26 December 2004

Natalan di desa.

Natal di desa desa. Baru baru ini kami mencoba membantu kapel di Gedongrejo, Wonogiri dan romo Mardi SJ menjadi pastor paroki yg luas dan harus dicapai dng berjalan kaki. Kapan kapan kalau ke Jawa Tengah aku ingin main kesana.


Kompas, Minggu, 26 Desember 2004

Daun Pisang, Daun Salak dalam Natal

DI manakah spirit kesederhanaan Natal, di tengah gelombang konsumsi yang seakan hendak menelan segala-galanya sekarang? Ia berada di desa-desa, di komunitas-komunitas tertentu. Kelompok-kelompok di desa-desa bukan hanya mempertahankan spirit kesederhanaan itu, tetapi juga mengekspresikan ritualnya dengan iman yang konkret, membumi, termasuk hiasan natal yang bukan lagi pohon-pohon natal impor, melainkan bisa dari daun salak, daun pisang, ataupun penjor. Mereka lebih "progresif" daripada masyarakat urban yang serba latah dan kehilangan spirit kreativitas gara-gara arus konsumsi.

PEKAN lalu, beberapa hari sebelum jatuhnya tanggal 25 Desember, sekitar 20 anak sibuk mempersiapkan diri menyambut Natal di Gereja Paroki Somohitan, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta. Mereka hendak menampilkan operet, namun ada yang belum hafal dialog, ada pula yang tidak tahu harus memakai kostum apa. "Mbak, besok aku pakai kostum apa?" tanya seorang anak kepada seorang wanita di situ. Yang lain lagi berseru, "Aku takut Mbak, belum hafal dialog..."

"Sebenarnya tidak ada pesta khusus dalam perayaan Natal tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya," ucap Pastor Paroki Somohitan Y Suyatno Hadiatmaja Pr. "Cuma anak-anak itu saja yang tiap hari ke gereja menjelang Natal," tambahnya. Suyatno bukan bermaksud mengecilkan arti dan perayaan Natal. Namun, bagi dia, Natal itu sudah dihayati dan "dirayakan" setiap hari oleh warga Somohitan.

Kata Suyatno, "Penghayatan Natal atau kelahiran kembali bersama Yesus Kristus itu sudah dilakukan masyarakat Kristiani dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat sekitar yang heterogen."

BEGITULAH, sebenarnya kesederhanaan penyelenggaraan perayaan Natal di desa-desa seperti di Turi tadi adalah wujud keseharian mereka, termasuk praktik beragama yang cair dalam lingkungan kebudayaan masing-masing.

Masih di Yogyakarta, di daerah sekitar Sendangsono, khususnya di Desa Banjaroyo, Kalibawang, Kulon Progo, Natal dianggap peristiwa besar yang justru harus dirayakan dengan penuh kesederhanaan. Jarang ada anggota masyarakat yang melakukan pesta besar-besaran secara berkelompok. Semua kegiatan didasarkan pada adat dan tradisi.

Warga Sendangsono dan sekitarnya memiliki tradisi kepungan, yang dilakukan pada saat Natal. Dalam acara kepungan, warga berkumpul bersama di rumah kepala dusun atau tokoh masyarakat setempat untuk bersantap bersama.

"Setiap warga biasanya membawa makanan berupa nasi tumpeng atau nasi bungkus untuk dinikmati bersama-sama. Lewat kegiatan kepungan ini, kita ingin menunjukkan bahwa kesederhanaan dan kerukunan merupakan sikap hidup yang harus selalu dikembangkan," kata Martinus Marsik, warga Dusun Dlingseng, sekaligus Ketua Paguyuban Tani Sendang Mekar.

Paguyuban tani ini sendiri barangkali bisa menjadi contoh bagaimana mereka mengkonkretkan makna Natal itu. Masyarakat tani yang tergabung dalam paguyuban Sendang Mekar ini melakukan penyelamatan lingkungan. Mereka melakukan itu dengan sekaligus meminta berkah Tuhan agar dijauhkan dari bencana lingkungan, khususnya longsor di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Kegiatan penyelamatan lingkungan diisi antara lain dengan pelepasan ribuan bibit ikan lele dan nila di Sungai Sendangsono dan Sungai Ploso, 50 ekor burung yang disebut burung Trotokan, serta menyerahkan benih durian kepada empat kepala desa di Perbukitan Menoreh, yaitu Banjaroyo, Banjarharjo, Banjararum, dan Banjarasri. "Kegiatan-kegiatan ini merupakan simbol keprihatinan kami atas kerusakan lingkungan yang terjadi," kata F Nangsir Soenanto, warga setempat.

Di kota, adakah yang ingat tentang krisis lingkungan semesta ketika membuka kado natal?

MEREKA menyanyi dalam lirik yang berkisah mengenai keniskalaan harta dunia, seperti terdengar di Salib Putih, Kecamatan Argomulyo, Salatiga, Jawa Tengah. Di desa yang sejuk di lereng Gunung Merbabu dengan perkebunan kopi yang tatkala musim bunga, perkebunan memutih oleh putih bunga kopi ini, nenek Samsini (76), penghuni Panti Werdha Salib Putih, sedang melantunkan lagu. Lirik lagu yang dinyanyikannya dengan riang itu: "Eee... mesakake uripe wong donya/rino lan wengi diancam pati/tan ono bungah nadyan sugih bondo/atine giris larane terus teko..." (Kasihan kehidupan orang di dunia/siang dan malam diancam kematian/tidak ada kebahagiaan meskipun kaya harta/hati cemas penyakit terus datang).

Samsini menyanyikannya dalam perayaan Natal yang di situ berlangsung tanggal 21 Desember lalu. Hadirin yang memadati aula Panti Asuhan Salib Putih menyambut meriah lantunan lagu nenek Samsini.

Komunitas ini terbentuk dalam sejarah panjang, konon berawal dari letusan Gunung Kelud di Jawa Timur tahun 1901 yang memaksa warga di sekitar Gunung Kelud mengungsi sampai Salatiga. Menurut cerita dari beberapa orang di situ, misionaris asal Inggris, Theodorus Van Emmrick, yang tinggal di Salatiga, meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu berkuasa untuk menyediakan lahan bagi pengungsi. Permintaan dikabulkan, tepatnya pada tanggal 14 Mei 1902. Pemerintah saat itu menyediakan lahan seluas 115 hektar.

"Dulu lahannya masih berupa hutan dan namanya belum Salib Putih. Nama tersebut timbul karena warga yang tengah membuka hutan menemukan bentuk salib dari batu marmer," cerita Prasetyo, mantan pengurus Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP). YSKSP adalah yayasan yang mengadakan pelayanan di situ, dan mendirikan perusahaan untuk mendapatkan dana bagi kegiatan pelayanan mereka. Mereka mendirikan PT Rumeksa Mekaring Sabda, perusahaan yang bergerak dalam perkebunan kopi, cengkeh, buah-buahan, dan pemerahan susu.

"Hasil perusahaan ini untuk membiayai kegiatan pelayanan. Untuk tahun depan diusahakan seluruh pembiayaan dapat dicukupi dari perusahaan. Syukurlah, walaupun perusahaan belum mampu sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan, namun sumbangan donatur tetap ada," kata Manajer Operasional PT Rumeksa Mekaring Sabda Riyanto Budi Nugraha. Saat ini, jumlah penduduk Salib Putih sekitar 60 kepala keluarga. Sebagian besar warga di situ bekerja di PT Rumeksa.

Di lingkungan-lingkungan seperti ini, Natal selalu disambut dengan sederhana dan penuh kebersamaan. Lihat pula yang terjadi di Tuka, sekitar 15 kilometer barat daya Denpasar, Bali. Tuka adalah tempat persemaian awal Katolik di Bali pada tahun 1930-an. Dari sini pula kemudian ada perpindahan sebagian warga Katolik ke Palasari di Kabupaten Jembrana. Mereka adalah pindahan dari Tuka tahun 1939-1940.

"Tidak ada persiapan istimewa menyongsong Natal tahun ini. Kebetulan umat pada hari-hari belakangan ini disibukkan oleh kegiatan festival di lingkungan gereja," ujar Ignatius Wayan Rukmana, Ketua Dewan Paroki Tuka.

Meski demikian, seperti ditambahkan Wayan Rukmana, perayaan Natal di Tuka tetap dengan kekhasan tersendiri seperti biasa terjadi setiap tahun. "Kami akan mengawali perayaan Natal dengan penampahan," katanya. Penampahan adalah tradisi khas Bali, yakni pembunuhan sejumlah hewan piaraan menjelang hari raya keagamaan. Di lingkungan Hindu, penampahan biasanya dilakukan satu hari sebelum Galungan.

Komunitas-komunitas ini telah menjadikan Natal sebagai bagian hidup kebudayaan mereka sehari-hari. Di Tuka, nuansa Natal ditandai dengan hiasan berupa penjor, yakni hiasan janur atau daun lontar pada tiang bambu yang melengkung.

Di Gubug Selo Merapi di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, tempat paroki asuhan Romo V Kirjito dengan Paroki Santa Maria Nurdes-nya, hiasan Natal bukan pohon yang asing, melainkan daun pisang. Kata Mbah Atmo Pawiro (87), penduduk di situ, "Sekarang Natal di gereja tidak pakai pohon Natal lagi, tetapi gereja dihias dengan daun pisang."

Tradisi tukar kado? Mbah Atmo tertawa. "Tidak pernah ada tukar kado. Di rumah juga tidak pernah dipasang pohon natal."

Sementara di Gereja Somohitan di Turi, pohon natal dibuat dari susunan daun-daun salak-tanaman yang menghidupi mereka selama ini.

Iman tampaknya tak hanya membutuhkan "penyerahan"-apalagi penyerahan dalam konsumerisme-tetapi juga kesederhanaan dan kreativitas. (Y05/J04/J05/Y08/J02/ANS)

No comments: