Kepak China bagi Kepentingan Asia
China bukan hanya pemain lain. Negara ini adalah pemain paling besar dalam sejarah umat manusia," kata Menteri Mentor Singapura Lee Kuan Yeuw.
China telah berubah dan membentuk berbagai kemitraan dengan setiap negara besar di dunia. Kemitraan ini semakin dikembangkan di abad 21. Bahkan, China dengan jumlah penduduk 1,3 miliar lebih yang menjadi negara berkembang terbesar di dunia yang secara agresif mengembangkan hubungan dengan setiap negara besar.
Menyitir kata-kata ahli filsafat besar Romawi, Seneca; "Bagian terbesar dari kemajuan adalah hasrat untuk maju". Kemauan serta kekuatan untuk berubah menjadikan China besar di masa lalu dan juga membedakan negara ini dari yang lain di abad ke-21. China saat ini mampu membuat birokrasi pemerintahan yang lebih ramping, pemberantasan korupsi, pembukaan yang dipercepat terhadap Barat, dan sikap mendorong pertumbuhan perekonomian swasta yang lebih eksotik. Secuil fakta itu hanyalah beberapa contoh perubahan yang bisa diambil dari arah baru yang diambil oleh China.
China telah berhasil melakukan berbagai perubahan ekonomi dan sosial secara mendasar sehingga mengubah negeri dengan 1,3 miliar penduduk memiliki citra yang menakjubkan. Populasi penduduknya yang padat dan kekuatan ekonominya yang besar, memosisikan China untuk menjadi negara yang bisa memainkan peran khusus dalam perekonomian dunia. China sudah menikmati peringkat yang mantap di antara negara industri maju di dunia. Negeri ini akan menjadi semakin kuat dan pesaing besar bagi negara maju, apalagi bagi negara berkembang, seperti Indonesia, setelah resmi menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun lalu.
Bahkan, China pada tahun-tahun mendatang akan menjadi negara penting atau salah satu pemimpin Asia untuk berhadapan dengan negara-negara maju. Posisi China menjadi sangat strategis bagi kepentingan ekonomi Asia dalam menghadapi persaingan, perundingan, serta tekanan perdagangan dari negara-negara yang sudah maju.
SEJUMLAH fakta menggarisbawahi bagaimana potensi China menjadi pemimpin Asia dan salah satu raksasa ekonomi baru di Asia. Terbukti dari tahun 1996 hingga 1999, perekonomian China tumbuh rata-rata di atas delapan persen per tahun. Bahkan pada tahun 2003, China mampu menunjukkan prestasinya yang gemilang di bidang ekonomi sehingga berbagai pemilik industri di dunia, termasuk Jepang terpaksa masuk ke China. Para pemain ini ingin memanfaatkan China sebagai basis produksi mereka untuk mengisi pasar Eropa, Amerika Serikat, maupun Asia Tenggara.
Dengan demikian, bermitra dengan China seolah menjadi keharusan, ketimbang mati terinjak-injak di tengah pertempuran. Para produsen manufaktur dari berbagai negara di dunia sadar bahwa mereka tidak mungkin mengandalkan produk yang dihasilkan dari negaranya-meskipun pasokan bahan baku maupun komponennya diimpor dari China-untuk masuk ke pasar global. Para pemain ini pasti mati dilindas China.
Ketakutan dari para pemain dunia inilah yang akhirnya membuat China mampu mengalami pertumbuhan ekonomi yang fantastis. Semua negara industri berlomba menanamkan investasinya di China untuk membangun industri perakitan, komponen, industri otomotif, baja, makanan, hingga ke industri semikonduktor yang menjadi salah kunci kemajuan sebuah negara. Tak ada lagi persoalan nasionalisme di sana. Mereka masuk dengan kesadaran penuh untuk mencapai tingkat efisiensi yang maksimal.
Hasilnya semua indikator ekonomi China tumbuh positif. Data dari China State Securities Bureau menyebutkan, angka pertumbuhan China selama kuartal pertama 2004 mencapai 9,7 persen. Pertumbuhan investasi aktiva tetap pada kuartal pertama mencapai 43 persen, dan jumlah uang beredar atau M2 kuartal pertama mencapai 19,2 persen.
Perubahan pinjaman bank 12 bulan terakhir mencapai 21 persen, dan investasi langsung asing tahun 2003 mencapai 53,5 miliar dollar AS, sebuah angka yang fantastis. Konsekuensinya memang adalah memanasnya mesin perekonomian yang antara lain ditandai dengan tingkat inflasi yang tinggi.
Gambaran itu jelas menunjukkan bahwa angka pertumbuhan ekonomi China lebih mengesankan, ketimbang pertumbuhan ekonomi internasional. Lebih dari separuh dari seluruh investasi asing langsung yang dilakukan di Asia pada tahun 1998 hingga sekarang mengalir ke China. Akibatnya membuat beberapa negara Asia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, gigit jari. Terbukti dalam beberapa tahun terakhir jumlah proyek maupun nilai investasinya terus menurun. Industri elektronika tidak tumbuh maksimal. Indonesia bukan lagi mengarah menjadi produsen, tetapi sudah menjadi bagian dari kepentingan pasar global otomotif Eropa dan Jepang.
Tak ada industri mobil dan komponen yang ditumbuhkan besar-besaran di Indonesia. Bahkan, yang terjadi sebaliknya, para raksasa otomotif Indonesia yang dulunya agen tunggal pemegang merek, kini telah berubah posisi menjadi distributor. Peran produksi telah dimiliki oleh Jepang sendiri. Sebaliknya Toyota, maupun Suzuki berlomba membangun industrinya di China, dengan menggandeng perusahaan negara atau BUMN China. Harapannya barang dari China bisa lebih murah untuk masuk ke pasar Asia. Demikian juga investasi industri sepatu dan tekstil dan produk tekstil (TPT) juga ikut pindah ke China.
APABILA diukur prestasi ekonominya, China sekarang ini sudah menjadi salah satu pemimpin dunia. Tinggal persoalan waktu saja sebelum China menjadi negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Entah itu akan terjadi pada tahun 2015 atau pada tahun 2025. Kecenderungan ke arah itu sangat mungkin.
China ibarat negeri karet gelang yang bisa mengikuti gerak dari perkembangan dunia. Liat dan fleksibel mengikuti ritme situasi ekonomi dunia. Terbukti ketika krisis melibas Asia pada awal tahun 1998, China mampu mendemonstrasikan stabilitas ekonominya. Padahal, pada masa itu banyak negara lain di wilayah Asia yang mengalami kesulitan, termasuk Indonesia.
China mampu menerobos kesulitan itu karena berhasil melakukan perubahan struktural terhadap tata kelola ekonomi dan birokrasinya. Kebijakan fiskal, serta mata uangnya membantu memastikan bahwa peningkatan ekonomi domestiknya stabil, serta berkesinambungan.
Untuk mendongkrak agar pengusaha mereka tidak babak belur, China memiliki strategi insentif yang jitu. Strategi itu adalah menurunkan suku bunga pinjaman hingga tujuh kali sejak tahun 1996. Kebijakan itu tidak hanya berhasil mengangkat sektor industri China, tetapi juga menjadi insentif positif bagi investor asing dan sinyal yang jelas bagi konsumsi swasta.
Perkembangan yang luar biasa ini otomatis akan membawa konsekuensi yang tidak kecil bagi negeri itu sendiri.
Pertama, seberapa cepat China akan sukses membangun infrastruktur nasional yang mantap, yang melampaui pusat-pusat perkotaan. Ini akan menjadi faktor kunci yang menentukan tingkat pertumbuhan dari keseluruhan perekonomian negara ini.
Kedua, apakah China mampu menghadapi kemungkinan kelangkaan penyediaan infrastruktur yang memadai untuk kota kotanya yang berkembang pesat dalam waktu yang singkat. Apa pun argumentasinya, infrastruktur nasional China adalah kunci yang akan menentukan kecepatan pengembangan ekonomi negara ini.
Ketiga, yang paling penting adalah segmen infrastruktur, khususnya soal pasokan energi, sistem transportasi yang baik dan konsep-konsep lalu lintas intelijen untuk memastikan mobilitas manusia dan barang. Infrastruktur informasi dan komunikasi modern untuk pengiriman suara dan data. Kesadaran ini perlu karena dengan tingginya pertumbuhan ekonomi China otomatis kebutuhan energinya juga tinggi.
Menurut data, China mengonsumsi energi tiga kali lebih banyak daripada rata-rata yang dikonsumsi dunia-dan tujuh kali yang dikonsumsi Jepang- untuk tiap satu dollar AS produk domestik bruto yang dibukukan. China juga jauh lebih boros daripada negara-negara seperti Brasil dan Indonesia dalam pemakaian energi.
Oleh sebab itu, China sadar dan berusaha untuk dari model pembangunan yang boros energi ke model yang lebih ramah lingkungan. Energi yang dikonsumsi oleh produsen baja China rata rata sekitar dua kali lipat para pesaing di Jepang atau Korea. Hanya 5 persen dari gedung perkantoran dan tempat tinggal di China yang memenuhi standar konservasi energi minimal nasional. Keborosan China membawa dampak besar terhadap harga minyak dunia pada tahun 2004 karena saat ini China mengimpor 2,4 juta barrel per hari. Menjelang tahun 2030, departemen energi AS memperkirakan China harus mengimpor minyak untuk energinya 8,4 juta barrel per hari.
Hal itu yang mendorong Presiden China Hu Jian To menyusun rencana agar China lebih mengandalkan gas alam lebih dari 3 persen menjadi 10 persen sebelum tahun 2020. Tingkat efisiensi berbahan bakar gas dua kali lebih besar daripada turbin-turbin berbahan bakar batu bara. Kini dua pertiga bahan bakar yang dikonsumsi China adalah batu bara. Rencana itu juga termasuk membangun 30 reaktor nuklir baru.
APA yang bisa dimanfaatkan Indonesia dalam hubungan ekonomi dengan China? Banyak. Paling tidak Indonesia akan memperoleh manfaat maksimal dengan menjalin ekonomi atau membangun pasar bebas dengan China.
Dengan kondisi yang ada saat ini Indonesia benar-benar menjadi pasar bagi produk China. Pasar bagi TPT, sepatu, peralatan pertukangan, rumah tangga, komponen, elektronika, bahkan produk kayu. Belum lagi produk logam, mesin, dan kimia lainnya.
Naifnya, seluruh produk yang dihasilkan oleh China dan membanjiri pasar Indonesia itu sebagian besar bahan bakunya dari Indonesia. Hasil kekayaan alam Indonesia habis untuk memasok kebutuhan industri China, yakni kayu, minyak, karet, sawit, bahkan produk agroindustri lainnya.
Oleh sebab itu, menjalin Economic Patnership Agreement (EPA) atau menjajaki dalam kerangka kerja sama ekonomi, merupakan hal yang mendesak dilakukan saat ini. Paling tidak dengan adanya EPA ada payung yang saling menguntungkan bagi Indonesia. Paling tidak Indonesia tidak semata-mata dijadikan pasar bagi mereka karena hal itu bisa merusak ekonomi China sendiri. Paling tidak pengusaha China yang menjadi mitra pelaku bisnis Indonesia menjadi rugi.
Di sisi lain kerja sama itu akan menekan pencurian sumber bahan baku yang mengalir ke China untuk memperkuat industri mereka. Produk akhirnya masuk ke Indonesia jauh di bawah biaya produksi hasil dari industri di Indonesia. Bahkan, melalui EPA Indonesia bisa berbuat sebaliknya, yakni memanfaatkan pasar China dalam kondisi bisnis yang sebanding.
Misalnya untuk produk batu bara, minyak, gas, serta produk olahan kayu, karet dan sawit misalnya. Mengingat China kini berada dalam posisi yang terjepit, yakni sebagai negara pemburu minyak terbesar di dunia. Dengan adanya EPA paling tidak tak seluruhnya industri berbahan baku minyak dan kayu dibuat di negaranya, tetapi dibangun dengan mitranya di Indonesia.
Dengan demikian, peluang terciptanya lapangan kerja akan semakin besar. Sebagai gambaran saat ini dengan semakin bertambahnya kebutuhan energi, dan semakin berkembangnya perekonomian di China, semakin besar pula kebutuhan akan minyak, gas, batu bara dan listrik.
Paling tidak kini China menghabiskan 12,1 persen dari konsumsi energi yang ada di dunia, sedangkan AS menghabiskan 24 persen dan satu dasawarsa lalu naik 9 persen dari konsumsi energi yang ada di dunia. Dari adanya strategi modernisasi di China yang dilandasi pada akses ke pasokan energi yang berlimpah, antara lain industri dasarnya adalah baja, alumunium dan kimia yang sangat haus akan listrik dan batu bara. Pada tahun 2010 para analisis memperkirakan sekitar 56 juta mobil, antara lain minivan dan SUV, akan berkeliaran di jalan - jalan raya di China, lebih dari dua kali lipat dari angka sekarang
Dalam kurun waktu 10 tahun kemudian, tepatnya tahun 2020 permintaan minyak negara itu akan naik dua kali lipat, menjadi 11 juta barrel per hari dan konsumsi gas alam akan melonjak hampir tiga kali lipat, serta penggunaan batu bara akan tumbuh sebesar 76 persen, yaitu menjadi 2,4 miliar ton per tahun. Pada satu dasawarsa lalu China adalah negara pengekspor minyak. Tetapi kini China mengimpor 40 persen minyak mentahnya. Hal itu dikarenakan penurunan produksi di ladang minyak sebelah timur laut dekat Daqing dan Liaohe.
Pada bulan November lalu Dewan Negara menerbitkan garis-garis besar kebijakan energi baru hingga 2020 yang tujuannya adalah untuk mengamankan permintaan yang lebih banyak dari luar, mengurangi ketergantungan China terhadap batu bara, meningkatkan penggunaan gas alam secara dramatis, membangun lebih banyak pembangkit tenaga air di jaringan sungai negara itu, meningkatkan kualitas jaringan listrik, dan memacu pemakaian sumber tenaga surya dan angin.
Selama beberapa tahun Beijing telah berusaha mendaftarkan perusahaan-perusahaan minyak besarnya di bursa saham internasional untuk mempererat ikatan dengan produsen energi luar. Penawar saham perdana PetroChina Co, sebuah unit Petroleum Corp, pada 2000 menghasilkan dana sekitar 3 miliar dollar AS dari seluruh dunia. BP PLC dengan segera menelan 20 persen dari saham yang ditawarkan, walau kemudian dijual lagi tahun ini. ExxonMobil dan Royal Dutch/ Shell membeli sebagian saham Sinopec, raksasa pengilangan dan distribusi China dan Shell membeli sebagian kepemilikan di CNNOC Ltd.
Berbagai gambaran di atas merupakan indikator bagaimana sepak terjang China dalam perekonomian dunia. Tinggal bagaimana negara-negara di Asia dan Afrika memanfaatkan China sebagai tameng untuk berhadapan dengan Eropa dan AS dalam perundingan perdagangan dunia. Di sisi lain sampai sejauh mana Asia Tenggara, khususnya Indonesia mampu memanfaatkan China sebagai mitra strategis dalam kepentingan bisnis dan memanfaatkan sumber kekayaan alamnya untuk membuat negeri ini makmur dan mencetak lapangan kerja yang besar. Bagi China siapa pun akan menjadi kawan terbaik mereka, selama kerja sama itu mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi upaya Pemerintah China untuk ikut mengamankan kebijakan mereka mengelola rakyatnya yang mencapai 1,3 miliar. Selama itu bisa mereka dapatkan, maka China akan menjadi patner yang harmonis. (BANU ASTONO)
No comments:
Post a Comment