Dulu tahun 1994, pertama kali aku ke Bali sebagai orang Vayatour, ada satu joke yang dilempar oleh rekan orang pariwisata Bali..
Pak, orang Bali udah ga bisa nyanyi lagi lagu nasional Indonesia Tanah Airku..
Kenapa?
Tanah di Bali udah milik orang Jakarta
Air minum mesti minum Aqua...
hehehehe...he
Black Jokes, memang. Tapi kenyataan gitu tuh. Termasuk saya sendiri yang pengen punya tanah di Bali utk hari tua. Ada kwetiau Medan, ada nasi Padang, sampai ke masakan exotis apapun dari pojok dunia lain.
Kenapa?
Bali memang memberikan rasa aman. Itu yang utama.
Masyarakatnya relatif open dan tidak picik seperti dikebanyakan propinsi lain.
Tentu juga insentif ekonomisnya.
Pasar di Bali sudah tercipta utk industri utamanya. Juga dengan demikian untuk industri yang terimbas efek multiplier dari situ. Industri pendukung, pasar secara luas.
Uang yang beredar disana hard currencies.
Walau ya emang sih kebanyakan hotel majoritas dimiliki orang Jakarta dan orang asing yang melihat Bali sebagai mata. Mata pencaharian hehehhe..he..
Jadi artikel dibawah ini ga heran kalau pembangunan di Bali compang camping, ruko dimana mana salah satu gejala yang nampak sebagai indikasi sederhana...
Kompas,Kamis, 23 Desember 2004
Pengembangan Pariwisata Bali Cenderung Tidak Terkendali
Denpasar, Kompas - Sebagai salah satu tujuan wisata dunia yang berkembang pesat dalam kurun 20 tahun, sejak 1980 hingga 2000, Bali ternyata belum memiliki rencana induk (master plan) pengembangan pariwisata Bali yang menyeluruh dan komprehensif.
Hingga saat ini, kebijakan pengembangan pariwisata Bali masih banyak mengandalkan hasil kajian konsultan Perancis SCETO yang dibuat lebih dari 30 tahun lalu. Implikasinya, pembangunan fisik fasilitas pariwisata di Bali cenderung sporadis dan tidak terkendali, bahkan ada kesan mengabaikan kaidah ekologi, sosial, dan budaya Bali.
Demikian mengemuka dalam semiloka sehari Pemantauan Kajian Master Plan Pariwisata Bali, yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bersama Pemerintah Provinsi Bali di Sanur, Denpasar, Selasa (21/12). Semiloka ini dibuka langsung Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.
Satu dari tiga pembicara dalam semiloka, yaitu Ketua Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kepariwisataan Universitas Udayana Bali Dr Ir Agung Suryawan Wiranatha MSc menyatakan, Bali belum memiliki acuan khusus pengembangan pariwisata selain kajian SCETO tahun 1971.
Di sisi lain, beberapa peraturan daerah terkait pembangunan pariwisata Bali, di antaranya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya dan Perda No 4/1996 tentang Rencana Umum Tata Ruang Bali yang telah diamandemen Perda No 4/1999, dinilai belum dapat dijadikan acuan khusus arah pengembangan kepariwisataan Bali.
"Untuk penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Bali ke depan, beberapa ide hasil kajian SCETO tersebut layak untuk dipertimbangkan kembali untuk diimplementasikan, walaupun data pendukungnya sudah tidak up to date lagi," papar Suryawan.
Jenuh
Berdasar kajian SCETO tahun 1971, Bali hingga tahun 1980 diperkirakan hanya membutuhkan 4.800 kamar hotel bertaraf internasional di tiga lokasi di Bali selatan, yaitu Nusa Dua (3.000 kamar), Sanur (1.000 kamar), dan Kuta (800 kamar). Sementara dari prediksi tim peneliti, industri pariwisata di Bali hingga tahun 2010 hanya perlu sekitar 34.000 kamar hotel. Namun, pada tahun 2004 ini total kamar hotel di seluruh Bali sudah lebih dari 36.000 kamar.
Di pihak lain, pembangunan dan investasi di Bali diakui lebih banyak terfokus pada pengembangan kawasan Bali selatan. Akibat ketimpangan tersebut, kabupaten-kabupaten lain di luar wilayah Bali selatan juga berlomba-lomba membangun wilayahnya dan terkesan mengabaikan aspek pembangunan berkelanjutan.
Dalam sambutannya, yang dibacakan Asisten II Sekretaris Daerah Pemprov Bali, Gubernur Bali menyampaikan keinginan dan dukungan Pemerintah Provinsi Bali atas penyusunan rencana induk pengembangan pariwisata Bali.
Senada dengan itu, Menbudpar Jero Wacik mengungkapkan, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menyiapkan dana demi membantu penyusunan rencana induk tersebut. "Untuk pertama, sekitar Rp 1,2 miliar yang dapat digunakan untuk pengkajian dan review. Kami harapkan pertengahan tahun depan sudah ada hasilnya," ujar Jero Wacik. (COK)
Pak, orang Bali udah ga bisa nyanyi lagi lagu nasional Indonesia Tanah Airku..
Kenapa?
Tanah di Bali udah milik orang Jakarta
Air minum mesti minum Aqua...
hehehehe...he
Black Jokes, memang. Tapi kenyataan gitu tuh. Termasuk saya sendiri yang pengen punya tanah di Bali utk hari tua. Ada kwetiau Medan, ada nasi Padang, sampai ke masakan exotis apapun dari pojok dunia lain.
Kenapa?
Bali memang memberikan rasa aman. Itu yang utama.
Masyarakatnya relatif open dan tidak picik seperti dikebanyakan propinsi lain.
Tentu juga insentif ekonomisnya.
Pasar di Bali sudah tercipta utk industri utamanya. Juga dengan demikian untuk industri yang terimbas efek multiplier dari situ. Industri pendukung, pasar secara luas.
Uang yang beredar disana hard currencies.
Walau ya emang sih kebanyakan hotel majoritas dimiliki orang Jakarta dan orang asing yang melihat Bali sebagai mata. Mata pencaharian hehehhe..he..
Jadi artikel dibawah ini ga heran kalau pembangunan di Bali compang camping, ruko dimana mana salah satu gejala yang nampak sebagai indikasi sederhana...
Kompas,Kamis, 23 Desember 2004
Pengembangan Pariwisata Bali Cenderung Tidak Terkendali
Denpasar, Kompas - Sebagai salah satu tujuan wisata dunia yang berkembang pesat dalam kurun 20 tahun, sejak 1980 hingga 2000, Bali ternyata belum memiliki rencana induk (master plan) pengembangan pariwisata Bali yang menyeluruh dan komprehensif.
Hingga saat ini, kebijakan pengembangan pariwisata Bali masih banyak mengandalkan hasil kajian konsultan Perancis SCETO yang dibuat lebih dari 30 tahun lalu. Implikasinya, pembangunan fisik fasilitas pariwisata di Bali cenderung sporadis dan tidak terkendali, bahkan ada kesan mengabaikan kaidah ekologi, sosial, dan budaya Bali.
Demikian mengemuka dalam semiloka sehari Pemantauan Kajian Master Plan Pariwisata Bali, yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bersama Pemerintah Provinsi Bali di Sanur, Denpasar, Selasa (21/12). Semiloka ini dibuka langsung Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.
Satu dari tiga pembicara dalam semiloka, yaitu Ketua Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kepariwisataan Universitas Udayana Bali Dr Ir Agung Suryawan Wiranatha MSc menyatakan, Bali belum memiliki acuan khusus pengembangan pariwisata selain kajian SCETO tahun 1971.
Di sisi lain, beberapa peraturan daerah terkait pembangunan pariwisata Bali, di antaranya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya dan Perda No 4/1996 tentang Rencana Umum Tata Ruang Bali yang telah diamandemen Perda No 4/1999, dinilai belum dapat dijadikan acuan khusus arah pengembangan kepariwisataan Bali.
"Untuk penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Bali ke depan, beberapa ide hasil kajian SCETO tersebut layak untuk dipertimbangkan kembali untuk diimplementasikan, walaupun data pendukungnya sudah tidak up to date lagi," papar Suryawan.
Jenuh
Berdasar kajian SCETO tahun 1971, Bali hingga tahun 1980 diperkirakan hanya membutuhkan 4.800 kamar hotel bertaraf internasional di tiga lokasi di Bali selatan, yaitu Nusa Dua (3.000 kamar), Sanur (1.000 kamar), dan Kuta (800 kamar). Sementara dari prediksi tim peneliti, industri pariwisata di Bali hingga tahun 2010 hanya perlu sekitar 34.000 kamar hotel. Namun, pada tahun 2004 ini total kamar hotel di seluruh Bali sudah lebih dari 36.000 kamar.
Di pihak lain, pembangunan dan investasi di Bali diakui lebih banyak terfokus pada pengembangan kawasan Bali selatan. Akibat ketimpangan tersebut, kabupaten-kabupaten lain di luar wilayah Bali selatan juga berlomba-lomba membangun wilayahnya dan terkesan mengabaikan aspek pembangunan berkelanjutan.
Dalam sambutannya, yang dibacakan Asisten II Sekretaris Daerah Pemprov Bali, Gubernur Bali menyampaikan keinginan dan dukungan Pemerintah Provinsi Bali atas penyusunan rencana induk pengembangan pariwisata Bali.
Senada dengan itu, Menbudpar Jero Wacik mengungkapkan, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menyiapkan dana demi membantu penyusunan rencana induk tersebut. "Untuk pertama, sekitar Rp 1,2 miliar yang dapat digunakan untuk pengkajian dan review. Kami harapkan pertengahan tahun depan sudah ada hasilnya," ujar Jero Wacik. (COK)
No comments:
Post a Comment