Kompas - Sabtu, 07 Mei 2005 |
Produsen Cokelat Merana di Negeri yang Berlimpah Kakao
INDONESIA dikenal sebagai produsen kakao ketiga terbesar di dunia. Produksi kakao Indonesia dengan daerah produksi yang terbesar di Sulawesi Selatan, mencapai 425.000 ton per tahun. Namun, dari volume produksi sebesar itu sekitar 80 persen dijual ke pasar ekspor. Pasar lokal hanya disisakan 20 persen. Dampaknya utilisasi industri pengolahan biji kakao hanya 100.000 ton dari 300.000 ton total kapasitas produksi yang terpasang per tahun. Kondisi itu pun memancing berbagai pertanyaan. Kenapa biji kakao lebih banyak di ekspor, kenapa industri pengolahannya tidak tumbuh, dan kenapa pula produksinya rendah sekali? Di sisi lain negara tetangga, yakni Malaysia justru punya industri pengolahan biji sawit atau pabrik cokelat dengan kemampuan produksi hingga 450.000 ton per tahun. Padahal produksi biji kakao Malaysia setahun hanya 60.000 ton. PENYEBAB tidak berkembangnya industri cokelat karena kebijakan pemerintah sendiri yang justru mengebiri kemajuan industri pengolahan biji kakao. Kebijakan fiskal misalnya, merupakan pemicu utama hilangnya daya saing industri cokelat nasional. Konkretnya, dengan kebijakan tersebut, bahan baku kakao yang berlimpah justru dimanfaatkan pedagang asing dan dipakai untuk memperkuat industri pengolahan biji kakao di luar negeri. Praktis industri cokelat atau pengolahan biji kakao nasional harus mengimpor kakao olahan dari negara lain untuk bahan baku produk mereka. Ekspor itu bisa mengalir deras karena selama ini tidak ada pungutan ekspor apapun terhadap biji kakao yang diekspor. Berapapun besar biji kakao yang dibeli dari petani oleh para pedagang atau eksportir langsung saja diekspor tanpa ada hambatan. Selain itu, bila kakao itu dijual ke pihak luar tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Di sisi lain, jika biji kakao tersebut di jual kepada pengusaha atau produsen cokelat di dalam negeri dikenakan PPN sebesar 10 persen. Dengan demikian praktis industri cokelat di dalam negeri harus menambah modal 10 persen. Sebaliknya produsen di luar negeri, khususnya di Malaysia justru jauh lebih efisien. Malaysia pun semakin berjaya dan mampu menghasilkan produk kakao olahan yang kompetitif. Mengetahui kondisi itu, pengurus asosiasi petani kakao Sulawesi Tengah Ahwan Ahmad mengatakan, pemerintah sebenarnya tidak cukup menerapkan PE. "Pemerintah seharusnya melarang ekspor biji kakao. Masak, kita produsen ketiga terbesar di dunia, tetapi industri pengolahan kakao harus mengimpor biji kakao dari Ghana. Kita hanya menjadi pemasok kakao untuk negara lain," katanya. Oleh sebab itu, pihaknya juga akan membentuk asosiasi petani kako yang baru. Ia menilai asosiasi petani kakao yang ada sekarang ini belum sepenuhnya membela kepentingan petani, melainkan membantu kepentingan pedagang. Menurut Ahwan, pemerintah setidaknya harus menetapkan pungutan ekspor (PE) yang tinggi. "PE harus 100 persen," katanya. Penerimaan negara dari PE harus dikembalikan kepada kepentingan petani dan dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas dan kualitas tanaman kakao. Meskipun pemerintah belum menerapkan PE, ironisnya, menurut pengusaha industri pengolahan kakao Piter Jasman, di beberapa provinsi, eksportir kakao dikenakan "iuran ekspor" sebesar Rp 50 per kg. Ia mempertanyakan, kemana "iuran ekspor" itu digunakan dan mengapa tidak seluruh provinsi di Indonesia dikenakan "iuran ekspor". "Apakah digunakan untuk program peningkatan produktivitas, seperti perbaikan lahan, pemberantasan hama, atau pengadaan bibit unggul," kata Piter Jasman. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera menerapkan PE agar alokasi anggaran untuk pemberdayaan sektor perkebunan kakao lebih terfokus, jelas, dan terprogram. Direktur Industri Agro Departemen Perindustrian Yamin Rahman mengatakan, sektor perkebunan kakao juga sangat penting digarap. "Kualitas kakao kita memang rendah karena tidak terfermentasi," katanya. Padahal, lanjut Yamin, masalah fermentasi itu tidak sulit karena tidak membutuhkan teknologi yang tinggi. Masalah fermentasi itu hanya terkait dengan penanganan pascapanen agar kualitas kakao lebih baik," katanya. Penanganan pascapanen selama ini kurang terperhatikan karena petani dikondisikan untuk menjual dengan cepat komoditas kakao kepada para pedagang. MASALAH penerapan PE atas kakao dan penghapusan PPN atas kakao sebenarnya bukan persoalan baru. Ini merupakan masalah lama. Saat Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) dijabat Rini MS Soewandi, sudah berupaya mendorong agar PE atas kakao dikenakan dan PPN dihapus. Namun, kebijakan itu terus mentok dan kandas di Departemen Keuangan. Saat ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meminta Menteri Keuangan Yusuf Anwar untuk mengatur kebijakan penghapusan PPN dan penerapan PE atas kakao. Selain itu, Yusuf Anwar diminta untuk malaporkan realisasinya langsung kepada Presiden. Surat Presiden itu dibuat oleh Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra kepada Menteri Keuangan tertanggal 17 Maret 2005. Surat itu bernomor B.168/M.Sesneg/03/2005. Dengan surat itu, Menkeu bersama menteri teknis, seperti menteri perdagangan, perlu membuat kebijakan penerapan PE dan PPN yang mendukung pertumbuhan industri pengolahan kakao dan sektor perkebunan kakao. Misalnya, apakah menerapkan PE dengan sistem persentase atau PE ditentukan berdasarkan nilai. Misalnya PE sebesar 50 dollar AS per ton. Bagaimana sistem pemasukan dana itu ke kas negara untuk dapat dialokasikan kembali untuk meningkatkan dan memperbaiki sektor perkebunan kakao. Jika PE diberlakukan dan dikelola dengan baik, banyak manfaat dari PE yang dapat diperoleh. Penerimaan negara dari PE dapat dimanfaatkan untuk perbaikan lahan tanaman kakao, pengadaan bibit ungggul, pemberantasan hama, penanganan pascapanen, program riset dan pengembangan. Selain itu, PE sebagai instrumen fiskal dan instrumen perdagangan mampu menahan ekspor bahan baku. Biji kakao tidak cepat diekspor dan mampu ditangani secara lebih baik untuk mendapatkan biji kakao yang terfermentasi. Dengan demikian, industri di dalam negeri dapat memperoleh bahan baku yang berkualitas dan mampu memenuhi kapasitas terpasang. Di sisi lain, industri di negara lain yang selama ini menikmati bahan baku murah kakao dari Indonesia jelas akan terpengaruhi. Kemungkinan, suplai bahan baku mereka berkurang atau industri mereka menjadi kurang efisien karena harga kakao tinggi dengan pengenaan PE. Dengan demikian, investasi baru di industri pengolahan kakao di dalam negeri, baik itu penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dengan sendirinya berpotensi untuk masuk ke Indonesia. Jika manajemen suplai dan permintaan dikelola dengan baik, petani pun dengan sendirinya dapat menikmati harga yang lebih tinggi karena harga di pasar naik. Salah satu bentuk manajemen suplai dan permintaan itu, misalnya, dibuat jaringan langsung antara koperasi petani kakao dengan industri pengolahan kakao di dalam negeri yang menggunakan bahan baku. Selain itu, bisa juga dibentuk badan penyangga kakao di Indonesia (cocoa board). Badan itu juga dapat berfungsi mengatur suplai dan permintaan untuk kebutuhan industri di negara lain, sehingga harga tetap terkontrol dan tidak dipermainkan pedagang. Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap sektor kakao ini. Hal itu harus ditunggu, karena masih harus dilihat seberapa besar PE dan PPN akan diterapkan untuk mengembangkan industri pengolahan kakao dan sektor perkebunan kakao. Apabila pemerintah lebih memilih Indonesia hanya sebagai negara pengekspor produk primer, maka kebijakan yang sekarang ini diterapkan, yaitu PE nol persen dan PPN 10 persen menjadi benar. Akan tetapi bagi kepentingan ekonomi nasional, khususnya petani kakao dan produsen cokelat di dalam negeri menjadi merana. Mereka hanya akan menjadi penontotn di negerinya sendiri. Sumber bahan baku yang melimpah tak mampu dipakai untuk memperkuat struktur industri nasional. Kelebihan itu justru dimanfaatkan untuk memperkuat pesaing dan mengebiri industri di dalam negeri. Sungguh ironis dan memprihatinkan. Bagaimana mungkin pemerintah dengan sadar membiarkan industri di dalam negeri merana sekadar untuk mengais-ngais pendapatan dari sektor pajak. Tak peduli meski dampaknya secara nasional merugikan sekali. (Ferry santoso) |
Ma vie Wo de shen huo 我的生活 Mein Leben Hidupku La mia vita ..私の生命 Mijn leven Моя жизнь Η ζωή μου Minha vida 나의 생활 ..recording interests, thinking, dreams, thoughts, gratefullness, failures, regrets, wishes, wannabees, wishfull thinking. .. all of the beauty humanity Clippings made here from various medias, are for my own reading and recording serve no commercial purposes. Shared with friends who visited as a knowledge sharing information.
07 May 2005
Coklat merana di Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment