15 January 2005

Alasan "kok kesannya kere amat" atau "nanti peringkat utang turun".




Kalau ditanya jadi ngapain rombongan ini ke Paris?

Rasanya jawabannya ga jauh jauh amat.. Belanja, jalan jalan jadi turis
ABIDIN (Asal Biaya Dinas) ...

Memang kompetensi kita umumnya kalo ngadepin bule ya gitu, masih mentalitasnya mental kacung. Kesian banget bangsa ku ini.

Tak habis habis udah 60 tahun terpurak puruk selalu, berdarah darah terus. Negara yang gemah ripah loh jinawi, mutiara katulistiwa, sebuah bangsa manja yang pemalas? Rasanya sih predikat itu sulit kita tolak.

Kalau aku nulis hal ini di sebuah Milis, wah jawaban yang bisa diduga adalah Nasionalisme sempit, marah marah, dan maki maki, pongah arogan dengan ucapan klise "KITA TIDAK KALAH DARI..... "

Dibawah disebutkan bahwa 30% pinjaman alias utang di korupsi dizaman ORBA, aku rasa itu kecil sekali, ntar ganti Orde lagi dari Orde Reformasi sekarang entah menjadi Orde APA, akan dikatakan 50% pinjaman zaman Orde REFORMASI dikorupsi.. so what ? Korupsi di Indonesia sudah menjadi lembaga dan bagian dari budaya luhur kita. Korupsi di kalangan pemerintah dan swasta. Betul jangan kaget atau ngirain di
swasta ga ada korupsi.

Semakin jelas bahwa bangsa kita adalah akan menjadi bangsa
pariah, kasta sudra dimata dunia.

Harta gemah ripah loh jinawi itu akan habis disedotin orang lain yang berselingkuh dengan bangsa kita yang hidupnya mau gampangan, tinggal mangap disuapin apapun ok asal ga usah kerja keras.

Adakah harapan? Tentu selalu ada, terpulang pada kita masing masing apakah itu yang kita mau atau memang kita pengen disetarakan di kalangan bangsa lain?


Kompas, Sabtu, 15 Januari 2005

Dana Rekonstruksi Aceh dan Diplomasi Utang yang Kedodoran

PERTEMUAN Paris Club di Paris yang membahas soal keringanan utang negara-negara korban bencana tsunami, berlalu sudah. Tetapi klimaks yang didapat bukan sesuatu yang sangat melegakan karena secara sangat signifikan bisa melepaskan salah satu beban kita--dalam hal ini beban utang di anggaran--tetapi justru memunculkan sikap gemas sementara kalangan. Apa yang diperoleh di Paris Club, jauh dari yang kita harapkan atau yang kita butuhkan. Jumlah utang yang ditangguhkan pembayarannya dan juga jangka waktu penangguhannya, tidak sampai sebesar yang disebut-sebut sebelumnya. Apa yang terjadi?

KEJENGKELAN dan sikap gemas sejumlah pengamat, anggota DPR dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), bisa dipahami. Sebab, menurut mereka hasil mengecewakan di Paris Club, dikarenakan Indonesia sendiri kurang fight dalam mengajukan argumentasi dan perhitungan mengenai apa yang menjadi kebutuhannya.

Bahkan, yang terjadi, menurut sebuah jaringan LSM di Eropa, Pemerintah Jerman dan Perancis yang semula menggebu-gebu menjanjikan memperjuangkan penangguhan utang (bahkan Pemerintah Jerman dan Pemerintah Inggris sempat mengusulkan penghapusan sebagian utang), akhirnya menjadi lemss sendiri atau bingung tak tahu harus berbuat apa.

Dua menteri di pemerintahan Jerman, yaitu Menteri Ekonomi Wolfgang Clement dan Menteri Keuangan Hans Eichel dikutip sejumlah kantor berita dan harian asing mengatakan, Indonesia ragu-ragu menerima tawaran moratorium yang diajukan negara-negara di Paris Club.

Indonesia menurut mereka, juga menolak utangnya diampuni atau dihapuskan. Alasannya, takut peringkat utang dan kredibilitasnya di pasar finansial internasional turun. Selain itu, mereka meragukan manfaat yang bisa diperoleh dari langkah-langkah penghapusan utang itu.

Clement dan Eichel mengungkapkan itu setelah bertemu delegasi Pemerintah Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda di Berlin. Loh, jadi untuk apa delegasi Indonesia ini jauh-jauh ke Eropa?

Pelaksana Tugas Deputi Menko Perekonomian Mahendra Siregar yang juga salah satu anggota delegasi itu, tentu tidak terima dianggap tidak cukup gigih memperjuangkan soal keringanan utang itu. Menurut dia, apa yang disampaikan negara-negara kreditor sebelumnya seperti sudah banyak dikutip banyak media massa, ternyata berbeda dengan sebenarnya.

Salah satunya, sejumlah pejabat tinggi Jerman yang ditemuinya, termasuk dua menteri di atas, sejak awal malah 'menakut-nakuti' peringkat utang Indonesia bisa terpengaruh jika Indonesia menerima tawaran moratorium utang.

"Pemerintah Jerman yang justru menyarankan kita untuk hari-hati menerima moratorium, jika itu bisa menurunkan peringkat utang. Saran Pemerintah Jerman itu disampaikan karena konsensus Paris Club ternyata tidak sama dengan gagasan awal Jerman yang tidak mengaitkan dengan comparability treatment," ujarnya.

Yang dimaksud Mahendra di sini, dari yang dia bisa simpulkan dari pertemuan dengan para pejabat Jerman itu, jika mau mendapat moratorium, Indonesia harus bernegosiasi juga dengan para kreditor komersial agar utang komersialnya juga ditangguhkan pembayarannya (prinsip perlakuan setara terhadap kreditor resmi dan kreditor swasta/comparability treatment).

Itu aturan resmi di Paris Club. Jika kreditor komersial (sindikasi bank-bank internasional) tidak mau menangguhkan pembayaran utang Indonesia, maka tawaran moratorium utang di Paris Club juga tidak berlaku. Artinya, tawaran moratorium yang dilontarkan negara-negara anggota Paris Club itu suatu tawaran yang bersyarat.

"Kelihatannya Jerman mundur dari posisi semula tentang moratorium utang karena tentangan keras Amerika Serikat yang ngotot membatasi fasilitas itu dengan kebutuhan pembiayaan yang akan dihitung Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), dan juga dari kriteria Paris Club yang konvensional," kata Mahendra.

Berarti, negara-negara maju ingkar dong? Entah siapa yang benar, para menteri Jerman itu berbohong ketika bicara kepada media massa, atau Mahendra hanya membela diri?

Soalnya, Presiden Paris Club Jean-Pierre Jouyet sendiri dalam jumpa pers seusai pertemuan Paris Club mengatakan tawaran moratorium utang itu diberikan tanpa persyaratan, seperti harus masuk program IMF atau keharusan untuk juga menegosiasikan utang dengan para kreditor internasional.

Berbeda dengan penuturan Mahendra, Hassan Wirajuda dalam jumpa pers dan dalam wawancara terpisah dengan Financial Times disebutkan memang mengatakan Indonesia lebih menghendaki negara-negara maju menyediakan utang, hibah atau kemudahan dalam kebijakan perdagangan, ketimbang moratorium utang atau penghapusan utang.

"Kami lebih menginginkan kombinasi dari sejumlah mekanisme, termasuk hibah, pinjaman lunak, fasilitas perdagangan serta swap (pertukaran utang dengan program). Kami sangat sensitif (soal moratorium utang) karena kami memiliki catatan bagus dalam pembayaran utang, dan sangat hati-hati menanggapi tawaran tersebut karena itu bisa mempengaruhi posisi kami di pasar. Apalagi sekarang ini kami sedang berusaha menarik lebih banyak lagi investasi asing," ujarnya.

Di situ, Hassan mengatakan lebih memilih utang (lunak) ketimbang menerima tawaran moratorium utang atau penghapusan utang. Padahal, pemerintah sudah mengatakan tidak akan membuat utang baru terkait penanganan dan kebutuhan rekonstruksi Aceh.

BISA jadi, sikap misi lobi Indonesia yang terdiri dari Hassan Wirajuda, Mahendra dan juga Jannes Hutagalung (staf ahli Menteri Keuangan) ini hanya korban dari sikap dan instruksi dari atasan yang tidak jelas. Pertama, malu-malu merespons tawaran moratorium, dengan alasan "kok kesannya kere amat" atau "nanti peringkat utang turun".

Lalu waktu muncul reaksi dari berbagai kalangan yang mengecam sikap pemerintah dan mendesak agar pemerintah merespons tawaran, baru Presiden RI memerintahkan para menterinya untuk menindaklanjuti. Wakil Presiden dan Menko Perekonomian dengan menggebu-gebu juga mengatakan akan merespons dan memanfaatkan semua kemungkinan mekanisme keringanan utang, untuk meringankan beban APBN terkait bencana Aceh.

Akan tetapi, ketika Thailand dan India mengatakan tidak akan meminta bantuan langsung atau keringanan utang karena pertimbangan harga diri, atau dalam istilah Perdana Menteri Thaksin Sinawatra "agar tetap bisa berdiri sama tinggi dengan anggota masyarakat internasional lainnya", mendadak sikap Indonesia berbalik.

Padahal Thailand memiliki alasan yang kuat untuk tidak menerima tawaran moratorium, yakni karena negara itu memang masih memiliki kemampuan untuk mengatasi sendiri dampak tsunami dari sisi anggaran negaranya, selain karena alasan tidak mau kredibilitasnya terganggu di pasar finansial internasional. Sementara India, kulturnya memang antiutang. Lebih baik miskin, dari pada berutang.

Kita tidak tahu apa persisnya pikiran para pimpinan negara kita ini atau apa yang dibicarakan oleh delegasi kita dengan pemerintah negara-negara kreditor yang mereka temui di Eropa.

Yang jelas, yang semula kita harapkan, tidak terjadi. Apa yang disebut Menteri Keuangan Perancis dalam wawancara dengan Radio Europe 1 bahwa seluruh 21 negara anggota (19 anggota permanen dan sisanya anggota tidak tetap) Paris Club sudah setuju menangguhkan utang senila 3 miliar dollar AS untuk tahun ini (Kompas, 12/1), tidak terwujud.

Komunike Paris Club tidak menyebutkan berapa moratorium utang yang akan diperoleh masing-masing negara dan untuk jangka berapa lama. Namun, Jouyet dalam jumpa pers dikutip media yang berbeda-beda, menyebut angka yang juga berbeda-beda. Ada yang bilang senilai 3 miliar dollar AS untuk jatuh tempo tahun ini saja seperti disebutkan Gaymard. Ada juga yang menyebut 2,5 miliar dollar AS.

Penangguhan itu diberlakukan sampai penilaian atau perhitungan (assessment) atas nilai kerusakan serta kebutuhan dana untuk rekonstruksi daerah yang hancur akibat tsunami, diselesaikan oleh Bank Dunia dan IMF. Proses assessment ini diperkirakan perlu waktu tiga bulan. Setelah diperoleh hasil perhitungan Bank Dunia dan IMF, baru rincian moratorium utang untuk masing-masing negara dibicarakan.

Kesimpangsiuran soal angka itu semakin lengkap dengan adanya pernyataan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie mengenai berapa persisnya yang didapat Indonesia. Entah Aburizal yang keseleo ngomong atau wartawan salah kutip. Dikutip AFX Asia dia mengatakan, jumlah yang bisa ditangguhkan pembayarannya sebesar 700-800 juta dollar AS untuk tiga bulan.

Akan tetapi, di kesempatan lain di kantornya dia ngomong lain lagi. Katanya, jumlahnya 300-400 juta dollar untuk tiga bulan. Setelah itu, menunggu hasil kajian Bank Dunia dan IMF.

Masyarakat tambah bingung ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Aburizal mengatakan, moratorium utang di Paris Club yang dimaksudkan untuk mengurangi beban di APBN, harus dibedakan dengan pendanaan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh yang dananya bersumber dari bantuan internasional.

Seolah tak ada kaitan antara moratorium utang atau APBN dengan program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Menurut mereka, pendanaan untuk proyek Aceh, tidak diambilkan dari APBN 2005, tetapi dari hibah internasional. "Moratorium utang itu tidak ada hubungannya dengan lima tahun pendanaan kembali Aceh," kata Aburizal.

Pernyataan ini agak kontradiktif dengan pernyataan beberapa pejabat pemerintah sebelumnya, bahwa beban biaya rekonstruksi tidak akan bisa ditanggung hanya oleh satu APBN, tetapi harus disebar dalam lima tahun anggaran ke depan.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan Mulai P Nasution, misalnya, mengatakan separuh dari anggaran tanggap darurat dipastikan akan digunakan untuk membantu rehabilitasi Aceh dan Sumatera Utara.

Jadi, bagaimana bisa dikatakan tak ada kaitan antara moratorium utang di Paris Club dengan pembiayaan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh? Bukannya, kalaupun moratorium atau bahkan penghapusan utang itu diberikan, maksud negara-negara kreditor pasti agar Pemerintah Indonesia bisa menyisihkan dana yang mestinya untuk membayar utang itu, untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.

Untuk sekarang ini, mereka pasti tidak bakal mau mendiskusikan keringanan utang tanpa syarat, kalau itu bukan karena alasan bencana Aceh.

Lagi pula, apakah dana bantuan internasional senilai 1,5 miliar dollar (sekitar Rp 14 triliun) yang diperkirakan bakal diperoleh Indonesia itu akan mencukupi. Sebab, perkiraan kebutuhan dana rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh sendiri terus membengkak dari Rp 5 triliun, menjadi Rp 10 triliun, Rp 20 triliun, lalu Rp 30 triliun. Belum lagi, kalau ternyata tidak semua dana itu diterima dalam bentuk hibah.

Lagi pula, meskipun animo masyarakat dalam negeri dan luar negeri begitu besar untuk membantu begitu besar, suatu waktu stamina mereka pasti akan habis juga. Suatu saat, masyarakat internasional akan jenuh dengan hal-hal yang terkait dengan masalah kemanusiaan di Aceh.

Banyak hal lain yang juga menuntut perhatian, termasuk negara-negara miskin di Afrika, yang menurut sejumlah pengamat internasional, masalah utangnya lebih kronis dan lebih struktural ketimbang Indonesia.

SATU hal yang mungkin dilupakan oleh para pejabat kita itu. Sebagai harga yang harus dibayar dari sikap tak butuh atau diplomasi kita yang lembek dan malu-malu, momentum dan mood negara-negara kreditor untuk memperjuangkan dan menggali segala kemungkinan untuk meringankan beban Pemerintah Indonesia terkait bencana di Aceh, kemungkinan besar ikut menguap.

Wong Indonesia sendiri kesannya tidak perlu itu, untuk apa mereka repot-repot? Bisa-bisa seperti di Paris Club, pertemuan tujuh negara maju G7 yang akan digelar Februari dan rencananya juga akan mendiskusikan kemungkinan penghapusan sebagian utang negara-negara korban bencana, akan mengubah topik diskusinya.

Atau bisa jadi, mereka tetap membahas kemungkinan penghapusan utang itu, tetapi tidak memasukkan agenda Indonesia yang tidak antusias akan penghapusan utang di dalamnya. Karena, seperti Sri Lanka misalnya, mereka sangat menginginkan ada penghapusan utang, sebab menurut mereka moratorium utang tidak cukup.

Chatib Basri yang masuk tim asistensi Menko Perekonomian sendiri mengaku ia tidak mengerti dengan sikap pemerintah. "Setahu saya, kalau kita baca komunike Paris Club, tidak akan ada pembayaran utang sampai assessment oleh Bank Dunia dan IMF selesai. Saya kemarin bicara sama Kepala Perwakilan IMF di Jakarta Stephen Swartz. Ia mengatakan detailnya memang belum jelas. Akan tetapi, menurut dia, setelah periode assessment itu lewat, biasanya normal rules yang ada di Paris Club akan berlaku," ujar Chatib.

Itu berarti, setelah penilaian oleh Bank Dunia dan IMF selesai, kalau Indonesia masih mau menjadwalkan atau menangguhkan lagi pembayaran utangnya, maka ia tak punya pilihan lain kecuali harus kembali ke program IMF.

Selain itu, Indonesia juga harus mengemis penjadwalan atau penangguhan utang ke para kreditor swasta, yakni sindikasi bank-bank internasional (prinsip comparability treatment).

Kedua langkah itu harus dilakukan Indonesia, tentu saja kecuali negara-negara kreditor berkehendak lain, misalnya mengecualikan Indonesia dari ketentuan umum Paris Club hingga setahun, atau bahkan hingga rehabilitasi dan rekonstruksi selesai.

Akan tetapi, apakah mood negara-negara kreditor yang mau memberi penangguhan utang atau bahkan membuka peluang pengampunan sebagian utang, masih akan sama seperti sekarang, pada beberapa pekan atau bulan mendatang?

Selain respons yang dingin dari Indonesia soal keringanan utang, bukankah Wapres Jusuf Kalla mengatakan, operasi militer asing untuk membantu Aceh selama tiga bulan sudah cukup. Berarti, setelah tiga bulan itu, asumsinya pemerintah akan bisa mengatasi semuanya sendiri.

Masyarakat internasional, negara-negara kreditor dan lembaga keuangan multilateral seperti IMF dan Bank Dunia, akan menganggap, "Oh Indonesia tidak perlu kita lagi. Jadi, tidak perlu lagi bicara soal moratorium, penjadwalan utang jangka panjang, atau pengecualian khusus dari aturan umum Paris Club, apalagi penghapusan utang".

Bank Dunia sendiri mengatakan diperlukan waktu sekitar tiga bulan untuk menuntaskan penilaian atau penghitungan terhadap nilai kerusakan serta kebutuhan dana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bisa lebih cepat lagi.

Kanselir Jerman Gerhard Schroeder, misalnya, menurut Mahendra mengatakan penilaian oleh Bank Dunia dan IMF kemungkinan akan bisa diselesaikan dalam tiga minggu ini. Itu artinya akhir Januari ini.

Jadi, kalau benar itu bisa selesai akhir Januari, menurut Mahendra, kesepakatan moratorium utang untuk Indonesia itu hanya akan berlaku sejak 12 Januari (tanggal dicapainya kesepakatan moratorium utang di Paris Club) hingga akhir Januari. Dengan demikian, utang yang ditangguhkan, tanpa kena syarat umum Paris Club, juga hanya utang yang jatuh tempo selama periode 20 hari itu.

Jumlahnya berapa, menurut Mahendra, belum bisa dikatakan, karena Paris Club sendiri belum memerinci apakah utang yang ditangguhkan itu mencakup semua jenis utang, atau utang tertentu saja. "Dari pertemuan kita dengan Pemerintah Jerman, yang kita tangkap hanya utang-utang tertentu saja," ujarnya.

Utang-utang tertentu itu utang apa saja, juga belum jelas. Jadi, alih-alih dapat keringanan utang, bisa-bisa jumlah utang yang ditangguhkan (bukan dihapus!) itu masih lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan untuk biaya perjalanan dan akomodasi tiga anggota delegasi Indonesia ke Eropa.

SEJUMLAH kalangan menganggap, "kegagalan" perjuangan di Paris Club ini sebagai kegagalan diplomasi ekonomi dan diplomasi utang Indonesia. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), pengamat dan anggota DPR juga merasa gemas, karena mereka melihat pemerintah tidak mengerahkan segala sumber daya dan kemampuannya untuk adu argumentasi di Paris Club.

Jadi, kalau para duta besar atau misi delegasi yang dikirim ke Eropa kemarin gagal, yang gagal sebenarnya bukan hanya diplomasi ekonomi atau diplomasi utang kita. Tetapi, pemerintahan ini juga gagal merespons peluang dan momentum yang sudah terbuka, yang sebenarnya bisa sangat menolong bangsa ini keluar dari himpitan sesak beban utang.

Mungkin mereka lebih senang berjuang di forum Consultative Group on Indonesia (CGI), yang notabene forum pencetak utang baru. Karena di CGI inilah, setiap tahun kita membuat komitmen pinjaman baru atau menambah utang. Kalau sekarang ini kita tak dapat, maka mungkin selamanya kita tidak akan dapat, kecuali ada lagi badai sedahsyat bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh 26 Desember lalu yang mampir.

Selama ini, kampanye 'gerilya' sejumlah kalangan agar utang sebagian dihapuskan tidak pernah mempan, meskipun dengan argumen 30 persen utang dikorup selama Orde Baru dengan sepengetahuan Bank Dunia.

Yang berhasil justru diplomasi segelintir negara maju dalam menekan kita untuk tidak menuntut macem-macem, termasuk hak kita, karena ditakut-takuti langkah itu bisa merusak citra good boy dan kredibilitas Indonesia di pasar modal dan pasar uang internasional.

Kalau memang sikap-sikap negara maju yang berubah, seperti dikatakan Mahendra, kenapa mereka berubah? Mungkin mereka sedang menunjukkan wajah asli dari arogansi mereka.

Atau, bisa jadi sikap mereka berubah karena mereka capek dan tersinggung dengan sikap Pemerintah Indonesia yang mengusir mereka, atau ramai-ramai 'menunggangi bencana Aceh" untuk berburu proyek atau mencari panggung dari bencana Aceh demi kepentingan mewujudkan ambisi politik pada pemilu 2009. (Sri Hartati Samhadi)

No comments: