Di Islam ada kesan terutama di Indonesia, terjadi sebuah Arabisasi bukan pemahaman agama itu sendiri. Di kalangan keturunan Cina sekarang sejak reformasi bergulir, ada kesan Mandarinisasi.
Barangkali itulah sebuah letusan atas kekangan begitu lama terhadap kebebasan berekspresi, menjaga budaya leluhur? Apapun, siapapun dimanapun sebaiknay ia berakar terhadap tempat domisilinya.
Bukankah akhirnya kita ini sebuah ras yang tinggal di sebuah planet ke 3 dari matahari dan masih sendiri saja.
Kenapa mesti kita saling berkelahi ?
Insting survival barangkali jawaban paling dasar bisa diberikan akhirnya?
Shanghai dihari kedua Natal 2004, hujan mendung dan dingin. Syukur dan terpuji berkah Tuhan ada sebuah rumah yang hangat, memiliki internet utk melindungi diri dari anasir anasir alam. Makan yang berkecukupan.
Jadi apa Resolusi 2005?
Kompas,Minggu, 26 Desember 2004
Agama, Kesenian, Pertanian...
"NGENDONG Bayi". Itulah tema Natal yang dipilih untuk merayakan Natal di Gubug Selo Merapi, Kecamatan Dukun di lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah. "Seperti bayi yang baru dilahirkan, semua kerabat kan pasti mengunjunginya. Demikian pula dengan kelahiran Yesus ke bumi," kata Romo V Kirjito dari Paroki Santa Maria Nurdes di wilayah itu. Di beberapa daerah dengan komunitas tertentu, terlihat bagaimana upaya-upaya menjadikan kegiatan keimanan juga sebagai kegiatan kebudayaan.
Dalam prosesi ngendong bayi (membopong bayi) terdapat persembahan hasil bumi warga setempat. Acara itu dilengkapi oleh serangkaian pergelaran kesenian rakyat setempat, yang memang menjadi salah satu kekayaan di sekitar Kecamatan Dukun. Taruhlah mulai kesenian Gasir Ngentir, Kidung Mantra, Tolak Bala, Musik Kentongan, musik khas Islami Terbangan, Kubro, dan Tari Tani. Ekaristi baru dimulai setelah rangkaian kesenian tersebut selesai dipertunjukkan.
Tradisi perayaan Natal dengan menyerap kebudayaan lokal sebagai salah satu wahana ritual dilakukan oleh umat Katolik di Kecamatan Dukun tahun-tahun belakangan ini. Perayaan semacam itu, dengan sendirinya juga merangsang kegairahan kehidupan kesenian setempat.
"Dulu, kalau masuk gereja saat Natal rasanya sangat sakral. Meski sekarang pun masih terasa sakral, tetapi terasa lebih luwes, lebih hidup," kata Ismanto (35), seniman pahat batu asal Merapi. Menurutnya, sejak umat Katolik di Kecamatan Dukun dibina oleh Romo Kirjito, ada warna tersendiri dalam perayaan Natal. "Romo Kir memberikan cita rasa yang berbeda. Cita rasa ini bisa lebih kami rasakan. Istilahnya, seperti cangkir ketemu tutup," tambahnya.
Menurut Kirjito, apa yang dilakukannya adalah upaya untuk melayani umatnya. Katanya, "Umat saya di sini banyak dari kalangan seniman yang sekaligus petani. Sehingga saya harus melayani mereka sesuai kebutuhan hidup mereka, yaitu kesenian dan pertanian." Menurut Kirjito-yang di desa biasa dipanggil Lik Kir-sebelum Konsili Vatikan II, semua ritual Katolik mengadopsi budaya Barat. Namun, setelah Konsili Vatikan II yang dibuat antara tahun 1960-1965, diterapkan suatu ajaran supaya gereja berinkulturasi dengan budaya lokal setempat. "Inkulturasi itu adalah mengungkapkan keimanan kepada Tuhan Yesus dalam bentuk budaya lokal. Upaya ini juga untuk mengakomodasi keinginan umat," tutur Kirjito.
Seperti ngendong bayi, itu adalah kebiasaan masyarakat di Dukun untuk menjenguk bayi yang baru lahir. Dengan masuk ke dalam tradisi ini, perayaan menyambut kelahiran Yesus ke bumi itu bisa dirayakan oleh segala umat. "Namanya tilik (menjenguk) bayi, semua kerabat akan menjenguknya," Kirjito mengumpamakan.
Meski ada sikap berinkulturasi dengan budaya lokal sejak tahun 1965, kata Kirjito, selama Orde Baru itu belum bisa diterapkan sehingga Natal waktu itu kelihatan "eksklusif". "Dulu karena situasi politik, perayaan Natal hanya menggunakan ritual yang biasanya digunakan di gereja-gereja pada umumnya. Kalau sekarang kan sudah bebas. Saya sebagai pelayan umat tinggal membuka keran yang sudah ada," ujar Kirjito.
PROSES inkulturasi semacam ini, dengan nyata juga akan segera tertangkap bentuknya, taruhlah kalau kita mengunjungi perkampungan Tuka-sekitar 15 kilometer barat daya Denpasar, Bali. Gereja Katolik Paroki Tritunggal Maha Kudus Tuka tercatat sebagai gereja tertua di Bali. Konon, perkembangan agama Katolik di Bali berawal dari paroki ini, yang bersama bangunan gerejanya resmi berdiri tanggal 14 Februari 1937. Gereja lama itu sendiri kini tinggal puing.
"Lahan bekas bangunan gereja ini nantinya akan digunakan untuk bangunan sekretariat paroki sekaligus ruang doa," kata Romo Kris Ratu SVD, Pastor Paroki Tuka. Sedangkan gereja yang mereka pakai sekarang adalah bangunan baru yang mulai resmi dimanfaatkan sejak tahun 1987. Bangunan gereja baru ini agak berbeda dibandingkan dengan gereja umumnya. Dengan corak khas Bali, konstruksinya mirip wantilan, tanpa dinding. Kompleksnya berada dalam kepungan tembok penyengker (pagar)-mirip bangunan pura.
"Gereja Tuka adalah contoh rumah ibadah yang menyatu dengan budaya Bali. Pada hari-hari tertentu upacara keagamaan punsangat khas Bali," tutur Alex Nyoman Gunarsha (56), tokoh Katolik di Tuka.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, para umat yang mengikuti misa Natal di Tuka dianjurkan untuk berpakaian adat. Umat asli Bali berpakaian adat Bali, sementara umat pendatang disarankan mengenakan pakaian adat daerah asalnya.
Gereja itu juga telah dilengkapi dengan seperangkat gong gede sebagai alat musik pengiring upacara keagamaan. Musik gong ini terutama mengiringi lagu-lagu dan tarian bermotif Bali. "Ini semua bagian dari upaya kami untuk mempertahankan keberadaan Gereja Tuka yang bernuansa Bali," kata Alex Nyoman Gunarsha.
Di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Wonosari, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, upaya mendekatkan diri dengan kebudayaan setempat juga dilakukan. Meskipun berada dalam tradisi Calvinisme yang ketat, seperti dituturkan pendeta di situ, Drs Supiarso, ada juga kebaktian berbahasa Jawa yang diiringi gamelan atau puji-pujian dengan musik keroncong. "Namun itu bukan rutin, hanya insidental saja, misalkan saat Natal atau upacara-upacara khusus lain," kata Supiarso.
Ia mengemukakan, yang penting adalah terbentuknya kerukunan. Harus ada upaya-upaya yang mempersatukan umat. Natal tahun ini misalnya, mereka membantu memperbaiki jalan dusun menuju ke GKJ yang terletak di Desa Hargomulyo itu. "Ini bukan semata-mata untuk jalan ke gereja, namun lebih dari itu, jalan ini juga jalan dusun sehingga masyarakat non-Kristen pun antusias membantu," katanya.
Menurut Supiarso, aksi sosial ini dilatarbelakangi keinginan untuk senantiasa mengingatkan kepada jemaat akan kepedulian Allah kepada manusia, sebab jika Allah peduli kepada manusia, kenapa manusia tidak peduli kepada sesama. "Iman itu harus tampak dalam perbuatan konkret," katanya.
SEMENTARA itu, Dr Sindhunata SJ, pastor yang juga dikenal budayawan, menggambarkan dalam bahasa Jawa, "Agama iku wong mlaku saumpamane (agama itu ibaratnya seperti orang berjalan)." Dalam pengertian ini, Sindhu ingin mengatakan, orang yang berjalan akan lebih detail melihat permasalahan, melihat peristiwa, dan memahaminya. Lain dengan orang yang naik mobil, yang hanya sepintas dalam melihat keadaan atau peristiwa. Bahkan, hanya mendapatkan gambaran sepotong-sepotong.
Melihat persoalan, peristiwa dan memahami secara detail yang terjadi dalam kehidupan manusia, itulah yang harus dilakukan oleh agama. Dengan begitu, agama bisa memberikan jawaban dan pemecahan persoalan kehidupan, baik secara individu ataupun dalam komunitas masyarakat.
Demikian juga kegiatan Natal di desa yang menggunakan momentum Natal untuk memperbaiki lingkungan. Itu menunjukkan persoalan agama bukan hanya persoalan tata ibadah, tetapi juga menunjukkan peran agama dalam ikut bertanggung jawab dengan lingkungannya. Itulah perwujudan yang diungkapkannya dalam bahasa Jawa tadi: aga- ma iku wong mlaku saumpamane... (ANS/J02/J09/TOP)
Barangkali itulah sebuah letusan atas kekangan begitu lama terhadap kebebasan berekspresi, menjaga budaya leluhur? Apapun, siapapun dimanapun sebaiknay ia berakar terhadap tempat domisilinya.
Bukankah akhirnya kita ini sebuah ras yang tinggal di sebuah planet ke 3 dari matahari dan masih sendiri saja.
Kenapa mesti kita saling berkelahi ?
Insting survival barangkali jawaban paling dasar bisa diberikan akhirnya?
Shanghai dihari kedua Natal 2004, hujan mendung dan dingin. Syukur dan terpuji berkah Tuhan ada sebuah rumah yang hangat, memiliki internet utk melindungi diri dari anasir anasir alam. Makan yang berkecukupan.
Jadi apa Resolusi 2005?
Kompas,Minggu, 26 Desember 2004
Agama, Kesenian, Pertanian...
"NGENDONG Bayi". Itulah tema Natal yang dipilih untuk merayakan Natal di Gubug Selo Merapi, Kecamatan Dukun di lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah. "Seperti bayi yang baru dilahirkan, semua kerabat kan pasti mengunjunginya. Demikian pula dengan kelahiran Yesus ke bumi," kata Romo V Kirjito dari Paroki Santa Maria Nurdes di wilayah itu. Di beberapa daerah dengan komunitas tertentu, terlihat bagaimana upaya-upaya menjadikan kegiatan keimanan juga sebagai kegiatan kebudayaan.
Dalam prosesi ngendong bayi (membopong bayi) terdapat persembahan hasil bumi warga setempat. Acara itu dilengkapi oleh serangkaian pergelaran kesenian rakyat setempat, yang memang menjadi salah satu kekayaan di sekitar Kecamatan Dukun. Taruhlah mulai kesenian Gasir Ngentir, Kidung Mantra, Tolak Bala, Musik Kentongan, musik khas Islami Terbangan, Kubro, dan Tari Tani. Ekaristi baru dimulai setelah rangkaian kesenian tersebut selesai dipertunjukkan.
Tradisi perayaan Natal dengan menyerap kebudayaan lokal sebagai salah satu wahana ritual dilakukan oleh umat Katolik di Kecamatan Dukun tahun-tahun belakangan ini. Perayaan semacam itu, dengan sendirinya juga merangsang kegairahan kehidupan kesenian setempat.
"Dulu, kalau masuk gereja saat Natal rasanya sangat sakral. Meski sekarang pun masih terasa sakral, tetapi terasa lebih luwes, lebih hidup," kata Ismanto (35), seniman pahat batu asal Merapi. Menurutnya, sejak umat Katolik di Kecamatan Dukun dibina oleh Romo Kirjito, ada warna tersendiri dalam perayaan Natal. "Romo Kir memberikan cita rasa yang berbeda. Cita rasa ini bisa lebih kami rasakan. Istilahnya, seperti cangkir ketemu tutup," tambahnya.
Menurut Kirjito, apa yang dilakukannya adalah upaya untuk melayani umatnya. Katanya, "Umat saya di sini banyak dari kalangan seniman yang sekaligus petani. Sehingga saya harus melayani mereka sesuai kebutuhan hidup mereka, yaitu kesenian dan pertanian." Menurut Kirjito-yang di desa biasa dipanggil Lik Kir-sebelum Konsili Vatikan II, semua ritual Katolik mengadopsi budaya Barat. Namun, setelah Konsili Vatikan II yang dibuat antara tahun 1960-1965, diterapkan suatu ajaran supaya gereja berinkulturasi dengan budaya lokal setempat. "Inkulturasi itu adalah mengungkapkan keimanan kepada Tuhan Yesus dalam bentuk budaya lokal. Upaya ini juga untuk mengakomodasi keinginan umat," tutur Kirjito.
Seperti ngendong bayi, itu adalah kebiasaan masyarakat di Dukun untuk menjenguk bayi yang baru lahir. Dengan masuk ke dalam tradisi ini, perayaan menyambut kelahiran Yesus ke bumi itu bisa dirayakan oleh segala umat. "Namanya tilik (menjenguk) bayi, semua kerabat akan menjenguknya," Kirjito mengumpamakan.
Meski ada sikap berinkulturasi dengan budaya lokal sejak tahun 1965, kata Kirjito, selama Orde Baru itu belum bisa diterapkan sehingga Natal waktu itu kelihatan "eksklusif". "Dulu karena situasi politik, perayaan Natal hanya menggunakan ritual yang biasanya digunakan di gereja-gereja pada umumnya. Kalau sekarang kan sudah bebas. Saya sebagai pelayan umat tinggal membuka keran yang sudah ada," ujar Kirjito.
PROSES inkulturasi semacam ini, dengan nyata juga akan segera tertangkap bentuknya, taruhlah kalau kita mengunjungi perkampungan Tuka-sekitar 15 kilometer barat daya Denpasar, Bali. Gereja Katolik Paroki Tritunggal Maha Kudus Tuka tercatat sebagai gereja tertua di Bali. Konon, perkembangan agama Katolik di Bali berawal dari paroki ini, yang bersama bangunan gerejanya resmi berdiri tanggal 14 Februari 1937. Gereja lama itu sendiri kini tinggal puing.
"Lahan bekas bangunan gereja ini nantinya akan digunakan untuk bangunan sekretariat paroki sekaligus ruang doa," kata Romo Kris Ratu SVD, Pastor Paroki Tuka. Sedangkan gereja yang mereka pakai sekarang adalah bangunan baru yang mulai resmi dimanfaatkan sejak tahun 1987. Bangunan gereja baru ini agak berbeda dibandingkan dengan gereja umumnya. Dengan corak khas Bali, konstruksinya mirip wantilan, tanpa dinding. Kompleksnya berada dalam kepungan tembok penyengker (pagar)-mirip bangunan pura.
"Gereja Tuka adalah contoh rumah ibadah yang menyatu dengan budaya Bali. Pada hari-hari tertentu upacara keagamaan punsangat khas Bali," tutur Alex Nyoman Gunarsha (56), tokoh Katolik di Tuka.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, para umat yang mengikuti misa Natal di Tuka dianjurkan untuk berpakaian adat. Umat asli Bali berpakaian adat Bali, sementara umat pendatang disarankan mengenakan pakaian adat daerah asalnya.
Gereja itu juga telah dilengkapi dengan seperangkat gong gede sebagai alat musik pengiring upacara keagamaan. Musik gong ini terutama mengiringi lagu-lagu dan tarian bermotif Bali. "Ini semua bagian dari upaya kami untuk mempertahankan keberadaan Gereja Tuka yang bernuansa Bali," kata Alex Nyoman Gunarsha.
Di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Wonosari, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, upaya mendekatkan diri dengan kebudayaan setempat juga dilakukan. Meskipun berada dalam tradisi Calvinisme yang ketat, seperti dituturkan pendeta di situ, Drs Supiarso, ada juga kebaktian berbahasa Jawa yang diiringi gamelan atau puji-pujian dengan musik keroncong. "Namun itu bukan rutin, hanya insidental saja, misalkan saat Natal atau upacara-upacara khusus lain," kata Supiarso.
Ia mengemukakan, yang penting adalah terbentuknya kerukunan. Harus ada upaya-upaya yang mempersatukan umat. Natal tahun ini misalnya, mereka membantu memperbaiki jalan dusun menuju ke GKJ yang terletak di Desa Hargomulyo itu. "Ini bukan semata-mata untuk jalan ke gereja, namun lebih dari itu, jalan ini juga jalan dusun sehingga masyarakat non-Kristen pun antusias membantu," katanya.
Menurut Supiarso, aksi sosial ini dilatarbelakangi keinginan untuk senantiasa mengingatkan kepada jemaat akan kepedulian Allah kepada manusia, sebab jika Allah peduli kepada manusia, kenapa manusia tidak peduli kepada sesama. "Iman itu harus tampak dalam perbuatan konkret," katanya.
SEMENTARA itu, Dr Sindhunata SJ, pastor yang juga dikenal budayawan, menggambarkan dalam bahasa Jawa, "Agama iku wong mlaku saumpamane (agama itu ibaratnya seperti orang berjalan)." Dalam pengertian ini, Sindhu ingin mengatakan, orang yang berjalan akan lebih detail melihat permasalahan, melihat peristiwa, dan memahaminya. Lain dengan orang yang naik mobil, yang hanya sepintas dalam melihat keadaan atau peristiwa. Bahkan, hanya mendapatkan gambaran sepotong-sepotong.
Melihat persoalan, peristiwa dan memahami secara detail yang terjadi dalam kehidupan manusia, itulah yang harus dilakukan oleh agama. Dengan begitu, agama bisa memberikan jawaban dan pemecahan persoalan kehidupan, baik secara individu ataupun dalam komunitas masyarakat.
Demikian juga kegiatan Natal di desa yang menggunakan momentum Natal untuk memperbaiki lingkungan. Itu menunjukkan persoalan agama bukan hanya persoalan tata ibadah, tetapi juga menunjukkan peran agama dalam ikut bertanggung jawab dengan lingkungannya. Itulah perwujudan yang diungkapkannya dalam bahasa Jawa tadi: aga- ma iku wong mlaku saumpamane... (ANS/J02/J09/TOP)
No comments:
Post a Comment