29 January 2006

Formalin (isme)

.. gw setuju banget dng tulisan ini.

Mudah mudahan sekali lagi suara hati kebanyakan orang Indonesia bisa di bikin terdengar, mata hati bisa di buat melek.. Masa kita mau jadi bangsa .. jero makan jero..

Duh pengen ngeliat ya waktu ulang tahun kemerdekaan tgl 17 Agustus tahun 2045 kaya apa ya.. Mudah mudahan gw diberi umur panjang dan kesehatan prima untuk bisa ngeliat.. Masih ada ga ya NKRI?

Apa udah jadi United States of Indonesia?

Sabtu, 28 Januari 2006



Formalin(isme)

Ada yang tercecer dari kasus formalin. Pengamat, pejabat, dan sebagian besar orang lebih banyak menggali aspek teknis. Mulai dari regulasi tata niaga formalin yang terlalu longgar, aturan main produksi makanan yang mudah diutak-atik, asumsi peran pemerintah sebagai pengawas relatif kendor, hingga kurangnya sosialisasi bahan pengawet yang dikategorikan aman.

Kecenderungan itu melahirkan solusi yang melulu teknis, di antaranya penjualan formalin yang diperketat dan pemberlakuan sertifikasi "aman formalin" sampai pencarian bahan pengawet alternatif.

Kalau mau digali lebih dalam, dengan sedikit berkontemplasi, sesungguhnya ditemukan persoalan sangat serius di balik kasus formalin itu. Persoalan ini menyangkut moralitas bangsa. Kasus formalin merupakan representasi dari bangsa yang mengalami kemerosotan moral. Boleh dibilang bangsa kehilangan adab; mudah memilih jalan pintas, suka yang ilegal, dan tak memedulikan orang lain.

Celakanya, dalam menanggapi kasus formalin banyak orang "berlebihan". Mereka menyerang kaum marjinal, yakni para pedagang mi ayam, tukang tahu di pasar, hingga mbok-mbok pengecer ikan asin di pasar becek, yang diberi label "pengedar makanan berformalin". Padahal, tanpa disadari, sesungguhnya para penyerang itu bisa saja berperilaku sebagaimana "kaum formalin" itu. Orang-orang penyerang itu secara tak sadar sesungguhnya sudah mempraktikkan aliran formalin (sebut saja formalinisme) dalam panggung kehidupan yang lain.

Formalinisme menghalalkan jalan pintas, cara ilegal, dan tak memedulikan orang lain. Pedagang memilih formalin sebagai jalan pintas agar dagangannya lebih awet. Sejatinya, jalan yang benar adalah bahan pengawet aman, akan tetapi harganya jelas lebih mahal. Semakin mahal biaya produksi, berarti kian susut keuntungan yang diperoleh. Lebih baik jalan pintas, pakai formalin, yang lebih murah dan keawetannya lebih lama.

Pedagang tetap memilih formalin walau sudah dinyatakan pemerintah sebagai bahan berbahaya bagi kesehatan manusia. Aturan melarang pemakaian formalin bagi kepentingan makanan. Kenyataannya aturan itu diterabas. Kebanyakan orang memilih cara ilegal untuk menuju jalan pintas tadi.

Tatkala memilih cara ilegal, berarti peran orang lain diabaikan. Mereka tak mau tahu dampaknya bagi kebanyakan orang. Mereka tak memedulikan orang lain. Satu hal terpenting; semua menguntungkan diri sendiri!

Sebuah pengakuan

Satu stasiun televisi menayangkan pengakuan pembuat tahu. Ketika pewawancara menanyakan, tahukah bahwa formalin berbahaya bagi kesehatan? Jawab pembuat tahu, "Saya tahu!" Lalu kenapa masih memberikan formalin? "Biar awet. Soal bahaya, toh saya tidak memakan tahu ini!"

Alamak, sungguh-sungguh egois. Inilah yang dimaksud oleh filsuf James Rachels sebagai egoisme etis. Apa mau dikata, egoisme etis memang mengajarkan seseorang untuk mengatakan, "kita tidak mempunyai kewajiban moral, selain melulu menjalankan apa yang paling baik bagi kita sendiri."

Jelas, moralitas disingkirkan. Sebab moralitas itu menuntut supaya kita menyeimbangkan kepentingan kita dengan kepentingan yang lain. Kepentingan pembuat tahu itu adalah keuntungan besar sehingga diupayakan barang dagangannya bisa bertahan beberapa hari. Kalau dibiarkan sehari rusak tentu akan berbuntut kerugian. Sementara kepentingan konsumen adalah mengonsumsi tahu yang sehat, tidak membahayakan tubuh. Namun, egoisme etis tidak mempertemukan kepentingan "tahu awet" dan "tahu sehat".

Apakah hanya pembuat tahu yang tergolong egoisme etis itu? Atau pembuat mi basah? Atau pemakai formalin lainnya? Secara jujur harus dikatakan, egoisme etis itu bukan hanya pada kaum formalin, tetapi meluas menembus lapisan masyarakat. Bukankah banjir bandang di Jember belum lama ini juga bagian dari formalinisme? Mari kita urai. Banjir terjadi karena penggundulan hutan di sekitarnya. Si penggundul ternyata memilih jalan ilegal saat menebang kayu. Lantas muncul istilah illegal logging. Cara ilegal ini merupakan jalan pintas untuk memperoleh kayu murah sehingga untung melimpah, lagi pula menjualnya mudah karena siap ditampung para penadah.

Keuntungan adalah tujuan hakiki, tak peduli orang lain yang ketiban rugi. Banjir yang memorak-perandakan permukiman di sekitar hutan dianggap sebagai hal biasa di musim hujan. Kalau para penebang ilegal itu ditanya, apakah dengan menggunduli hutan tidak takut ancaman banjir? Mereka bakal menjawab, "Tidak takut karena kami memang tidak tinggal di sekitar hutan."

Dalam panggung kehidupan lain bahasa-bahasa serupa akan kita jumpai. Coba tanyakan kepada pemborong gedung sekolah dasar, apakah mengurangi standar konstruksi tidak takut sekolah cepat roboh? Maka jawabnya, "Peduli amat, keluarga saya tak ada yang sekolah di sini." Tanyakan pula kepada pemborong jembatan, apakah mengubah ukuran besi beton tak takut mempercepat jembatan putus? Maka jawabnya, "Peduli amat, saya tak pernah melewati jembatan ini!" Kalau saja pencampur avtur dan air ditanya, apakah tindakan mencampur ini tidak khawatir membuat pesawat celaka? Maka jawabnya, "Peduli amat, saya toh tidak naik pesawat itu!"

Peduli amat… peduli amat, adalah representasi dari egoisme etis itu. Orang cenderung memikirkan diri sendiri karena orang lain juga tak ada yang peduli. Toh orang lain juga memikirkan diri sendiri, lalu kenapa (kita) mesti susah-susah untuk peduli kepada yang lain? Ya, kita ikuti saja apa yang banyak dilakukan orang lain. Begitu kira-kira jalan pikiran (kaum) formalinisme!.

Membangun moralitas

Solusi serius dari formalinisme bukanlah melulu soal teknis, tetapi akar persoalan adalah moralitas. Kalau soal moral tetap seperti sekarang ini, segala aturan teknis masih bisa "diakali" untuk dilanggar. Pelaku tidak memiliki kontrol nurani. Pejabat, aparat hukum, maupun elemen kekuasaan lain merupakan unsur yang bisa ditaklukkan. Lagi-lagi cara ilegal menjadi andalan.

Agar formalinisme ditinggalkan penganutnya, maka tak ada pilihan lain kecuali membangun moralitas. Dari mana? Fondasi agama punya peran?

Memang ada perdebatan tentang hubungan moralitas dan agama. Rachels (2003) jelas-jelas membedakan moralitas dan agama. Moralitas itu menyangkut soal akal dan kesadaran, bukan iman keagamaan. Dalam kasus tertentu, kesadaran keagamaan tidak menjamin pemecahan definitif terhadap masalah-masalah moral yang dihadapi manusia.

Filsuf moral lainnya, Henry Hazlitt (1964), mengemukakan agama dan moralitas seperti dua arus yang sering kali berjalan paralel, bercampur, terpisah, tampak independen dan acapkali juga saling bergantung. Dalam konteks saling bergantung ini yang sering terjadi adalah "saling menopang". Kepercayaan religius menopang moralitas. Hal ini semata-mata berangkat dari kepercayaan bahwa Tuhan melihat setiap tindakan seseorang. Jadi orang beriman takut dilihat Tuhan manakala berbuat tidak baik. Inilah kekuatan besar dalam perilaku etis.

Sebagian besar pemuka agama di negeri ini cenderung 'menganut' konsep Hazlitt. Orang religius semestinya lebih mempertimbangkan moralitas. Atas dasar inilah pemuka agama punya peran untuk memperbaiki moral bangsa. Mereka membangun kekuatan moral bukan sekadar lewat ceramah agama, tetapi juga teladan.

Soal teladan inilah kita sangat kurang. Jarang sekali pemimpin yang bisa menjadi teladan moral. Wong cilik menjalani formalinisme lantaran wong gede juga berlaku serupa. Kalau wong gede tidak memberi sesuatu yang baik, wong cilik pun tak segan melakukan tindakan buruk. Jadi hal ini merupakan banalitas yang siklusnya dimulai dari pemimpin. Hanya ada satu kunci: agar masyarakat bermoral maka dibutuhkan pemimpin moralis. Kita bisa lihat sendiri, bagaimana kualitas moral para pemimpin yang mengemudikan negara dan bangsa ini? Jangan kaget, suatu saat formalinisme tetap subur di negeri ini.

Toto Suparto
Peneliti di Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab), Peserta Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

No comments: