Kompas Jumat, 29 April 2005 |
"Punya Kamar Mandi?", (...Lalu Lahirlah Sekolah Pesisir)
Butet Manurung "Kak Butet punya kamar mandi di rumah?" "Ya ada, kenapa?" "Aku juga punya!" anak itu menjawab lantang, yang lain serta-merta menunduk gundah. Lalu cepat-cepat kutambahkan, "Tapi itu punya ibuku. Kalau di hutan, kakak tidak punya kamar mandi!" Yang lain mendelik spontan berebut bertanya, "Lho, kalau berak di mana?" OH, baru saja aku menyelamatkan pembicaraan. Dan mereka, makhluk-makhluk manis itu, tak habis-habisnya bertanya, "Tidurnya di mana? Mandi di mana? Banyak nyamuk? Banyak ikan? Banyak warung?" DENGAN senang hati aku melayani pertanyaan mereka meski dalam hati masih bertanya-tanya soal kamar mandi. Mengapa mereka selalu mengajukan pertanyaan, "Punya kamar mandi?" Mengapa bukan pertanyaan "Punya mobil? TV? Telepon genggam? Pacar? Suami? Harga diri?" Rupanya di sini kamar mandi adalah perlambang kemakmuran. Orang yang cukup mampu akan membuat rumahnya bertingkat, dan kalau lebih mampu lagi, akan punya space untuk dijadikan kamar mandi. Pertanyaan tentang kamar mandi ini muncul dari mulut-mulut kecil anak-anak kampung Buyang, kecamatan Mariso, Kota Makassar. Mereka adalah orang asli/suku Makassar yang selama turun-temurun tinggal di situ. Tanah yang tadinya cukup luas untuk tempat tinggal mereka, seiring tekanan ekonomi, pertumbuhan populasi dan pengembangan Kota Makassar, kini hanya tinggal sejumput kawasan yang berbatasan dengan laut. Di balik semua makna dari pertanyaan tentang kepemilikan kamar mandi tersebut sesungguhnya terkuak sebuah persoalan warga kampung Buyang yang mendiami sebuah permukiman padat di perkotaan (slum area). Layaknya citra sebuah kampung padat warga miskin, struktur ruang dan hunian sangat tak dimungkinkan tertata dengan ideal. Rumah-rumah saling berimpitan hingga hampir tak ada ruang privasi karena tetangga sebelah bisa dengan jelas mendengar apa pun yang terjadi dalam sebuah keluarga. Bahkan menu harian tetangga dapat diketahui hanya dengan menghirup wangi masakan yang tercium ke sekitar. Saking padatnya rumah-rumah warga, gang atau lorong-lorong antarrumah berfungsi sebagai beranda bersama. Serunya dengan kondisi struktur perumahan yang berimpitan itu, solidaritas sosial dan kehidupan bertetangga justru berlangsung hangat meskipun aku sempat bingung di awal kedatanganku di sana, ke mana saja aku bergerak, selalu bertemu orang yang itu-itu juga. Mungkin ini lah perumahan yang sering disebut sebagai tipe 4L alias "lu lagi, lu lagi". Tapi itulah asiknya, semua penghuni kampung kecil ini dipaksa untuk saling kenal dan berbagi. Kebiasaan mengirim lauk tidak aneh lagi di sini karena aroma yang tercium dari dapur tak baik dimakan sendiri. Yang ikut mencium wangi masakan wajib mencicipi meski hanya sekadarnya. Kultur gang yang saling kenal bahkan berinteraksi setiap saat memunculkan solidaritas di antara sesama warga. Sulit untuk menemukan rumah yang memiliki banyak ruang. Sering kali berbagai aktivitas rumah tangga dilakukan hanya di satu ruang saja, ya tidur, ya memasak, menerima tamu dan menonton televisi jika ada. Bahkan tidak semua kegiatan bisa ditampung di dalam rumah. Untuk mandi, misalnya, mereka biasanya menaruh ember berisi air di depan rumah lalu dengan kain atau bercelana pendek mereka mandi dengan cueknya. Sedangkan buang air besar atau kecil biasa dilakukan di hamparan pasir di pantai. Selokan air dan bantaran pinggir sungai adalah tempat favorit pengganti jamban. Kondisi kepadatan ini menjadi sangat kontras jika dibandingkan dengan lokasi mengajarku di komunitas Orang Rimba di Jambi. Di Buyang aku tinggal di wilayah RT 04 dengan luas sekitar 2,5 hektar yang didiami oleh 1.532 penduduk. Sementara di Jambi, 1.300-an jiwa Orang Rimba tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas yang memiliki luasan sekitar 60.000 hektar. Keleluasaan ruang yang biasa aku dapatkan di rimba kini terampas oleh perkampungan 4L meski tentu saja keadaan hidup mereka tidak bisa dipandang sama, dan meski berbeda keduanya sama-sama memiliki masalah lingkungan. Kampung Buyang sesungguhnya berada di pusat keramaian Kota Makassar, tak jauh dari kawasan wisata pantai Losari yang terkenal keindahannya. Kampung ini bisa dicapai hanya dengan lima menit berkendaraan dari pusat Kota Makassar. Dari tengah-tengah kepadatan kampung Buyang dapat terlihat bangunan berwarna merah marun yang menjulang anggun dari kawasan perhotelan pinggir pantai. Itu adalah Hotel Sedona, sementara di sebelahnya ada Hotel Sahid yang tak kalah mentereng. Lalu, apakah kampung Buyang juga terlihat dari kawasan wisata itu? Sayangnya tidak. Kalau kita melintasi jalan Metro Tanjung Bunga-yang merupakan kawasan reklamasi pantai di zaman presiden Habibie-dari arah Losari menuju GTC (Global Trade Centre) atau pantai Akarena, kita akan melalui jalan cantik dengan pagar teralis di sisi kiri dan kanannya. Namun, di tengah perjalanan, pagar teralis akan berganti menjadi pagar tembok batako setinggi 1,5 meter. Itu artinya kita sedang melintasi perkampungan Buyang yang sengaja ditutup supaya tidak "mengganggu pemandangan" perjalanan. Mungkin anda harus berjingkat sedikit di atas mobil baru bisa "menikmati" mereka. Panjang sekat pagar batako itu sekitar satu kilometer, setelah itu kembali menjadi pagar teralis tembus pandang lagi. Reklamasi telah menyebabkan pengendapan yang diperparah oleh kotoran dan limbah yang terbawa melalui kanal-kanal dan bermuara di sekitar Buyang. Akibatnya, sampah mengendap dan tertahan di sekitar lingkungan hunian warga saat laut pasang atau saat hujan turun mengguyur. Sekolah pesisir Pembangunan Jalan Metro Tanjung Bunga tersebut telah juga berkontribusi memisahkan warga Buyang dengan laut yang menyebabkan sebagian warga harus rela kehilangan mata pencarian utamanya sebagai nelayan. Koloni ikan yang dulu banyak di sekitar laut dekat kampung, kini menjauh dan tak terakses oleh nelayan-nelayan tradisional. Butuh modal besar untuk membeli kapal motor agar bisa menangkap ikan di laut yang jauh. Solusinya memang menyakitkan, banyak dari mereka terpaksa beralih menekuni pekerjaan lain di sektor-sektor informal berpenghasilan rendah, tanpa bekal keahlian yang cukup. Dengan minimnya penghasilan, kebanyakan warga Buyang tak mampu menyekolahkan anak-anaknya seperti anak- anak kota, apalagi untuk melengkapi rumah-rumah mereka dengan membangun kamar mandi. Kegiatan sekolah alternatif di Kampung Buyang berawal dari pertemuanku dengan Ibu Irma dari Yayasan Taman Bacaan (Manca) Indonesia pada Juli tahun lalu. Waktu itu, kami sama-sama ingin mendengar Torey Hayden, guru dari AS yang menulis kisahnya bersama anak-anak autis. Dalam obrolan kami, rupanya Ibu Irma sempat terpesona ketika tahu bahwa anak-anak orang rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi hanya perlu waktu tiga minggu untuk menguasai baca-tulis. Demikian juga aku tak kalah terpesonanya, tepatnya terhadap betapa "kuper" diriku yang cuma tahu hutan dan tidak menyadari keberadaan lembaga seperti Manca dengan programnya mendirikan rumah baca di pelosok-pelosok negeri yang potensial. Potensial artinya punya lokasi untuk dibangunkan rumah baca, punya sejumlah anak yang diasumsikan tidak mampu membeli buku dan tak mampu mengakses pendidikan karena berbagai keterbatasan. Selanjutnya dalam kunjunganku ke Makassar beberapa minggu kemudian, aku menyempatkan diri mengunjungi tiga lokasi rumah baca yang didirikan Yayasan Taman Bacaan Indonesia. Di salah satu lokasi rumah baca di Buyang itulah aku tertegun melihat seorang anak yang sedang mencermati sebuah buku dalam posisi terbalik. Ia memerhatikan gambar macan berkelahi dengan buaya sembari membolak-balik buku itu, lalu memandangi hurufnya lekat-lekat. Kemudian setelah tak tahan, ia pun berteriak memanggil seorang fasilitator di Manca, "Kak Dian!! Ini cerita apa?" Kisah semacam ini bukan sekali saja terjadi. Pak Muchtar, fasilitator lainnya, juga selalu sibuk mendampingi anak-anak melihat-lihat buku, membacakan cerita, dan sebagainya. Ironis sekali, karena kawasan lokasi rumah baca yang berada di tengah Kota Makassar itu ternyata dihuni oleh komunitas nelayan yang 80 persen anak- anaknya buta huruf, bahkan ada yang hingga lima keturunan tidak pernah mengenal huruf. Di sini, sepertinya sekolah bukanlah bagian dari kehidupan sehari-hari. Seorang teman di Makassar mengatakan bahwa menurut data statistik 98 persen masyarakat Sulawesi Selatan sudah bebas dari buta huruf. Pikirku waktu itu, mungkin yang 2 persen sisanya termasuk yang ada di depan mata mereka, tepatnya di komunitas warga Kampung Buyang ini. Akhirnya atas dukungan Pertamina Pusat Jakarta melalui rekomendasi Manca, sejak Januari 2005, aku meminta bantuan rekanku di hutan; Oceu Apristawijaya dan Dodi Rokhdian untuk memboyong metode SOKOLA "Sekolah Untuk Kehidupan" dari belantara rimba ke tengah-tengah perkampungan kumuh di kota. Tujuan awalnya sederhana, hanya baca-tulis, pasalnya sangat mubazir bila buku-buku bacaan di rumah baca teronggok rapi tapi tak pernah tersentuh atau cuma dibolak-balik saja hanya karena kebanyakan anak buta huruf. Aku tersentak ketika pipiku dicubit, seorang anak bernama Sari menyodorkan bukunya, "Kak! Pemalasnya! Melamun terus, coba periksa!" Sari menyodorkan beberapa kata yang ia tuliskan pada sebuah buku, semuanya dimulai dengan huruf "R". Hebat, betul semua, sampai ada kata "rampok" segala, aku nyengir. Sari berlari riang menjauh lagi ketika kusuruh lagi menulis kata yang dimulai dengan huruf S. Aku termenung sendiri, "Pintar baca-tulis, lalu apa setelah ini?" Sederet pertanyaan muncul, "Bergunakah kemampuan baca tulis untuk Sari dalam menjalani kehidupannya kelak? Apa yang lebih berguna, sekolah atau cari uang?" Anak-anak Buyang tak seperti anak-anak yang biasa hidup di kota besar yang (mungkin) lebih beruntung. Masa indah dunia kanak-kanak harus dilalui dengan keharusan kerja mencari uang tambahan. Mereka terpaksa menjadi bagian dari ekonomi rumah tangga, sebagian menjadi pencari kerang, sebagian mengamen di warung tenda di pantai losari, menjual kue, memecah batu atau mengangkut pasir. Dengan segala persoalan yang mengimpit, aku dan tim dari rimba akhirnya berada di antara persoalan kehidupan warga Buyang. Memberikan mereka kemampuan baca tulis aku pikir hanyalah secuil sumbangan untuk bekal hidup mereka untuk melanjutkan kehidupannya kelak, masih perlu semacam sekolah pesisir yang lebih "ramah" terhadap budaya pesisir plus perkotaan yang mereka punya. Karena persoalan terpenting justru kembali ke relung mendasar tujuan pendidikan yang kini buat mereka adalah melenceng sebatas tahapan berjenjang yang menyita periode kehidupan anak. Mending kalau tahapan yang panjang dan mahal tersebut dibayar dengan "jaminan masa depan yang gemilang". Ya, setelah ini apa? Alangkah bergunanya jika Sari dan anak-anak Buyang mampu "sekolah" dan dari pengetahuan yang didapatkan dari "proses sekolah" tersebut Sari juga tetap mampu setidaknya membantu orangtuanya menghadapi hidup. Intinya memang perlu ada sekolah untuk hidup, sekolah yang mengerti mereka, sekolah yang terintegritas dengan hidup keseharian dan menyumbang bagi kehidupan. Sari tentu tak akan tertunduk malu lagi bila ada temannya yang bertanya, "Di rumahmu ada kamar mandi?" Dan tak perlu lagi ada tembok batako yang menutupi kekumuhan hunian warga Buyang karena tanpa pagar pun Jalan Metro Tanjung Bunga tersebut telah menutupi pandangan warga Buyang terhadap indahnya laut yang dulu memberinya penghasilan yang cukup. Butet Manurung Praktisi Pendidikan Orang Rimba dan Direktur SOKOLA, Sebuah Perkumpulan yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan Alternatif bagi Masyarakat Adat |
Ma vie Wo de shen huo 我的生活 Mein Leben Hidupku La mia vita ..私の生命 Mijn leven Моя жизнь Η ζωή μου Minha vida 나의 생활 ..recording interests, thinking, dreams, thoughts, gratefullness, failures, regrets, wishes, wannabees, wishfull thinking. .. all of the beauty humanity Clippings made here from various medias, are for my own reading and recording serve no commercial purposes. Shared with friends who visited as a knowledge sharing information.
06 May 2005
Udah baca ? : "Punya Kamar Mandi?", (...Lalu Lahirlah Sekolah Pesisir)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment