01 February 2005

Hypermarket tunggu peraturan yang pas


Ritel
Selasa, 01/02/2005
Hypermarket tunggu peraturan yang pas
Ada perubahan yang cukup signifikan dalam bisnis ritel di Indonesia dua tahun belakangan, yakni pesatnya pertumbuhan gerai ritel berukuran besar alias hypermarket. Model gerai ini dipilih karena memungkinkan pengelolanya menawarkan barang dalam jumlah yang lebih banyak plus kelegaan dan kenyamanan berbelanja yang memuaskan.

Dulu, sebelum merebaknya gerai hypermarket, masyarakat sudah cukup akrab dengan istilah waserba atau toserba. Semua serba ada. Keserbaadaan ini dapat ditemui di tengah masyarakat dalam bentuk minimarket atau pun supermarket.

Karena tidak meratanya pembangunan, makna serba ada di atas, bagi sebagaian besar rakyat Indonesia mungkin identik dengan minimarket atau gerai ritel yang dikelola secara modern. Tapi bagi mereka yang tinggal di kota besar, sesungguhnya konsep serba ada ini telah mengalami pergeseran makna.

Tak dapat dibantah, manusia memang makhluk yang mengenal kepuasan. Inilah yang dimanfaatkan oleh para pelaku ritel untuk memutar modal dan meraih keuntungan. Segala taktik dan strategi disusun untuk memanfaatkan sifat dasar manusia yang selalu menginginkan sesuatu yang lebih. Konsep serba ada pun digeser dan diperlebar maknanya.

Ekstensifikasi

Hypermarket adalah bentuk ekstensifikasi dari kosep serba ada. Jika waserba menawarkan ratusan pilihan barang, maka hypermarket menawarkan ribuan jenis barang yang dapat dibeli. Tidak hanya itu, kepuasan dan kenyamanan berbelanja pun, serta harga menjadi daya tarik tersendiri di segmen ini.

Carrefour boleh dibilang merupakan pelopor di bisnis ini. Peritel asal Prancis ini masuk ke Indonesia 1998 dengan menggandeng PT Tiga Raksa Satria Tbk. Pada 2000 melakukan merger dengan Promodes yang merupakan induk perusahaan hypermarket Continent.

Keberadaan Carrefour di Tanah Air semakin mantap setelah Presiden Abdurrahman Wahid merilis Kepres No. 118/2000 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal.

Sebagai "pilot project" di bidang ritel hypermarket di Indonesia, Carrefour boleh dibilang berhasil melewati tahap uji coba. Kini paserba ini, tak hanya menguasai pangsa pasar ritel di daratan asalnya Eropa, tapi juga merajai bisnis eceran di negara lain, termasuk di Tanah Air.

Saat ini manajemen perusahaan ini menyebut gerainya yang ada di Indonesia sebagai paserba, pasar serba ada. Dengan luas gerai di atas 5.000 m2, Carefour memang layak disebut sebagai pasar. Semuanya ada di sana. Dari fast moving consumer goods atau barang kebutuhan sehari-hari, produk elektronik, sampai bunga berikut peralatan untuk berkebun juga dapat dibeli di sini.

Konsep serba ada dengan ekstensifikasi makna ini, pada tahap yang lebih awal sebenarnya sempat diterapkan peritel lain, meski dengan manajemen yang sedikit berbeda. Sebut saja misalnya Makro yang menerapkan sistem membership untuk konsumennya atau Pusat Perkulakan Goro yang kini sudah tidak beroperasi lagi. Dalam kurun waktu berikutnya, terdapat Clubstore, Alfa Gudang Rabat, Giant atau Hypermart.

PT Matahari Putra Prima Tbk nampaknya cukup serius untuk bermain di segmen ini. Buktinya setelah mengorperasikan empat Hypermart pada 2004, tahun ini perseroan ini berecana akan membuka 10 gerai baru. Bahkan peritel dengan omzet terbesar di Tanah Air ini telah menyiapkan dana sekitar Rp600 miliar untuk membuka 50 Hypermart selama tiga hingga lima tahun.

Carrefour di segmen hypermarket hingga akhir 2004 memang masih memimpin dengan mengoperasikan 15 gerai. Namun tidak tertutup kemungkinan dengan ambisi dan keseriusan "pendatang baru" di segmen hypermarket, peritel Prancis ini akan tergeser. Yang pasti, industri ritel masih terbuka lebar untuk sebuah persaingan memperebutkan minat belanja 220 juta rakyat Indonesia.

Keniscayaan bisnis

Dengan makin banyaknya jumlah pemain di segmen hypermarket, persaingan nampaknya akan menjadi keniscayaan bisnis. Masyarakat atau konsumenlah yang akan menikmati sejumlah raksasa ritel yang berseteru. Namun di sisi lain, perseteruan di kelas pasar modern ini, secara perlahan akan membuat sekarat peritel di tempat lain misalnya toko modern semacam minimarket. Yang lebih mengenaskan adalah pedagang di pasar tradisional yang hampir semua barang dagangannya juga dijual di hypermarket.

Tak berlebihan kiranya jika Asosiasi Pedagang Pasar Tradisioanal Seluruh Indonesia (APPSI) berteriak meminta pemerintah hentikan pengeluaran izin pembangunan hypermarket. Pasalnya, sangat tidak mungkin bersaing meningkatkan omzet.

Merintih dalam ketidakberdayaan, mengeluh dan protes adalah sesuatu yang saat ini masih dapat dilakukan oleh pedagang pasar tradisional atau pun pemasok yang selama ini ditekan agar memberikan harga murah kepada pengelola hypermarket. Sementara nampaknya show must go on. Persaingan antarpemain hypermarket masih akan terus berlanjut seiring dengan tidak adanya sikap politik yang tegas dari pemerintah untuk mengatur persoalan ini.

Banyak kalangan berharap pemeritahan baru SBY-Kalla mampu menelorkan kebijakan yang win-win solution bagi masyarakat yang berebut kepentingan, seperti peritel modern dengan peritel tradisional atau peritel modern vis a vis pemasok yang selama ini merasa ditekan.

Sempat beredar draf kepres tentang penataan dan pembinaan pasar modern dan toko modern yang juga menyinggung tentang hypermarket. Tatkala semua pihak meminta hypermarket agar dibangun diluar pinggiran kota, rancangan peraturan ini justru melarang pembangunannya di wilayah kabupaten/ kota di luar ibukota provinsi. Sebuah rancangan kebijakan yang bertentangan dengan commonsense.

Sebagai keniscayaan, persaingan bisnis di segmen hypermarket pasti tak dapat dibendung. Agar perseteruan ini terjadi di "arena" yang tepat tanpa ada pihak lain yang dirugikan, pemerintah diharapkan dapat mengeluarkan kebijakan yang tepat dan applicable.

  • Ahmad Muhibbuddin
  • © Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.

    No comments: