Waktu saya ke Madura semasa jadi bakul obat, berdinas di Merck Jawa Timur; Dolo Neurobion yang dua ampoule itu disuntikkan terpisah walau seharusnya dicampur dalam satu syringe sebelum di suntikkan. Jadi ga heran kalau diindikasikan di kliping dibawah ini pemakaian jarum suntik 100% dari jumlah pasien.
Alasannya karena para pak Sakerah, para mbok Bariyah yang orang Madura belum merasa ke dokter kalau belum di suntik pantatnya kiri dan kanan. Harus dua dan jarum harus yang paling tumpul biar sakettt....
Sampai di Shanghai saya merasa takjub disini ada fasilitas ruang infus, dimana orang duduk ber deret deret ber saf saf rapih diinfus kalau flu, demam. Alasannya biar cepat sembuh.
Jaman modern menghendaki efisiensi jadi orangpun tidak mau berlama lama sakit, no time man... Tak perduli sakit kadang ada baiknya biar badan kita yang masih dalam evolusi badan petani dan pemburu pengumpul ini istirahat. Stress bukan sakit..
Di Indonesia seperti dibahasan sebelumnya, dokter atau pelayanan kesehatan juga ber orientasi pada pasar, kebutuhan, keinginan konsumen. Walau belum tentu itu benar.
Ya seperti di Madura, kalau dokter nyuntiknya sakit wah itu dokter manjur. Pulang dari dokter bisa pergi nonton karapan atau ke biskup..nonton dangdut.
Rationalitas pelayanan, orientasi pelayanan yang baik dan benar, madani manusiawi masih jauh dan jauh...lah.
Duit duit dan duit dulu bung.. ntar ga kebagian di porotin koruptor restitusi ekspor, pembalakan kayu, PLN, Pertamina.... Jero makan jero..dulu..
Potret yang harus di retouch ulang banyak nih..
Kompas Sabtu, 28 Januari 2006 |
Pelayanan Belum Berorientasi Pasien
Jakarta, Kompas - Pelayanan kesehatan di berbagai tempat di Tanah Air belum berorientasi pada pasien. Ini ditandai maraknya pemberian obat antibiotik yang tidak sesuai dengan kondisi klinis. "Karena itu perlu ditumbuhkan sikap kritis masyarakat terhadap layanan kesehatan," kata Direktur Penggunaan Obat Rasional Departemen Kesehatan Husniah Rubiana Th Akib, Kamis (26/1) di Jakarta. Sebelum desentralisasi, Depkes telah memiliki sistem nasional penggunaan obat rasional. Ada lima provinsi yang mendapat pelatihan untuk dokter, perawat, dan apoteker. Usai pelatihan, pemerintah pusat memantau secara rutin agar penggunaan obat sesuai kondisi klinis. "Namun, pemantauan terhambat sejak otonomi daerah," kata Husniah. Penggunaan obat yang melebihi dari kebutuhan (polifarmasi) ini masih terus berlangsung. Besarnya penggunaan obat antibiotik untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik seperti flu diperkirakan 60-80 persen dari total jumlah pasien yang berobat ke puskesmas. "Penggunaan antibiotik itu bervariasi di setiap daerah," tuturnya. Padahal, seharusnya penderita beberapa jenis penyakit bisa disembuhkan tanpa antibiotik. "Pemakaian antibiotik yang melebihi kebutuhan bisa mengakibatkan resistensi dalam tubuh pasien. Kuman penyakit dalam tubuh jadi kebal," ujar Husniah. Infeksi jadi menetap Jika pasien resisten terhadap obat antibiotik maka tidak ada obat yang bisa mengatasi infeksi penyakit dalam tubuh. "Karena penemuan obat antibiotik baru membutuhkan waktu sangat lama, pasien yang resisten terhadap antibiotik bisa meninggal dunia," kata Husniah. Menurut dia, penggunaan antibiotik melebihi kebutuhan itu salah satunya disebabkan oleh dokter yang kesulitan memantau perkembangan kondisi pasien lantaran tempat tinggal penderita sangat jauh dari puskesmas. "Karena melihat pasien kekurangan gizi, dokter khawatir terhadap daya tahan tubuh penderita. Diberilah ia antibiotik di atas kebutuhan," ujarnya. Pemakaian jarum suntik melebihi dari kebutuhan di sejumlah tempat di Tanah Air juga sangat tinggi. Di Madura, misalnya, penggunaan jarum suntik mencapai 100 persen dari total jumlah pasien yang berobat ke puskesmas. Seharusnya jarum suntik hanya digunakan pada kondisi darurat seperti serangan asma yang obatnya tidak bisa diserap melalui mulut. "Kebutuhan penggunaan jarum suntik itu sebenarnya sangat kecil, karena pada umumnya penyakit bisa disembuhkan dengan mengonsumsi obat," katanya. Padahal, pemakaian jarum suntik itu berisiko tinggi terkena penyakit menular seperti penyakit hepatitis, HIV/AIDS dan terserang shock. Karena tingginya permintaan suntikan dari pasien, sering kali jarum suntik digunakan lebih dari satu kali. Konsultan Badan Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia Hanny Roespandi MD menyatakan, pasien dianjurkan tidak terlalu pasrah pada layanan kesehatan yang diterima dan hanya mematuhi semua instruksi dari dokter.(EVY) |
No comments:
Post a Comment