Apa pun macamnya pendidikan tersebut, kursus bahasa ataupun sekadar kursus keterampilan, sering kali hal itu justru bisa menjadi kail kehidupan seseorang. Enen tidak sekadar berteori sebab ia sendiri telah menjalaninya dan kini mencoba merangkul banyak perempuan dari berbagai latar belakang untuk "melaut" bersamanya.
ENEN mengaku hanya lulusan sekolah perawat setingkat sekolah lanjutan tingkat atas. Ketika lulus dan menikah, dia justru tidak sempat bekerja sebagai perawat. "Suami saya pegawai negeri, peneliti. Walaupun profesinya peneliti dan mengabdi di instansi pemerintah, penghasilannya cukup, namun pas-pasan. Saya sendiri tidak bisa diam, selalu ingin mengerjakan sesuatu," ujar Enen yang memiliki tiga anak.
Termotivasi untuk membantu suami menafkahi keluarga, pada tahun 1969 Enen kursus menjahit dari tingkat dasar, terampil, hingga mahir. Kemudian, pada tahun 1971 Enen mendapat beasiswa dari pemerintahan daerah zaman Gubernur Ali Sadikin untuk melanjutkan kursus menjahitnya ke tingkat selanjutnya, yaitu Sumber Tenaga Pendidik Penguji Penjahit. Sejak itulah perempuan kelahiran Pamanukan, Jawa Barat, ini mulai membantu ekonomi keluarganya dengan menerima jahitan pakaian.
Enen kemudian menerima banyak pesanan jahitan bersamaan dengan jatuh bangunnya ekonomi keluarga ketika gaji suaminya yang hanya beberapa ratus rupiah saja. Selain banyak menerima jahitan, rupanya banyak perempuan yang berminat minta diajari menjahit oleh Enen. Maka kemudian, tahun 1972 Enen mendirikan Pusat Pendidikan Keterampilan Wanita Widia yang hingga kini memberi kursus menjahit dan keterampilan kerajinan tangan.
"Ketika itu saya menyadari ternyata dari jahit-menjahit itu banyak juga limbahnya, berupa sisa-sisa kain yang tidak terpakai. Saya kemudian terpikir untuk membuat berbagai kerajinan tangan dari sisa-sisa kain tersebut. Rupanya belakangan pemanfaatan sisa kain inilah yang membuat hidup saya semakin menyenangkan," cerita Enen. Dari situlah Enen lalu menyulap sisa-sisa kain tersebut menjadi boneka, lap, taplak, dompet kain, kantong telepon seluler, hingga kantong mukena.
Selain menerima ribuan pesanan suvenir resepsi perkawinan, Enen juga kini kerap menerima pesanan mendesain berbagai hantaran, misalnya, hantaran untuk lamaran pernikahan. Ketua Umum Ikatan Pembuat Hantaran Indonesia Pancawati ini, misalnya, membentuk kain-kain batik di dalam hantaran menjadi bentuk angsa dan beragam bentuk bunga.
"Saya senang mencari ide dengan berjalan-jalan ke berbagai negara sendirian. Bukan untuk shopping lho, saya bukan orang kaya. Jalan-jalan itu untuk observasi berbagai kerajinan tangan di berbagai negara," tutur Enen, yang juga menyekolahkan adik-adiknya. Melalui usahanya di bidang kerajinan tangan dan royalti menulis 10 buku mengenai keterampilan, Enen sudah mengunjungi 28 negara dalam rangka observasi. Sejauh ini, dalam pandangannya, kerajinan tangan dari negara Jepang, China, dan Thailand yang meninggalkan kesan dan menginspirasinya.
"Saya kadang seperti pemulung. Selain mengumpulkan kain-kain sisa, saya juga berusaha memanfaatkan berbagai sisa benda yang tidak dimanfaatkan, seperti kaleng bekas, botol minuman bekas, juga kemasan agar-agar," papar Enen. Dia bahkan juga memanfaatkan sisik ikan, seperti ikan kakap, untuk kemudian "disulap" menjadi berbagai suvenir seperti perhiasan bros.
Aktivitas Enen yang paling menyedot waktunya kini bukanlah membuat berbagai kerajinan tangan tersebut, tetapi justru mengajar. Kegiatannya ini tampaknya sangat dinikmati Enen. Bukannya melebarkan ekspansi bisnisnya untuk memenuhi pundi-pundinya sendiri, Enen malah lebih menikmati memberi kursus keterampilan kerajinan tangan di rumahnya yang sederhana di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Siang itu, Enen tengah melatih empat perempuan asal Aceh, "kiriman" Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Keempat perempuan Aceh tersebut dididik dengan telaten oleh Enen tanpa dipungut biaya sama sekali olehnya. Banyak pembantu rumah tangga di sekitar rumahnya juga kursus kepada Enen. Tidak hanya itu, Enen juga kerap mengajarkan "ilmu" kerajinan tangannya kepada para pekerja seks komersial dan narapidana perempuan.
"Memberi adalah sesuatu yang sangat membahagiakan. Kalau hanya memberi berupa uang, mungkin bisa untuk makan orang sehari atau beberapa hari saja. Tetapi, kalau saya beri kailnya, saya berharap itu pemberian yang sifatnya bisa lebih abadi buat dia untuk mengarungi kehidupannya sehingga lebih mandiri," tutur Enen, yang dipanggil cucu-cucunya dengan sebutan Neta alias nenek tercinta.
Dahulu, Enen juga sempat mengisi acara mengenai keterampilan perempuan di TVRI dan sejumlah televisi swasta. "Akibatnya, saya dalam seminggu bisa menerima ratusan surat dari penonton yang menanyakan lebih detail macam-macam kerajinan tangan yang saya ajarkan melalui televisi. Kalau di televisi kan mungkin kurang jelas karena waktunya terbatas," kata Enen, yang sabar menjawab surat-surat tersebut satu per satu.
Tak hanya mengajar keterampilan melalui televisi, Enen akhirnya kerap juga harus memenuhi undangan berbagai kelompok pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK) di berbagai pelosok Nusantara. Setiap kali membantu mengajar ibu-ibu PKK dari berbagai daerah itu, Enen berupaya melihat lingkungan sekitar apakah ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan ibu-ibu tersebut.
"Misalnya di Alor, NTT (Nusa Tenggara Timur-Red), saya lihat banyak buah asam, bijinya banyak dibuang percuma. Padahal kalau dikumpulkan bahkan bisa kita kreasikan menjadi hiasan atau lukisan yang menarik," tutur Enen. Menurut Enen, pada dasarnya setiap daerah telah memiliki potensi kerajinan tersendiri yang khas. Beberapa daerah juga sebenarnya sudah memiliki karya seni utama, yang kadang tinggal diperluas ragamnya.
Jika berbelanja di pasar kain tenun di kawasan Kolmera, Dili, Timor Timur, misalnya, kita tidak hanya akan menemui tenun asal Los Palos yang kondang itu, tetapi juga berbagai ragam suvenir menarik. Enen, yang pernah mengajar ibu-ibu di Dili sebelum Timor Timur lepas dari Indonesia, mencoba memberi gagasan dengan mendiversifikasikan produk kain tenun menjadi, misalnya, tas tangan, sandal jepit, kantong telepon seluler, dompet, hingga gantungan kunci.
"Jadi, turis itu kan pilihannya lebih beragam sehingga oleh- olehnya lebih menarik. Mereka sudah punya kreasi tenun cantik, tinggal saya bantu sedikit untuk lebih kreatif," ujar Enen.
Kini, Enen memiliki kelompok binaan yang terdiri dari sekitar 50 perempuan di Kelurahan Pasar Minggu, baik ibu rumah tangga maupun remaja perempuan putus sekolah. Mereka diajar berbagai keterampilan kerajinan tangan dengan telaten oleh Enen. Jika mendapat pesanan kerajinan tangan untuk suvenir, misalnya, Enen melanjutkan order tersebut ke kelompok binaannya. Kelompok binaan itu baru saja membuka outlet di kawasan Pasar Minggu, awal bulan Desember.
"Dengan demikian, saya bisa berbagi rezeki ke orang-orang lain yang mungkin lebih membutuhkan. Itu sangat menyenangkan lho," ujar Enen sambil tersenyum. (SF)
ENEN mengaku hanya lulusan sekolah perawat setingkat sekolah lanjutan tingkat atas. Ketika lulus dan menikah, dia justru tidak sempat bekerja sebagai perawat. "Suami saya pegawai negeri, peneliti. Walaupun profesinya peneliti dan mengabdi di instansi pemerintah, penghasilannya cukup, namun pas-pasan. Saya sendiri tidak bisa diam, selalu ingin mengerjakan sesuatu," ujar Enen yang memiliki tiga anak.
Termotivasi untuk membantu suami menafkahi keluarga, pada tahun 1969 Enen kursus menjahit dari tingkat dasar, terampil, hingga mahir. Kemudian, pada tahun 1971 Enen mendapat beasiswa dari pemerintahan daerah zaman Gubernur Ali Sadikin untuk melanjutkan kursus menjahitnya ke tingkat selanjutnya, yaitu Sumber Tenaga Pendidik Penguji Penjahit. Sejak itulah perempuan kelahiran Pamanukan, Jawa Barat, ini mulai membantu ekonomi keluarganya dengan menerima jahitan pakaian.
Enen kemudian menerima banyak pesanan jahitan bersamaan dengan jatuh bangunnya ekonomi keluarga ketika gaji suaminya yang hanya beberapa ratus rupiah saja. Selain banyak menerima jahitan, rupanya banyak perempuan yang berminat minta diajari menjahit oleh Enen. Maka kemudian, tahun 1972 Enen mendirikan Pusat Pendidikan Keterampilan Wanita Widia yang hingga kini memberi kursus menjahit dan keterampilan kerajinan tangan.
"Ketika itu saya menyadari ternyata dari jahit-menjahit itu banyak juga limbahnya, berupa sisa-sisa kain yang tidak terpakai. Saya kemudian terpikir untuk membuat berbagai kerajinan tangan dari sisa-sisa kain tersebut. Rupanya belakangan pemanfaatan sisa kain inilah yang membuat hidup saya semakin menyenangkan," cerita Enen. Dari situlah Enen lalu menyulap sisa-sisa kain tersebut menjadi boneka, lap, taplak, dompet kain, kantong telepon seluler, hingga kantong mukena.
Selain menerima ribuan pesanan suvenir resepsi perkawinan, Enen juga kini kerap menerima pesanan mendesain berbagai hantaran, misalnya, hantaran untuk lamaran pernikahan. Ketua Umum Ikatan Pembuat Hantaran Indonesia Pancawati ini, misalnya, membentuk kain-kain batik di dalam hantaran menjadi bentuk angsa dan beragam bentuk bunga.
"Saya senang mencari ide dengan berjalan-jalan ke berbagai negara sendirian. Bukan untuk shopping lho, saya bukan orang kaya. Jalan-jalan itu untuk observasi berbagai kerajinan tangan di berbagai negara," tutur Enen, yang juga menyekolahkan adik-adiknya. Melalui usahanya di bidang kerajinan tangan dan royalti menulis 10 buku mengenai keterampilan, Enen sudah mengunjungi 28 negara dalam rangka observasi. Sejauh ini, dalam pandangannya, kerajinan tangan dari negara Jepang, China, dan Thailand yang meninggalkan kesan dan menginspirasinya.
"Saya kadang seperti pemulung. Selain mengumpulkan kain-kain sisa, saya juga berusaha memanfaatkan berbagai sisa benda yang tidak dimanfaatkan, seperti kaleng bekas, botol minuman bekas, juga kemasan agar-agar," papar Enen. Dia bahkan juga memanfaatkan sisik ikan, seperti ikan kakap, untuk kemudian "disulap" menjadi berbagai suvenir seperti perhiasan bros.
Aktivitas Enen yang paling menyedot waktunya kini bukanlah membuat berbagai kerajinan tangan tersebut, tetapi justru mengajar. Kegiatannya ini tampaknya sangat dinikmati Enen. Bukannya melebarkan ekspansi bisnisnya untuk memenuhi pundi-pundinya sendiri, Enen malah lebih menikmati memberi kursus keterampilan kerajinan tangan di rumahnya yang sederhana di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Siang itu, Enen tengah melatih empat perempuan asal Aceh, "kiriman" Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Keempat perempuan Aceh tersebut dididik dengan telaten oleh Enen tanpa dipungut biaya sama sekali olehnya. Banyak pembantu rumah tangga di sekitar rumahnya juga kursus kepada Enen. Tidak hanya itu, Enen juga kerap mengajarkan "ilmu" kerajinan tangannya kepada para pekerja seks komersial dan narapidana perempuan.
"Memberi adalah sesuatu yang sangat membahagiakan. Kalau hanya memberi berupa uang, mungkin bisa untuk makan orang sehari atau beberapa hari saja. Tetapi, kalau saya beri kailnya, saya berharap itu pemberian yang sifatnya bisa lebih abadi buat dia untuk mengarungi kehidupannya sehingga lebih mandiri," tutur Enen, yang dipanggil cucu-cucunya dengan sebutan Neta alias nenek tercinta.
Dahulu, Enen juga sempat mengisi acara mengenai keterampilan perempuan di TVRI dan sejumlah televisi swasta. "Akibatnya, saya dalam seminggu bisa menerima ratusan surat dari penonton yang menanyakan lebih detail macam-macam kerajinan tangan yang saya ajarkan melalui televisi. Kalau di televisi kan mungkin kurang jelas karena waktunya terbatas," kata Enen, yang sabar menjawab surat-surat tersebut satu per satu.
Tak hanya mengajar keterampilan melalui televisi, Enen akhirnya kerap juga harus memenuhi undangan berbagai kelompok pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK) di berbagai pelosok Nusantara. Setiap kali membantu mengajar ibu-ibu PKK dari berbagai daerah itu, Enen berupaya melihat lingkungan sekitar apakah ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan ibu-ibu tersebut.
"Misalnya di Alor, NTT (Nusa Tenggara Timur-Red), saya lihat banyak buah asam, bijinya banyak dibuang percuma. Padahal kalau dikumpulkan bahkan bisa kita kreasikan menjadi hiasan atau lukisan yang menarik," tutur Enen. Menurut Enen, pada dasarnya setiap daerah telah memiliki potensi kerajinan tersendiri yang khas. Beberapa daerah juga sebenarnya sudah memiliki karya seni utama, yang kadang tinggal diperluas ragamnya.
Jika berbelanja di pasar kain tenun di kawasan Kolmera, Dili, Timor Timur, misalnya, kita tidak hanya akan menemui tenun asal Los Palos yang kondang itu, tetapi juga berbagai ragam suvenir menarik. Enen, yang pernah mengajar ibu-ibu di Dili sebelum Timor Timur lepas dari Indonesia, mencoba memberi gagasan dengan mendiversifikasikan produk kain tenun menjadi, misalnya, tas tangan, sandal jepit, kantong telepon seluler, dompet, hingga gantungan kunci.
"Jadi, turis itu kan pilihannya lebih beragam sehingga oleh- olehnya lebih menarik. Mereka sudah punya kreasi tenun cantik, tinggal saya bantu sedikit untuk lebih kreatif," ujar Enen.
Kini, Enen memiliki kelompok binaan yang terdiri dari sekitar 50 perempuan di Kelurahan Pasar Minggu, baik ibu rumah tangga maupun remaja perempuan putus sekolah. Mereka diajar berbagai keterampilan kerajinan tangan dengan telaten oleh Enen. Jika mendapat pesanan kerajinan tangan untuk suvenir, misalnya, Enen melanjutkan order tersebut ke kelompok binaannya. Kelompok binaan itu baru saja membuka outlet di kawasan Pasar Minggu, awal bulan Desember.
"Dengan demikian, saya bisa berbagi rezeki ke orang-orang lain yang mungkin lebih membutuhkan. Itu sangat menyenangkan lho," ujar Enen sambil tersenyum. (SF)
No comments:
Post a Comment