Kompas - Jumat, 06 Mei 2005 |
Robohnya Sekolah Kami
Oleh B Herry-Priyono SEPERTI banyak masalah di negeri ini, kehebohan selalu muncul dalam keterpepetan. Salah satu heboh dunia pendidikan menyangkut gedung sekolah yang bobrok. Itu bukan cerita baru. Ia punya siklus kemendesakan setiap kali tahun ajaran baru akan datang, lalu lenyap saat tahun ajaran baru sudah berjalan. Maklum, inilah negeri yang sekaligus sedang menyembuhkan diri dan menghancurkan diri. Ia menyembuhkan diri dengan berjanji, ia menghancurkan diri dengan mengingkari. Maka, pada hari-hari ini tibalah kembali siklus janji. Janji itu berisi perbaikan gedung sekolah yang rusak. Dalam hitungan kasar, sekitar 30 persen dari gedung sekolah dasar rusak atau dalam kondisi ambruk (Jakarta Post, 2/3/2004). Menurut data Depdiknas 2005 untuk periode 2003-2004, dari total 816.834 ruang kelas SD negeri, sebanyak 471.050 (57,67 persen) rusak. Dari total 138.742 ruang kelas SMP negeri, 22.621 (16,30 persen) rusak. Pada tingkat SMA, sebanyak 5,40 persen rusak (2.589 dari total 47.913 jumlah kelas). Tentu, seperti banyak statistik lain mengenai gejala buram di Indonesia, angka itu perlu dibaca secara konservatif. Siklus janji Janji, apalagi janji politik, adalah kisah tentang kemenangan harapan (hope) atas pengalaman (experience). Dan berbagai kisah tentang janji di negeri ini telah cukup berisi tragedi yang membuat orang yang paling optimistis pun mendadak pesimistis. Pokok itu juga berlaku untuk janji perbaikan besar-besaran gedung sekolah. Apakah janji itu juga hanya bagian dari siklus tahunan ataukah bagian dari permainan citra kepedulian pemerintah, tak seorang pun tahu persis. Paling jauh hanya bisa dikatakan, janji itu layak diberi kesempatan. Karena isinya menyangkut masa depan suatu generasi, janji itu sebaiknya dikonsultasikan seluas mungkin secara publik serta dikejar ketat oleh media. Daripada sibuk dengan rubrik Socialite yang berisi narsisisme gaya hidup, media akan lebih terhormat dengan mengejar evolusi janji perbaikan gedung sekolah rusak. Namun, agar kehendak tidak buru-buru padam, beberapa kehati-hatian mungkin ada gunanya. Pertama, mulailah dari pokok paling sederhana. Masalah gedung sekolah yang rusak hanya satu dalam semesta persoalan pendidikan di Indonesia, yang mencakup masalah lain, seperti guru, teknologi belajar, manajemen, biaya dan gaji, kurikulum, perpustakaan, sampai soal jaminan atas isi civic (nonsektarian) pendidikan sekolah. Mengatasi satu sektor soal tentu belum menyelesaikan semesta masalah pendidikan. Namun, ada gunanya mulai dari dataran rendah harapan. Maksudnya, bila karena kemiskinan imajinasi pemerintah hanya bisa menjanjikan perbaikan soal yang amat fisik (dan belum mampu memperbaiki soal yang kurang kasatmata), baiklah itu diterima sebagai pintu masuk. Kedua, paling tidak dalam bunyinya, setiap janji selalu berisi rumusan maksud baik. Maksud baik biasanya segera memperanakkan sederet hukum atau peraturan. Lalu, pengejaran janji besar itu dilakukan dengan mengutak-atik hukum atau aturan sampai suatu saat bingung mengapa peraturan sudah lengkap tetapi gedung-gedung sekolah belum juga diperbaiki. Maksud baik dan peraturan tidak cukup. Sebagaimana dalil dalam ekonomi, maksud dan hukum paling mulia sekalipun amat biasa bermuara pada malapetaka. Ketiga, mandat konstitusional mengharuskan anggaran pendidikan paling sedikit 20 persen dari APBN/APBD. Setiap konstitusi adalah cita-cita dan semakin mulia cita-cita, semakin baik. Akan tetapi juga kian jelas, cita-cita itu berdiri di atas pengandaian bahwa pemerintah punya kapasitas yang amat besar dalam menentukan alokasi anggaran. Tentu saja pengandaian itu menggelikan, bukan hanya karena jumlah besar anggaran pindah ke kantong para koruptor, tetapi juga karena kencangnya tuntutan pemotongan anggaran untuk bidang-bidang yang disebut "sosial", seperti pendidikan dan kesehatan. Rupanya pokok terakhir itu sentral karena dalam deret kegagalan demi kegagalan untuk memperbaiki kondisi Indonesia, persoalan anggaran serta implementasi alokasinya kian menjadi soal kritis. Kontroversi harga bahan bakar minyak hanyalah salah satu contoh. Pokok itu mungkin masih terdengar abstrak. Bila diturunkan, kira-kira berbunyi seperti argumen jalanan ini: "Mau perbaiki gedung sekolah kèk, mau tingkatkan mutu guru kèk, semua butuh uang. Jadi, prioritaskan dulu sektor ekonomi dan bisnis karena uang untuk membiayai apa saja yang sosial-sosial itu hanya dihasilkan di sektor ekonomi-bisnis!" Andaikan Anda bertanya: "Mungkinkah dari pajak?" Argumen jalanan menjawab sambil tertawa, "Ah, itu kuno, bukan hanya karena kantor pajak adalah sarang korupsi, tetapi karena anggota WTO harus bercita-cita membuat pajak zero!" Jadi, upaya kecil untuk memperbaiki gedung sekolah yang hancur pun telah dicegat oleh logika ekonomi preman. Uji "stakeholding" Maka, kita terdampar lagi pada siklus akhir-awal tahun ajaran. Ada janji, ada kehendak baik, ada urgensi, tetapi dicegat logika ekonomi jalanan. Lalu ditambah soal korupsi. Lagi, semakin banyak bidang hidup mengalami komodifikasi komersialisasi, semakin logika ekonomi jalanan itu sulit dielakkan. Dengan kata lain, soalnya belum terjawab: bila dari keketatan anggaran sulit menyediakan dana bahkan untuk memperbaiki gedung sekolah yang bobrok, dari mana uang untuk reparasi didapatkan? Tentang urusan anggaran, National Human Development Report (NHDR) 2004 yang disusun BPS-Bappenas-UNDP (2005) punya kritik bagus: "Dalam kesulitan finansial, pemerintah secara eksesif terseret ke fokus memperbaiki anggaran belanja negara, tetapi mengorbankan investasi sosial, hanya karena ingin memompa keyakinan investor... untuk mengungkit pertumbuhan". Kritik itu kira-kira menunjuk cacat obsesi keketatan anggaran di atas kertas neraca keuangan negara. Kritik tidak berhenti di situ, tetapi mencakup pula soal pembiayaan pendidikan sekolah. Pada dataran inilah soal perbaikan gedung sekolah yang rusak menjadi momen ujian besar bagi gagasan stakeholding yang berbusa-busa diajarkan di sekolah manajemen. Pertama, apabila anggaran untuk perbaikan gedung sekolah tak bisa seluruhnya diambil dari neraca negara, ia juga dapat dihimpun dari persentase tertentu industri sumber-sumber alam, seperti batu bara, minyak, emas, dan sumber alam lain. NHDR 2004 dengan brilian mengajukan pendasaran, yaitu "karena sumber daya alam itu pada akhirnya milik rakyat Indonesia". Untuk cara pikir ekonomi yang bersikeras meyakini bahwa kinerja ekonomi harus dibebaskan dari segala beban yang tidak langsung menyangkut proses akumulasi modal finansial, pokok itu tentu terdengar seperti bidaah ilmiah. Ada yang lebih bidaah lagi bila mempertimbangkan pertanyaan berikut ini. Kedua, siapa "penadah utama" produk pendidikan sekolah dalam peta ekonomi-politik dewasa ini? Pemerintah, LSM, sekolah, atau perguruan tinggi dalam rupa guru atau dosen? Bukan! Penadah utama produk pendidikan sekolah adalah sektor bisnis swasta, entah dalam wajah buruh ataupun kaum berdasi dan bersepatu hak tinggi. Soal apakah mereka punya produktivitas tinggi atau rendah adalah perkara lain. Amat aneh sebagai "penadah utama" produk sekolah, sektor bisnis dibebaskan dari keterlibatan ikut memikul masalah pendidikan. Tentu beberapa perusahaan punya divisi yang mengurus kerja amal beasiswa. Namun, pola itu lebih merupakan kekecualian ketimbang keterlibatan sistemik sektor bisnis dalam pendidikan sekolah di Indonesia. Apakah keterlibatan itu mungkin, misalnya melalui pembentukan pool dana untuk reparasi gedung sekolah yang hancur? Amat mungkin! Jawaban ini datang dari seorang insider. Sapto Sakti dari Yayasan Sampoerna, misalnya, menunjuk potensi itu. Dengan contoh semester pertama 2004, dan diambil hanya dua persen dari net profit tujuh perusahaan yang ada di Bursa Efek Jakarta (Indofood, Ramayana, Telkom, Sampoerna, Gudang Garam, Astra International, Unilever), sekurangnya ada sekitar Rp 160 miliar potensi dana pendidikan. Jika itu diperluas ke banyak perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, akan terkumpul dana triliunan rupiah (Suara Pembaruan, 7/9/2004). Namun, bukankah itu sama dengan pajak yang persis ditabukan oleh logika ekonomi global dewasa ini? Terhadap soal ini, NHDR 2004 melihat "pajak" seperti itu dapat dikompensasi dengan membuat moderat tuntutan kenaikan upah. Akan tetapi, pada hemat saya dasarnya lebih dalam. Seluruh tuntutan "deregulasi" sesungguhnya berdiri di atas premis non-ekonomi bahwa hidup-matinya negeri ini tidak boleh lagi hanya tergantung pada pemerintah. Namun, itu berarti apa yang membuat hidup dan apa yang membuat mati negeri ini juga tidak bisa lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Kali ini, salah satu soal yang membuat mati negeri ini adalah gedung sekolah yang hancur, dan yang membuat hidup adalah pembiayaan reparasi besar- besaran. Reparasi itu bisa gagal karena korupsi, bisa juga karena kesalahan tata kelola. Namun, bisa pula karena sektor bisnis yang paling menikmati produk pendidikan sekolah mengelak dari implikasi arti "deregulasi" yang mereka tuntutkan sendiri. Artinya, mereka ingin menjadi free riders di negeri ini. Di sini kasusnya menyangkut gedung sekolah calon buruh mereka. Jika demikian, tahun ini, tahun depan, dan tahun berikutnya, anak-anak hanya akan membaca kisah yang kira-kira berjudul Robohnya Sekolah Kami. B Herry-Priyono Alumnus London School of Economics, Inggris, Ketua Program Studi Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta |
Ma vie Wo de shen huo 我的生活 Mein Leben Hidupku La mia vita ..私の生命 Mijn leven Моя жизнь Η ζωή μου Minha vida 나의 생활 ..recording interests, thinking, dreams, thoughts, gratefullness, failures, regrets, wishes, wannabees, wishfull thinking. .. all of the beauty humanity Clippings made here from various medias, are for my own reading and recording serve no commercial purposes. Shared with friends who visited as a knowledge sharing information.
06 May 2005
Robohnya Sekolah Kami
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment