02 February 2005

Cerita Pengungsi Aceh di Gang Metal

SUARA PEMBARUAN DAILY
Cerita Pengungsi Aceh di Gang Metal

DI mulut gang itu tampak banyak mobil berjajar. Dari mobil-mobil itu diturunkan berbagai barang sumbangan berupa mi instan, beras, pakaian layak pakai, air dalam kemasan, makanan kaleng, dan banyak lagi. Ada pula yang membawa sayur-mayur dan buah-buahan segar.

Di sebuah bangunan rumah yang telah "disulap" menjadi ruang administrasi penerimaan sumbangan merangkap pos kesehatan, relawan mencatat jenis dan jumlah sumbangan, serta memberi tanda terima kepada penyumbang.

Gang Metal 5 di kawasan Pecinan Medan, sejak lama dikenal sebagai "kamp konsentrasi" pengungsi warga keturunan Tionghoa dari Aceh. Pada tahun 1965-1966, ketika Pemerintah menumpas G30S, warga mengambil kesempatan untuk mengusir penduduk keturunan Tionghoa dari Tanah Rencong. Penjarahan dan pembunuhan terjadi.

Kaum etnis Tionghoa lari meninggalkan Aceh. Di Medan, mereka kebanyakan bermukim secara mengelompok di Gang Metal 5. Setelah pergolakan etnis berlalu, sebagian kembali ke Aceh, sebagian menetap di Gang Metal 5, dan sebagian lagi merantau ke tempat-tempat lain.

Sekarang, warga Gang Metal 5 menunjukkan solidaritas mereka dengan menyediakan "asrama" untuk menampung kaum etnis Tionghoa yang mengungsi dari daerah bencana tsunami di Aceh. Korban bencana politik menolong korban bencana alam!

Beberapa di antara mereka bahkan secara sukarela menunggu para pengungsi di Bandara Polonia, Medan. Bila melihat pengungsi etnis Tionghoa tidak dijemput keluarga, mereka segera menawarkan tempat penampungan di Gang Metal 5. Para pengungsi lain diantar ke penampungan pengungsi terdekat, atau keluarga mereka masing-masing.

Murung

Di dekat dapur umum, Chin Tjao Tek (88), tampak duduk murung sambil menunggu makan siang yang sebentar lagi dibagikan. Jatah makan tiga kali sehari, tempat tidur yang cukup nyaman di salah satu rumah penampungan, dan pemberian pakaian layak pakai yang tinggal pilih sesuai selera dan ukuran, rupanya belum membuatnya mampu menghapus nestapa.

"Cucu yang dititipkan kepada saya hilang," kata perempuan tua itu, pilu.

Ketika gelombang datang, ia lari membawa cucunya. Tetapi, air sedemikian deras, sehingga cucunya terlepas dari pegangan. Ia sendiri beberapa kali terantuk kayu besar, seng, dan puing bangunan lainnya, serta timbul-tenggelam dalam air bah yang hitam kotor.

Di depan Masjid Al Huda ia diselamatkan orang dan dibawa ke lantai yang tinggi. Ia selamat. Tetapi, tatapannya masih kosong bila bicara tentang cucunya yang hilang. "Untungnya", tidak ada yang menuntut sang nenek atas hilangnya sang cucu karena anak-menantunya pun semua hilang dalam musibah itu.

"Kampung Mulia dan Kampung Laksana musnah semua," kata Oei Mi Hang. Kedua kampung itu, kata perempuan itu, terletak di belakang Gereja Methodist di Banda Aceh, dan kebanyakan dihuni warga etnis Tionghoa.

Chow Fong Jiao, semula juga tinggal di Kampung Laksana, Banda Aceh. Perempuan berumur 55 tahun itu beruntung bisa lari ke lantai tiga rumahnya ketika air bah tiba-tiba memenuhi lantai satu rumahnya.

Dapur umum sudah buka! Antrean segera terbentuk. Siang itu lauknya sup sayur, empal, dan dua macam sayur. Nasi hangat mengepul dengan bau harum. Para pengungsi makan sambil duduk mengitari meja-meja panjang yang diatur di dekat dapur umum.

Dari sudut lauk-pauk dan ketertataan, dapur umum itu sangat berbeda dengan dapur umum yang terlihat di Kampung Syiah Kuala dan Darussalam, Banda Aceh, dua hari sebelumnya. Di sana mereka hanya mendapat nasi dengan mi instan yang dimasak pedas sebagai lauk. Mereka makan sambil berdiri atau duduk di mana saja di dekat dapur lapangan itu.

Dapur umum di Gang Metal 5 itu terletak di depan sebuah "gudang" sembako, bangunan yang sengaja dikosongkan untuk menampung semua barang sumbangan.

Karung beras dan kotak mi instan menumpuk hingga tinggi. Solidaritas masyarakat menampilkan wujud nyata setelah bencana gempa dan tsunami Aceh ini.

Mengejutkan melihat seorang pria yang tampak berdandan rapi, lengkap dengan ponsel PDA tergantung di pinggang, ikut mengambil jatah sembako dari gudang. Adik perempuannya yang memakai giwang berlian pun ikut mengangkut dus mi instan dan biskuit.

Mereka memang ternyata pengungsi dari Meulaboh. Tetapi, dengan kekayaan yang tampaknya cukup mereka miliki, mengapa pula tidak bisa mandiri, dan malah ikut berebut jatah sembako yang sebetulnya lebih menjadi hak yang kurang mampu?

Tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan setengah baya sedang memarahi anak perempuan berumur sekitar 5 tahun. "Dengar! Kamu tidak boleh keluar sendirian dari gedung ini, ya? Kalau lapar, bilang sama tante, atau sama tante-tante lain yang di meja panitia itu, ya?"

Anak perempuan itu rupanya baru saja keluar dari rumah pengungsian, mengejar tukang es. Ayah-ibunya hilang dalam bencana. "Semua ibu-ibu di sini menganggap dia anak kami, dan kami jaga baik-baik," kata Cik A Hua, seorang pengungsi Aceh yang sejak 1965 bermukim di Medan, dan kini menjadi salah seorang "panitia" tempat pengungsian di Gang Metal 5.

Bukan Jual-Beli

Malamnya, A Hua mengantar ke Gang Pendidikan, tempat penampungan bagi pengungsi anak-anak, tak jauh dari Gang Metal 5. Ia memperkenalkan dengan beberapa perempuan yang sudah kehilangan suami mereka dalam bencana tsunami. Wong Li Yun (38), semula beralamat di Jalan Perwira II, Banda Aceh. Ketika terjadi bencana, suaminya sedang keluar sebentar, dan tak pernah kembali lagi.

Wong membawa kelima anaknya - berumur 4, 5, 6, 9, dan 11 tahun - mengungsi ke Medan. Ia kelihatan sangat kebingungan dan kehilangan pengharapan. Menurut A Hua, tadi pagi Wong Li Yun hampir saja menyerahkan salah satu anaknya kepada orang tak dikenal yang ingin mengadopsi. Untung, anaknya berontak dan menangis keras-keras, sehingga adopsi kilat itu batal terjadi.

Fenomena seperti itulah yang tampaknya langsung menjadi isu "jual-beli" anak pengungsi. Sebetulnya yang terjadi adalah kondisi terdesak dari pihak si ibu yang buntu pemikirannya karena musibah yang mendadak membuat mereka kehilangan safety net dan support system mereka.

Ida (23), sedang hamil tujuh bulan, ketika harus kehilangan suami, ayah, dan ibunya, digulung gelombang tsunami di daerah Lampulo. Ia tampak sangat penakut, pemalu, dan tak percaya pada sembarang orang. Ia tak mau bicara kecuali lewat A Hua - mungkin sekali juga karena ia tidak bisa berkomunikasi dengan baik dalam bahasa di luar dialeknya sehari-hari.

Masih tampak ragu-ragu ia menerima sekadar uang untuk mempersiapkan kelahiran bayinya. Mudah-mudahan pemberian itu membangkitkan kepercayaannya bahwa akan selalu ada orang yang bersedia membantunya.

A Hua kemudian mengantarkan ke dua rumah penampungan untuk pengungsi anak-anak. Rumah pertama dihuni lebih-kurang tujuh keluarga. Terlihat belasan anak kecil yang rata-rata telah menjadi yatim piatu.

Kasur tipis digelar di lantai untuk tempat tidur mereka. Tak ada perabotan lain. Sandang dan pangan terpenuhi. Tetapi, kebutuhan bermain belum tercukupi. Rombongan relawan serta-merta menyetujui membelikan sebuah televisi, agar mereka dapat sedikit terhibur.

Demikian pula ketika melihat beberapa di antara mereka belajar di lantai, segera saja terlontar janji membelikan meja belajar bagi mereka.

Di rumah penampungan kedua, tampak gambaran yang sama. Beberapa anak berbaring telungkup mengerjakan pekerjaan rumah di lantai. Mereka pun dijanjikan mendapatkan televisi dan meja belajar.

A Sin (18), berasal dari Kampung Laksana, Banda Aceh, menceritakan bagaimana ia mengungsi dari kota kelahirannya. "Kami naik Hercules TNI AU. Tidak bayar. Antre saja. Begitu cukup 80 orang, kami diterbangkan ke Medan."

Keterangan A Sin itu meyakinkan siapa pun yang mendengarnya, bahwa sebenarnya cerita "pemerasan" bagi warga Tionghoa yang mengungsi tidaklah benar. Kalaupun ada insiden seperti itu di sana-sini, tetap merupakan kekecualian. Bukan gambaran umum.

Ketika malam telah larut dan harus meninggalkan tempat itu, sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul di benak. Mengapa di sini tampak seolah-olah kaum etnis hanya menolong sesama mereka?

Namun, sesungguhnya, kenyataannya tidaklah demikian. Secara nasional terbukti, kaum etnis Tionghoa memberi sumbangan signifikan kepada korban bencana - sama sekali tanpa memandang etnisitas. Pada tataran kenyataan di lapangan, pengungsi etnis Tionghoa bahkan "tidak diterima" - setidaknya, "merasa tidak diterima" - di tempat-tempat pengungsian umum.

Barak-barak pengungsian ternyata tidak bersifat inklusif bagi warga keturunan Tionghoa. Ada banyak kesenjangan yang akhirnya membuat mereka harus menerima kenyataan bahwa dalam malapetaka kemanusiaan pun mereka tidak setara dengan yang lain.

Potret pengungsi di Gang Metal 5 dan Gang Pendidikan Medan adalah gambaran memilukan dari kenyataan kebangsaan kita. Mengapa dalam situasi bencana pun warga etnis Tionghoa tidak berbaur dengan warga lainnya? Apakah karena tidak diterima oleh penduduk, atau sebaliknya?

Tak ada keberanian mengambil kesimpulan. Hanya tercatat satu tekad besar, mereka akan segera kembali ke Aceh dan memulai hidup baru. Esok masih ada matahari di Aceh!

LINDA WIDJAJA Relawan untuk Aceh, tinggal di Jakarta.

Last modified: 25/1/05

No comments: