Ya kenapa sih ? Pan udah puluhan tahun dikampanyein Cintailah produk dalam negeri? Bebal bener ya..
Hehehe..he.. jawabannya sebenarnya gampang kita bisa balas, sebagai konsumen, sebuah slogan balik: Cintailah pelanggan dalam negeri.
Itu aja sih. Lha kita konsumen dianggap sapi. Duit nya duit gw ya kapok.
Paling sederhana nih sehari hari, ente ke dokter.. nanya dok saya sakit apa? Boro boro dijawab malah disentak maneh.. "Udah makan aja ni obat, mau sembuh ga? Ga usah tanya tanya". Ke Apotik abis itu...astaga naga... harga obat bisa 2 x di Glodok atau Pasar Pramuka .. walau disana bisa aja ente beli barang aspal.
Ke mall, belanja belenji .. beli barang, dibawahnya udah jelas jelas di tulis: Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan dengan alasan apapun.
Kayu lapis? Ini ngomelnya tukang kayu yang bikin lemari gw: Kalau ekspor rame, kita ga kebagian, pasokan syulit (bukan sulit lagi).. kalau export muram, kita dikasih kualitas C juga alasanya penghematan dan konsumen dalam negeri ga bisa milih anyway... Belon lem aibon nya nih pak.. dulu masih impor nempel bener gampang.. ini sekarang lokal waduh pak.. seharian nih ngegosokin nyoba nempelin takon pelapis belon rata juga.
Formalin? Hehehe..he.. gw beli kwetiau curah selama ini di Matahari enak sekali, bagus dan mengkilat, konsistensinya bagus merata.. eh..abis ribut formalin barangnya ga ada 2 minggu. Waktu ada lagi dijual di Matahari.. hehehe..he.. pada putus, merutul susah di pisah krn ngegumpal.. dan jadinya kurang enak.. lha enak rupanya formalin itu selama ini..
Gitu lah.. tahu, baso borax, rujak Wantek, dll dll.. panjang bener ...
Ya nunggu Depkes, POM mau muncul sebagai pahlawan gagah perkasa lagi deh dengan gempita memvonis industri tahu, tempe, mie, ritel makanan kecil dengan hukuman mati buat pedagang kecil lewat media massa.
Garuda? Astagfirulah.. ya ampun ... cobain deh nelpon ke Garuda di kantor penjualan Gunung Sahari? Dijamin jari jemari Anda sehat fisik krn mencetin nomor nomor ekstensi tanpa nyambung sekalipun. Atau pesawat di batalkan tengah malam dan anda ga dikasih tahu walau anda anggota GFF (frequent flyer). Anggota GFF hehehe..he.. kalau terbang lebih dari Singapura ga diakuin tuh Mileage.. Jadi yg terbang bolak balik ke Australia, Jepun, Tiongkok bye bye mileage yang nan panjang itu. Baru belakangan aja tuh diakui mileage keluar negeri.. aneh khan..
Kartu Kiridit HSBC di Indonesia? Sami mawon cing..biar dia perusahaan asing ..coba baca email mereka kalau anda punya problem dng kartu kiriditnya. Email email tanpa nyawa..dengan slogan slogan klise tapi ga memecahkan problem. Kali krn gw bukan pemegang kartu yang baik krn selalu bayar ontime (99,9% of the time).
Wisnus ? Hehehehe..he.. bukan cuman di tempat yang populer aja.. dihotel hotel tempat wisata yang umumnya banyak bule .. weleh weleh kita mah winus dipandang sebelah mata .. sampe pedagang asongan aja disitu malas nawarin ke kite kite..
Kalau ga seperti di Pantai Air Manis tempat si Malin Kundang itu.. kotor pantainya, rajin pungutan liar dan tidak liarnya. Jalan darat ke Sumut? Bule bilang ini disko tanpa kita harus goyang badan saking jeleknya jalan disana. Objek wisata Danau Toba ? Gersang bo.. dulu hijau royo royo..sekarang coklat larat larat..
Ujung ujungnya apa nih?
Ya duit duit , kemana gw mau belanjain ya urusan gw dong.. so what getho loh.. Gw jelas lebih senang berobat ke Singapura, Malaysia, Thailand bahkan sekarang dan Tiongkok karena perlakuan dan pelayanan pelanggan (basa gagahnya customer service) yang prima.
Rasanya duit gw ada harganya gitu. Mahal? Belum tentu.. gw berobat di Indonesia pulang jengkel, stress malah tambah sakit kali dan takut.. karena ga banyak lagi dokter yg punya tanggung jawab moral.
Konsumtif? Lha emang kan kita ini bangsa paternalis.. wong De pe er aja studi bandingnya tentang harga barang di Esprit, Mark&Spencer diluar negeri.
Beli sepatu Bally (bukan Bali), tas LV (bukan Cibaduyut atau Tanggul Angin), dasi Hermes (bukan Batik Keris), balsem cap Macan (bukan Balpirik).
Kalau pelayanan baik seperti di Singapura, Hong Kong, Eropa, Australia, Tiongkok yang amat populer sekarang ini.. otomatis namanya wisnus dengan suka hati datang koq.. as simple as that.
Coba deh daerah tujuan wisata di Indonesia memikirkan lautan biru nya.. Blue Ocean Strategynya apa? Jangan kalau udah turis asing hilang baru melirak lirik, imbau mengimbau turis domestik dong..
Demikian juga dengan produk produk domestik lain, di manca negara kita kebanyakan cuman mampu bersaing di harga sebagai keunggulan kompetitif utama, dan di dalam negeri dianggap pasar yang amat kecil berdaya beli lemah. Coba kalau produsen punya basis kuat di dalam negeri, dengan keunggulan merk yang kuat (lihat Blue Bird yang sayangnya belum ekspor ke mancanegara pelayanannya).
So sekali lagi, slogan harus diganti : CINTAILAH KONSUMEN DALAM NEGERI itu aja kuncinya ga usah susah susah di litbang kan, bikin raker, bikin spanduk, stiker.. go back to basic aja.
Sabtu, 28 Januari 2006 |
Mengapa Tak Lirik Negeri Sendiri
Orang Indonesia yang gemar melancong ke luar negeri mungkin lebih kenal Singapura atau Eropa ketimbang daerah dan budaya negeri sendiri. Penelitian Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 mengungkapkan, mereka yang bepergian ke mancanegara rata-rata baru pernah mengunjungi tiga dari 33 provinsi di Tanah Air. Selain wisatawan asing yang angka kedatangannya ke Indonesia kini menurun, turis lokal sebetulnya dapat menjadi pasar pariwisata. Persoalannya, faktor penarik bagi mereka untuk berwisata di negeri sendiri sangat lemah. Obyek wisata di luar Bali kurang terawat karena keterbatasan dana. Menjangkau lokasinya pun tak mudah karena sarana transportasi terbatas. Berbagai retribusi memberatkan pengusaha wisata untuk meningkatkan mutu pelayanan. Dukungan pemerintah daerah pada usaha kepariwisataan pun masih kurang. Pada tahun 2000, melalui 13 pintu keberangkatan, tercatat 2,2 juta orang Indonesia yang berkunjung ke negeri asing. Empat tahun kemudian melonjak menjadi 3,9 juta. Hingga November 2005, sudah 3,7 juta orang melancong ke negara lain. Sepanjang tahun lalu, kemungkinannya mencapai empat juta orang. Menurut Sekjen Asosiasi Biro Perjalanan dan Wisata (ASITA), Yekti P Suradji, obyek wisata di negeri orang menyajikan atraksi menarik pada saat pergantian tahun. Masa libur sekolah, Juni dan Juli, juga waktu favorit warga Indonesia untuk berlibur ke luar negeri. Kelompok terbesar dalam pelancong ke luar negeri ini adalah penduduk berumur 25 hingga 34 tahun, kelompok yang berada di puncak produktivitas. Mereka umumnya pasangan muda, pengantin baru, maupun keluarga dengan anak usia di bawah lima tahun, dari kelas ekonomi menengah ke atas. Beban finansial yang belum begitu berat memungkinkan mereka dapat menyisihkan biaya berlibur. Sebagian besar dari mereka (78 persen) berangkat dengan biaya pribadi. Umumnya, mereka berasal dari DKI Jakarta (44 persen), Riau (9 persen), dan Jawa Timur (8 persen). Budaya konsumtif Penelitian Depbudpar 2004 juga mengungkapkan, sebagian besar orang Indonesia yang berlibur ke luar negeri gemar berbelanja. Umumnya membeli cendera mata, mulai dari garmen, aksesori, sampai produk elektronik model mutakhir berharga miring. Mereka rata-rata mengeluarkan dana sebesar 860 dollar AS dalam setiap kunjungan. Belum termasuk biaya perjalanan ke dan dari negara tujuan. Angka ini hanya lebih rendah 42 dollar AS dibandingkan rata-rata pengeluaran wisatawan asing di Indonesia, 902 dollar AS. Negara-negara di ASEAN merupakan pilihan yang paling disukai. Tahun 2003, sebanyak 74 persen wisatawan Indonesia berlibur ke kawasan ASEAN. Porsinya meningkat menjadi 82 persen pada tahun 2004. Singapura merupakan tujuan paling diminati. Selain faktor jarak, paket wisata yang ditawarkan Singapura sangat menarik dan "murah". Negeri mungil ini juga menggelar wisata belanja The Great Singapore Sale yang pas dengan sifat konsumtif mayoritas pelancong Indonesia di saat liburan panjang, Juni dan Juli. Eropa menjadi tujuan berikutnya. Porsi wisatawan Indonesia ke Eropa yang pada tahun 2003 hanya tujuh persen, naik menjadi 13 persen pada tahun 2004. Visa ke negara-negara Eropa yang lebih mudah didapat turut menaikkan minat untuk berkunjung ke sana. Jumlah kunjungan orang Indonesia ke Asia Timur, seperti Jepang, Korea, Taiwan, China, dan Hongkong, juga meningkat. Coba tahan Sampai November tahun lalu jumlah turis asing yang masuk ke Indonesia memang masih lebih tinggi ketimbang wisatawan Indonesia yang ke luar negeri. Hanya saja jumlah kunjungan wisatawan asing itu kini menurun, berkebalikan jumlah pelancong dari Indonesia yang meningkat. Pemerintah telah berusaha menahan kecenderungan itu dengan tetap mengenakan biaya fiskal. Anggota TNI dan Polri pun dilarang melakukan perjalanan keluar negeri, kecuali dengan alasan strategis. Dampak dari kenaikan jumlah kunjungan wisatawan Indonesia keluar negeri ini terlihat dalam neraca pembayaran (bagian transaksi berjalan) di sektor pariwisata. Bank Indonesia mencatat, pada tahun 2001 ada 3,4 miliar dollar AS devisa yang mengalir ke luar karena perjalanan ke mancanegara. Angka itu naik menjadi 3,5 miliar dollar AS pada 2004. Pada periode yang sama, devisa yang masuk dari kegiatan pariwisata justru turun dari 5,3 miliar dollar AS (2001) menjadi 4,8 miliar dollar AS (2004). Di antara bidang-bidang lain yang tergabung dalam kelompok jasa pada transaksi berjalan, pariwisata adalah satu-satunya subsektor yang menghasilkan surplus. Keseimbangan pada transaksi berjalan, khususnya kelompok jasa, bisa terganggu setelah bom meledak lagi di Kuta Square dan Jimbaran, Bali, pada 1 Oktober 2005. Peringatan kepada warga negaranya agar tidak berkunjung ke Bali oleh Pemerintah Australia, Korea Selatan, China, Jepang, dan Selandia Baru mengiringi ledakan bom itu menyebabkan jumlah pelancong asing turun 30 persen, dari 387.000 orang selama September 2005 menjadi hanya 268.000 orang pada bulan Oktober 2005. Selain ledakan bom di Bali, tsunami, wabah SARS, dan flu burung juga memperburuk iklim pariwisata Indonesia. Menurut Yekti, jumlah wisatawan Indonesia ke luar negeri mungkin turun tahun ini karena pengeluaran masyarakat kian tinggi setelah kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005. Kalau saja obyek wisata di dalam negeri dapat meningkatkan kualitas pelayanannya, mungkin pelancong yang gemar berwisata ke luar negeri dapat mengubah tujuan berliburnya ke obyek wisata lokal. Sedikitnya, untuk "menghangatkan" industri turisme Indonesia. Ratna Sri Widyastuti |
No comments:
Post a Comment