Kuda Terbang Itu Bernama China dan India
Kompas 20 April 05
KONFERENSI Asia-Afrika di Bandung, 50 tahun silam, mengakui betapa pentingnya mempromosikan pembangunan ekonomi dan kerja sama ekonomi di kawasan ini. Bahkan, dalam dokumen komunike final konferensi, masalah kerja sama ekonomi ditorehkan pada bagian depan.
VISI jauh ke depan para pemimpin bangsa di kedua benua akan pentingnya kerja sama ekonomi sesungguhnya sudah tersemaikan dari sana. Asia dan Afrika pada saat itu boleh dikata masih sangat miskin. Paling tidak, banyak negara di kedua benua ini yang baru saja merdeka, seperti Indonesia. Bahkan sejumlah besar bangsa masih berjuang untuk lepas dari penjajahan bangsa lain.
Kini, 50 tahun kemudian setelah konferensi yang sangat historis dan heroik itu, hampir semua bangsa Asia dan Afrika sudah mengenyam kemerdekaannya, dalam arti mengatur diri sendiri, tidak diperintah bangsa lain lagi. Namun, pertanyaan yang tersisa adalah apakah bangsa-bangsa di Asia dan Afrika memang benar-benar telah berdaulat secara ekonomi? Rasanya belum. Umumnya negara di kawasan ini masih dibelit utang karena sebagian dikorupsi, baru sisanya digunakan untuk membangun.
Tidak bisa dimungkiri, tingkat kesejahteraan-yang berarti sumbunya adalah ekonomi- bangsa-bangsa di Asia dan Afrika sangatlah beragam. Mulai yang termasuk jajaran negara terkaya sampai yang termiskin di atas planet Bumi ini. Ada Jepang (Asia) yang termasuk negara kaya G7 bersama Amerika Serikat dan Kanada di Benua Amerika, ada Italia, Inggris, Jerman, dan Perancis yang mewakili Benua Eropa. Sementara di sisi lain ada Timor Timur yang baru saja merdeka.
Jepang memang melaju dalam segala hal pascaperang. Ekonominya melesat bagai roket, meninggalkan negara Asia lainnya. Tak ubahnya kereta api Shinkanzen yang bisa melaju dengan kecepatan tinggi, 450 kilometer per jam, itu. Sementara ekonomi negara lain hanya mampu melaju seperti mobil. Akan tetapi, Shinkanzen tersebut kemudian mogok di tengah jalan, mesin pertumbuhan ekonominya mandek.
Karena itu, banyak ahli ekonomi Jepang sendiri yang tak kurang pedasnya mengkritik kebijakan ekonomi Jepang. Seharusnya, Jepang menarik semua kereta ekonomi di sekitarnya untuk bergerak dalam kecepatan terukur. Dengan demikian, ketika Jepang harus "melempar" produknya ke luar negeri, negara sekawasannya sudah siap menerimanya karena daya beli di negara sekawasan itu sudah mampu menyerap produksi Jepang tersebut. Sebaliknya, kalau penguasaan teknologi negara sekawasan tidak terpaut jauh, maka ketika Jepang memerlukan produk dari negara sekawasan, hal itu tidak lagi menjadi persoalan yang menyusahkan Jepang dan menyulitkan mitranya.
Lupakanlah kesalahan Jepang! Kini di kawasan Asia tumbuh dua calon raksasa ekonomi dunia, yakni China dan India, yang saat ini menikmati pertumbuhan ekonomi jauh di atas rata-rata negara mana pun di dunia. China baru saja dilaporkan sudah menempatkan diri sebagai negara pengekspor produk terbesar ketiga dunia setelah Amerika Serikat dan Jerman. China sudah mengalahkan Jepang. Demikian pula India yang cukup fenomenal dengan perkembangan teknologi informasi dan sumber daya manusianya, yang telah menjadi sumbu utama perekonomian mereka.
TIDAK salah kiranya kalau mantan perdana menteri yang kini menjadi Menteri Senior Singapura Goh Chok Tong, beberapa waktu lalu di Jakarta, melukiskan China dan India sebagai kuda terbang. Penilaian Goh Chok Tong itu bukanlah asal bunyi. Dia termasuk tokoh yang turut merasakan "pahitnya" memimpin suatu perekonomian yang limbung dihantam badai krisis ekonomi Asia sejak tahun 1997, yang masih terasa dampaknya sampai kini.
Ketika tampil dalam acara CEO Circle di Jakarta itu, Goh Chok Tong memang hanya berbicara dalam konteks ASEAN. "Bagaimana negara-negara ASEAN dapat makmur bersama dengan mengikat tali kendali kereta pada dua kuda, yaitu China dan India," ujarnya.
Sampai tahun 1997, prospek ASEAN sangatlah cerah. Wilayah ini dilihat sebagai wilayah yang sangat dinamis di dunia. Investasinya membanjir dan ekonominya maju dengan pesat. Reputasi internasional ASEAN sangatlah tinggi. "ASEAN dianggap sebagai contoh organisasi regional," kata Goh Chok Tong.
Akan tetapi, puja-puji dunia internasional itu seolah sirna seketika tatkala krisis finansial terjadi pada tahun 1997-1998. "Krisis ini telah menyurutkan kekayaan kita dan merusak martabat kita," kata Goh.
Selama satu dekade sebelum krisis finansial, pertumbuhan ASEAN sama dengan China dan melampaui pertumbuhan China. Namun, sejak krisis finansial, sudah delapan tahun ASEAN berjuang bangkit kembali. Meski demikian, harus diakui bahwa ASEAN telah kehilangan sebagian pamornya. Tidak sedikit analis menilai bahwa ASEAN sedang mengalami perpecahan dan sebagai organisasi terperosok dalam krisis.
Sementara itu, China telah maju pesat dan India telah melampaui ASEAN. China dan India, bukan ASEAN lagi, yang mendominasi skrin radar investor asing. Mereka telah berpacu ke depan di wilayah Asia.
Nah, bagaimana harus menanggapi ini? "Saya merasa ASEAN harus menanggapi dengan tiga cara," kata Goh. "Pertama, dengan mengikatkan diri kita pada kedua kuda terbang yang sedang melaju ini. Kedua, membangun kereta kuda terbang bersama. Ketiga, dengan meneruskan perbaikan pada tingkat nasional untuk menciptakan penunggang yang kuat."
Kita sedang hidup pada perubahan global yang cepat. Dalam 20 tahun ke depan, kita akan menyaksikan arsitektur ekonomi yang baru. Globalisasi telah mengintensifkan kompetisi dan membentuk kembali dunia ini. Asia akan menjadi wilayah yang mengalami pertumbuhan yang dinamis di dunia yang dipimpin China dan India. Sebagai tanda bahwa hal ini akan datang, telah dilaporkan bahwa tidak lama lagi kedua negara tersebut memulai negosiasi tentang Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA).
ASEAN harus memosisikan diri untuk menunggang dinamika China dan India. "Dengan mengikatkan ASEAN pada kedua kuda yang tangguh ini, kita bisa terbang bersama menuju kemakmuran yang lebih besar," ujar Goh.
India, China, dan ASEAN sebenarnya mitra alami untuk perdagangan dan perniagaan. Wilayah ini dikaitkan secara geografis, kebudayaan, dan sejarah. Dalam pembangunan, ekonomi kawasan ini juga berada pada tingkat yang berbeda sehingga saling melengkapi satu dengan lainnya. Jumlah nilai perdagangan antara ASEAN dengan China dan India telah tumbuh secara signifikan selama 10 tahun terakhir ini dan pada tahun 2003 telah meningkat masing-masing sebanyak 55 miliar dollar AS dan 12 miliar dollar AS.
Karena itulah ASEAN, menurut Goh, harus mempercepat negosiasinya dalam mencapai FTA dengan China, India, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Kalau China dan India telah menandatangani FTA, menurut Goh, mereka tidak akan memerlukan ASEAN lagi. Maka, ASEAN harus bekerja keras untuk mendapatkan FTA dengan China dan India dan diimplementasikan secara penuh, masing-masing pada tahun 2010 dan 2011.
Menurut penilaian Goh, negara-negara ASEAN tidak akan mempunyai tarikan ekonomi yang sama, baik dengan China maupun India. Walaupun Indonesia dengan penduduk sekitar 240 juta orang dalam tahap pembangunan sekarang tidak akan dapat diperhitungkan sebagai raksasa ekonomi. Untuk meningkatkan daya tarik ASEAN sebagai pasar dan wilayah tujuan investasi, ASEAN harus bersatu untuk memaksimalkan kekuatan dan daya tarik guna menjadi kereta kuda terbang bersama.
Itu bukan mustahil. Studi McKinsey memperkirakan bahwa pasar ASEAN yang terintegrasi dengan 500 juta orang dapat mendorong produk domestik bruto suatu wilayah menjadi 10 persen serta mengurangi seperlima biaya operasional.
Setelah membentuk kereta bersama, menurut Goh, masing-masing negara perlu untuk meneruskan reformasi di tingkat nasional guna menciptakan penunggang yang kuat. "Sebelum saya terjun ke politik, saya mengurus Neptune Orient Lines yang berbasis di Singapura beberapa tahun. Maka, saya sangat mengerti bagaimana kemajuan suatu perusahaan ditentukan bukan hanya dari perusahaan itu sendiri, tetapi juga tergantung dari kinerja nasional dan kondisi luar negeri," ujar Goh meyakinkan.
Meski Goh berbicara dalam konteks ASEAN, pada dasarnya kita bisa menarik benang merah bagaimana perekonomian lain dapat memanfaatkan fenomena serta dinamisnya perekonomian China dan India tersebut. Dan ketika kita menyimak kembali komunike final Konferensi Asia-Afrika tentang kerja sama ekonomi, maka hal itu menjadi sangat kontekstual saat kita memperingati 50 tahun Konferensi Asia-Afrika.
Mari bekerja sama, berdagang, dan berniaga dengan China dan India. Mari mengikatkan kendali kereta ekonomi kita pada dua kuda terbang yang bernama China dan India. (ANDI SURUJI)
No comments:
Post a Comment